Apa yang terjadi di Malaysia
sekarang ini bisa mengejutkan dan tidak mengejutkan.
Ahli sejarah sudah menulis:
sesudah kejatuhan diktator pasti diikuti masa ketidakstabilan politik.
Ketidakstabilan itu bisa hanya
sebentar. Bisa juga lama. Kian panjang kediktatoran itu berkuasa kian lama pula
ketidakstabilan yang mengikutinya.
Begitulah pula setelah diktator
Orde Baru di Indonesia jatuh. Bahkan setelah Majapahit jatuh, Jawa sangat tidak
stabil dalam kurun yang panjang.
Malaysia sempat berada di bawah
kediktatoran selama lebih 50 tahun. Yakni sejak koalisi Barisan Nasional
berkuasa –dengan UMNO sebagai partai intinya.
Berarti sejak merdeka dulu rakyat
Malaysia belum pernah merdeka. Termasuk saat Dr Mahathir Muhammad menjadi
perdana menteri selama 20 tahun –yang sangat hebat itu.
Yang unik dari sejarah Malaysia
itu adalah: yang berkuasa setelah kediktatoran itu adalah juga yang pernah
berkuasa di zaman kediktatoran.
Dalam kasus Malaysia mantan
diktator justru ikut menjadi tokoh sentral gerakan prodemokrasi. Bahkan
berhasil pula menumbangkan kediktatoran yang pernah ia besarkan.
Semula saya pikir kali ini
sejarah bisa salah. Saya pikir pasca kediktatoran 50 tahun pun Malaysia tetap
stabil –oleh faktor siapa penguasa barunya itu.
Ternyata sejarah tetap sejarah.
Tiba-tiba Mahathir mengirim surat pengunduran diri ke Yang Di-Pertuan Agong
Malaysia. Senin pagi-pagi lalu. Pemerintahan koalisi Pakatan Harapan pun bubar.
Tapi parlemen tidak ikut bubar.
Hanya saja tidak satu pun partai
yang punya kursi mayoritas. Dengan demikian pasar sapi kini pindah ke parlemen.
Parlemen Malaysia terdiri dari
222 kursi. Kalau saja ada partai yang mendapat 112 kursi tidak perlu ada
masalah. Tinggal partai itu menentukan siapa yang akan jadi perdana menteri
berikutnya.
Pun partainya Anwar Ibrahim,
Partai Keadilan Rakyat (PKR), hanya mendapat 40 kursi. Padahal Anwar adalah
tokoh utama oposisi selama UMNO berkuasa. Bahkan Anwar sudah oposisi sejak
Mahathir masih berkuasa. Termasuk sampai harus keluar masuk penjara.
Perolehan kursi kelompok Anwar
itu kalah dibanding partai Tionghoa, Partai Aksi Demokrasi (DAP) –yang memperoleh
42 kursi.
UMNO sendiri di tengah badai
kekalahan itu masih memperoleh 39 kursi –hanya selisih 1 kursi dari PKR. Hanya
partai Tionghoa sekutu UMNO, MCA, yang disikat habis oleh DAP –tinggal
memperoleh 2 kursi. Praktis semua suara Tionghoa boyongan ke DAP.
Saat Pemilu 2019 itu sendiri
Anwar masih berstatus dipenjara. Tidak bisa ikut menjadi caleg. Ia perlu
kekuatan tambahan untuk kali ini benar-benar bisa menumbangkan UMNO.
Anwar melihat, musuh lamanya,
Mahathir, juga lagi sangat membenci UMNO. Mahathir pernah jadi mentornya –yang
kemudian menjadi lawan politik utamanya.
Apa boleh buat.
Demi mengalahkan musuh, musuhnya
musuh pun bisa diajak menjadi teman –meski musuhnya musuh itu juga musuhnya
sendiri.
Mahathir memang mendirikan partai
baru: Partai Pribumi Bersatu. Tapi partai ini juga hanya bisa mendapat 26
kursi.
Anwar pun, dari balik jeruji
penjara, setuju kalau Mahathir yang jadi komandan oposisi –yang memang perlu
tokoh sepadan untuk melawan Perdana Menteri Najib Razak.
Bahkan, kalau oposisi berhasil
memenangi Pemilu, Anwar pun setuju Mahathir-lah yang akan jadi perdana menteri.
Dengan syarat:
1. Hanya dua tahun menjadi
perdana menteri.
2. Memintakan pengampunan Anwar
Ibrahim.
3. Istri Anwar dijadikan Wakil
Perdana Menteri.
Mahathir pun setuju dengan
komitmen itu.
Yang No. 2 sudah ia laksanakan:
Anwar mendapat mengampunan raja.
Maka setelah menjalani pengobatan
sakit bahunya di Turki Anwar mendapat jalan politik. Seorang anggota DPR baru
–juga baru sekali itu menjadi anggota DPR– mengundurkan diri. Sekadar memberi
jalan kepada Anwar untuk menjadi anggota DPR.
Tanpa menjadi anggota DPR Anwar
tidak boleh menjadi perdana menteri.
Anwar pun berhasil menang di
Pemilu sela di dapil Port Dickson itu. Dengan status baru sebagai anggota DPR
Anwar langsung mendapat jabatan baru: PMTTW –Perdana Menteri Tinggal Tunggu
Waktu.
Mahathir juga sudah memenuhi
janji No 3: menjadikan isteri Anwar sebagai Wakil Perdana Menteri.
Tinggal janji No. 1 yang belum
tiba waktunya. Masih kurang dua bulan lagi.
Kian dekat masa penantian itu
kian seru pula pergulatan politik. Tidak semua suka Anwar. Juga tidak semua
suka Mahathir.
Anak buah Anwar terus mendesak
Mahathir agar segera memberi kepastian: kapan akan menyerahkan jabatan ke
Anwar.
Sebaliknya, anak buah Mahathir
mendesak agar tidak perlu memberikan jabatan perdana menteri ke Anwar. Janji
politik, kata mereka, bukanlah UU –bukan pula konstitusi.
Bahkan anak buah Mahathir sudah
menyiapkan langkah kuda. Siapa tahu Anwar mengeluarkan Mahathir dari koalisi
Pakatan Harapan.
Mahathir –kata anak buahnya
itu– bisa menggandeng UMNO ke dalam koalisi baru. Toh sama-sama berideologi
Islam, Pribumi, dan Melayu. Daripada tetap dengan Anwar yang dinilai sudah
terlalu tunduk ke partai Tionghoa, DAP.
Anak buah Mahathir ini sudah
menghitung kekuatan kursi di parlemen. Mereka yakin koalisi Pribumi Bersatu dan
UMNO –ditambah lainnya–bisa mengalahkan PKR plus DAP.
Tapi Mahathir tidak suka dengan
langkah kuda seperti itu.
Langkah kuda anak buahnya itulah
yang dianggap Mahathir sebagai ‘kudeta internal’.
Mahathir marah besar.
Terutama karena akan mengajak
UMNO itu.
Reputasi Mahathir memang akan
habis kalau UMNO digandeng dalam koalisi-baru-menendang-Anwar ini.
Tapi sebenarnya Mahathir tidak
marah kalau dilakukan langkah bunglon. Tujuannya sama: menendang Anwar.
Ia lebih setuju kalau anggota DPR
dari UMNO itu bergabung ke Mahathir tanpa membawa bendera UMNO. Mereka harus
keluar dulu dari UMNO –membawa kursinya ke Partai Pribumi.
Mahathir juga sudah menghitung:
banyak yang mau dengan cara seperti itu.
Maka daripada terikat pada janji
dua bulan lagi dan daripada tersandera oleh UMNO Mahathir bikin langkah
skak-mat: mengundurkan diri. Termasuk dari jabatan ketua umum partainya
sendiri.
Mahathir sudah berhitung: ia
pasti ditunjuk sebagai perdana menteri sementara –tanpa didampingi menteri.
Semua menteri ikut berakhir masa jabatan mereka.
Sebagai penguasa tunggal itu
Mahathir bisa berdagang politik lebih leluasa.
Mahathir sudah biasa menjegal
siapa saja: dulu Mahathir-lah yang mengangkat Anwar sebagai wakil perdana
menteri sekaligus calon penggantinya –lalu ia pecat dan penjarakan.
Alasan waktu itu: Anwar dianggap
lemah terhadap IMF. Anwar memilih menyerah ke IMF untuk mengatasi krisis
moneter 1998. Sedang Mahathir anti IMF –dan terbukti Mahathir yang benar.
Mahathir pula yang dibalik
kejatuhan perdana menteri penggantinya, Pak Lah (Abdullah Badawi) karena
dianggap sangat lemah menghadapi Singapura.
Mahathir menghendaki Perdana
Menteri Malaysia yang kuat dan agresif seperti anak muda bernama Najib Razak.
Maka jadilah Najib menggantikan
Pak Lah. Tapi ternyata Mahathir juga tidak menyukai Najib yang berlebihan
korupsinya.
Dijatuhkanlah Najib dengan sangat
sakitnya.
Jadi, siapa yang akan naik jadi
Perdana Menteri Malaysia berikutnya?
Terserah hasil dagang sapi di
parlemen. Pasar sapi itu berlangsung sejak Senin Pon lalu sampai Senin Kliwon
akan datang.
Barulah kalau tidak ada kecocokan
harga di pasar sapi itu jalan terakhir terpaksa ditempuh: pemilihan umum yang
ke 15.
Sekarang
inilah pertempuran yang sebenarnya antara Mahathir dan Anwar. Tua (94) lawan
tua (74).(Dahlan Iskan)