Berita besar minggu ini adalah
tentang marah besar. Yang marah seorang presiden: Pak Jokowi. Yang dimarahi
anak buahnya sendiri: para menteri dan kepala lembaga di pemerintahan.
Menariknya, marahnya itu sudah
beberapa hari lalu. Tapi videonya baru diunggah ke publik hari Minggu kemarin.
Lewat YouTube.
Gaya marahnya sangat Jawa. Marah
di podium. Dalam bentuk ceramah. Atau arahan. Bukan marah di meja rapat.
Mungkin karena beliau seorang presiden. Yang memerankan diri sebagai chairman.
Bukan seorang CEO perusahaan.
Mungkin presiden berharap para
Menko-lah yang menjadi CEO di kemenko mereka masing-masing.
Tapi menko tidak mungkin bisa
menjadi CEO. Menko itu, seperti juga namanya, hanya bersifat koordinator. Bukan
pengambil keputusan.
Entahlah kalau pembagian tugas
yang sekarang sudah berubah: menko boleh mengambil putusan.
Sepanjang keputusan masih tetap
di tangan menteri, peranan menko sangat terbatas. Ia bisa memanggil para
menteri. Memarahi mereka. Tapi marah saja tidak cukup. Yang ambil keputusan
tetap menteri. Yang ambil langkah tetap jajaran di kementerian.
Dengan demikian efektif tidaknya
seorang menko lebih tergantung pada wibawa pribadi sang menko.
Mungkin Menko Luhut Panjaitan
bisa efektif bukan karena jabatannya, tapi karena kepribadiannya. Ia pribadi
yang mumpuni. Suaranya keras –karena ia orang Batak. Kalau ia membentak
menakutkan –apalagi ia seorang jenderal.
Yang Pak Luhut tidak bisa
lakukan: memecat atau mengganti menteri di bawahnya. Semarah apa pun Pak Luhut
kepada menterinya, tetap saja terbatas. Menteri Kelautan waktu itu, Susi
Pudjiastuti, tetap saja tenang. Pak Luhut hanya bisa sebatas marah. Apalagi
suara Susi juga keras. Kalau membentak juga menakutkan.
Apalagi menko yang pribadinya
halus-halus. Seperti Airlangga Hartarto dan Muhadjir Effendy. Marahnya bisa
sangat halus.
Tapi banyak juga orang halus bisa
efektif. Pak Harto sangat halus –di permukaan.
Bahwa orang halus seperti Pak
Jokowi marah besar berarti keadaan sudah keterlaluan. Misalnya soal anggaran
kesehatan itu. Yang baru terpakai 1 persen.
Padahal anggaran kesehatan Rp 75
triliun. Saya berdoa semoga angka yang masuk ke presiden itu salah.
Kalau angka 1 persen itu benar
memang keterlaluan. Berarti program di situ tidak jalan sama sekali. Padahal
ini sudah bulan Juli.
Atau punya alasan justru karena
ini masih awal Juli?
Di masa keterbukaan seperti ini
semua anggaran harus ditenderkan. Anggaran tahun ini berlaku mulai 1 Januari
lalu. Berarti Februari baru diadakan tender. Berarti persiapan tendernya satu
bulan. Itu sudah cepat. Jangan-jangan tendernya justru baru dimulai bulan
Maret.
Pas pula ada Covid-19.
Proses tender bisa terhambat
besar. Kalau pun tidak terhambat proses tender itu tidak mungkin selesai dalam
dua bulan. Maka kalau sampai akhir Juni anggaran baru terserap 1 persen,
kemungkinan besar tersangkut di masalah tender yang belum selesai itu.
Jangan-jangan para pemenang
tender pun belum ada.
Saya tahu kian tahun tender
elektronik kian maju. Yang mestinya pelaksanaan tender bisa lebih cepat.
Maka pelajaran penting dari marahnya
Presiden Jokowi tetap saja sama: bagaimana agar pemenang tender sudah diumumkan
di awal Maret. Masalahnya siapa yang memonitor dan terus mengawasi jadwal ini.
Pelajaran lain: menko boleh
hebat, menteri boleh hebat, tapi pelaksana pemerintahan yang sesungguhnya
adalah para dirjen di kementerian.
Dirjen pun, berdasarkan
pengalaman saya, terlalu sibuk dengan urusan politik atas. Maka pelaksana
kebijakan yang paling sebenarnya adalah para direktur di kementerian.
Bahkan jangan-jangan para
direktur pun hanya sibuk melayani dirjen dan menteri mereka.
Maka pelaksana yang lebih
sesungguhnya lagi adalah para pejabat yang levelnya di bawah direktur.
Jadi negara ini bisa berjalan
atau tidak sebenarnya di tangan mereka itu. Itulah yang disebut birokrasi. Ya
seperti itu.
Rasanya Pak JK pernah
menyampaikan tesis seperti itu.
Apakah mereka itu orang-orang
malas yang bodoh?
Sama sekali bukan. Mereka umumnya
S-2. Bahkan lulusan luar negeri. Setidaknya sering ikut pendidikan singkat di
negara maju.
Lalu di mana persoalannya?
Mereka itu orang penakut.
Khususnya takut melanggar aturan.
Lho, bukankah Presiden Jokowi
sudah habis-habisan mengeluarkan payung hukum tingkat tertinggi?
Saya berani bersaksi: belum ada
presiden yang seberani Pak Jokowi mengeluarkan keputusan presiden atau pun
peraturan presiden. Pun Perppu.
Bahkan untuk mengatasi krisis
Covid-19 ini Presiden Jokowi sudah mengeluarkan â€payung sapu jagatâ€. DPR-pun
sudah praktis â€tutup mataâ€: mengesahkannya.
Tapi sekali lancung sulit
kembali. Terlalu banyak kasus orang tidak salah dimasukkan tahanan. Mengerikan.
Hanya dengan alasan melanggar peraturan. Korupsi sudah identik dengan melanggar
peraturan.
Bahkan ada yang hanya karena
melanggar prosedur.
Anak perusahaan BUMN-pun takut.
Apalagi di pemerintahan. Padahal status anak perusahaan itu sudah bukan BUMN.
Membeli barang yang penting pun tidak bisa. Kalau barang itu belum pernah masuk
perencanaan setahun sebelumnya.
Lho kan bisa minta persetujuan
komisaris atau RUPS-LB?
Tidak ada gunanya. Kalau pun ada
persetujuan seperti itu akan dianggap rekayasa.
Sebegitu dalam ketakutan itu.
Apalagi di instansi pemerintah.
Lho, kan sudah dipayungi hukum?
Kurang tinggi apa UU. Dalam
pelaksanaan di lapangan UU itu bisa dikalahkan dengan UU lain. Termasuk oleh UU
yang lebih lama sekali pun.
Maka saya biasa-biasa saja
melihat presiden marah besar. Mereka tetap lebih takut masuk tahanan daripada
dimarahi atasan. (Dahlan Iskan)