33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Diktator Baik

Bentrok di Hongkong jalan terus.
Kini sudah memasuki bulan ke-7.

Yang menang: Presiden Taiwan,
Tsai Ing-wen.

Gara-gara demo besar di Hongkong
itu nama Ing-wen pulih lagi.

Padahal namanyi sudah jatuh
habis. Setahun lalu. Partai yang dipimpinnyi kalah total. Di Pilkada serentak
tahun lalu. Dia kalah hampir di seluruh Taiwan.

Ing-wen sudah sempat bicara akan
mengundurkan diri. Dan tidak akan maju lagi di Pilpres 11 Januari 2020.

Reputasinyi tenggelam oleh Han.
Pendatang baru dari Selatan. Dari kota terbesar kedua di Taiwan –Kaoshiung.

“Han adalah kita”.

Itulah kalimat yang banyak
diucapkan di Taiwan. Untuk menandai bahwa Han adalah orang biasa. Polos. Bicara
apa adanya. Merakyat. Kuat minum arak –seperti umumnya rakyat Taiwan. Pun
dengan pakaian seperti karyawan pada umumnya.

Han menjadi media darling.

Yang dipikirkannya adalah perut
rakyat –bukan politik. Juga perbaikan lapangan kerja. Ia tidak mau ikut
rame-rame anti Tiongkok. Yang hanya menghasilkan kesusahan ekonomi di Taiwan.

Lawan politiknya menganggap Han
pro Tiongkok; Pro penyatuan Taiwan-Tiongkok; Pro One Country Two System.

Han sebenarnya tidak
begitu-begitu amat. Tapi karena Ing-wen sangat anti Tiongkok maka lawannyi
berarti pro Tiongkok.

Politik kadang memang sesederhana
itu.

Apalagi kalau itu bisa dipakai
untuk senjata memojokkan Han. Di saat Hongkong bergejolak demikian hebatnya.
Sentimen anti Tiongkok meluas begitu hebatnya. Di Hongkong. Setidaknya di dalam
hati mereka.

Perasaan seperti itu yang
merembet ke Taiwan.

Itu yang sangat menguntungkan
Ing-wen.

Itu yang membuat Ing-wen unggul
lagi dalam survei Pilpres.

Waktunya sudah begitu mepet.
Tinggal dua minggu lagi. Sulit bagi Han untuk mengejarnyi. Ing-wen kini sudah
unggul 10 persen.

Padahal sebelum ada demo di
Hongkong, Han dipastikan terpilih. Ing-wen sudah tertinggal jauh.

Hanya karena sulit cari tokoh di
partainyi membuat Ing-wen tidak jadi mundur.

Mungkin juga karena ada janji
dukungan penuh dari Amerika. Termasuk bantuan keuangan dan ekonomi yang begitu
besar.

Kini tidak ada lagi isu ‘selama
pemerintahan Ing-wen ekonomi Taiwan parah’.

Baca Juga :  Ben Bahat Mampu Wujudkan Pembangunan Infrastruktur Sampai ke Pelosok D

Kini pembicaraan ekonomi kalah
oleh isu politik –menolak gagasan penyatuan dari Xi Jinping.

Ekonomi selalu dan selalu kalah
oleh politik. Di mana pun.

Sejarah terulang di Taiwan.

Bentuk Taiwan yang sekarang
dulunya juga ditolak oleh rakyat Taiwan.

Sejarahnya unik.

Tiongkok memang agak kehilangan
Taiwan sejak lama.

Tahun 1895 Taiwan sudah di bawah
Jepang. Selama 50 tahun. Segala sesuatunya ikut Jepang. Generasi lamanya bisa
berbahasa Jepang. Termasuk penasehat bisnis saya.

Ekonomi Taiwan, saat itu, juga
sudah baik. Industri gula, tembakau, teh, dan perkebunan lainnya sudah maju.

Memang semua itu dimonopoli
Jepang. BUMN Jepang. Hasilnya dikirim ke Jepang. Orang Taiwan hanya jadi buruh.
Atau petani. Yang hasil buminya harus dijual ke perusahaan-perusahaan Jepang
itu.

Ketika Jepang kalah di Perang
Dunia ke-2, Taiwan diserahkan ke Sekutu. Berakhirlah kekuasaan Jepang di
Taiwan. Selama 50 tahun.

Sekutu lantas menyerahkan Taiwan
ke Republic of China. Dengan status sebuah propinsim dari Tiongkok.

Waktu itu belum ada People’s
Republic of China.

Di dalam negeri, kala itu, Tiongkok
masih terjadi pergolakan. Antara nasionalis yang korup (Republic of China) dan
pejuang komunis –yang kelak mendirikan People’s Republic of China.

Pergolakan itu dimenangkan
komunis. Pusat pemerintahan Republic of China mengungsi ke Taiwan. Komunis tidak
mengejar mereka sampai Taiwan.

Pemerintah pusat Republic of
China tinggal menguasai dua provinsi: Taiwan dan Fujian. Pun yang disebut
Provinsi Fujian sebenarnya hanya beberapa pulau kecil di lepas Pantai Xiamen.
Daratan Fujian sendiri sudah dikuasai komunis.

Dengan masih menguasai dua
provinsi itu, Republic of China terus menyimpan dendam: kelak akan merebut
provinsi-provinsi lain di Tiongkok-daratan.

Demikian juga setelah komunis
mendirikan People’s Republic of China. Tetap menyimpan dendam: suatu saat nanti
akan mengambil Taiwan kembali menjadi salah satu provinsi di Tiongkok.

Sejak itu ada dua pemerintah
pusat Tiongkok. Di Taipei dan di Beijing.

Sampai tahun 1979.

Ketika Perserikatan Bangsa-bangsa
akhirnya hanya mengakui satu China: People’s Republic of China yang di Beijing.

Baca Juga :  KPU Kalteng Terbaik Pertama se Indonesia

Sejak itu status Taiwan bukan
negara juga bukan provinsi. Pemerintahannya silih berganti.

Yang berkuasa kadang pro Beijing.
Kadang yang ingin merdeka. Sejak 5 tahun lalu partai yang menang adalah yang
ingin Taiwan merdeka.

Yang presidennya Tsai Ing-wen.
Yang nyapres lagi untuk Pilpres 11 Januari.

Partai Nasionalis Koumintang yang
dulu mengungsi ke Taiwan sering kalah. Belakangan hampir akan menang. Lewat
capresnya: Han. Gara-gara demo Hongkong nasib yang pro-Beijing kehilangan angin.

Tapi Koumintang-lah yang membuat
Taiwan maju. Lewat pemerintahan diktatornya.

Sejak menerima penyerahan Taiwan
dari Sekutu pemerintahan Koumintang tidak memberi angin ke demokrasi.

Terutama sejak kerusuhan White
Terror pada 1947. Waktu itu monopoli pindah: dari Jepang ke Koumintang.

Semua hasil bumi dikirim ke
daratan. Yang lagi perlu banyak logistik. Untuk biaya perang sipil melawan
gerakan komunis.

Itu pun kalah. Komunis menguasai
daratan. Nasionalis Koumintang menguasai Taiwan.

Harga-harga di Taiwan pun naik
drastis. 10 kali lipat. Harga beras di Taiwan empat kali lipat dari Shanghai.
Rakyat Taiwan marah.

Petani pun membangkang. Tidak mau
jual hasil bumi ke BUMN. Mereka ditangkap. Rakyat kian marah. Ada yang
tertembak.

Rakyat pun mengambil alih
kantor-kantor pemerintah. Menyegel juga perusahaan-perusahaan BUMN.

Militer turun tangan.

Mereka dibasmi.

Sampai 20.000 orang tewas.

Taiwan dinyatakan dalam keadaan
darurat. Selama 30 tahun. Masa darurat terpanjang dalam sejarah dunia.

Pada era diktator itulah ekonomi
Taiwan maju. Taiwan mendapat ‘diktator baik hati’.

Baru di tahun 1990-an demokrasi
lahir di Taiwan. Sangat demokratis. Sampai sekarang.

Itulah yang melahirkan teori baru
pembangunan ekonomi.

Dapatkan dulu diktator baik hati.
Untuk bangun ekonomi.

Setelah maju barulah rakyat
diberi demokrasi.

Teori ini manjur juga di Korea
Selatan.

Singapura juga mendapat diktator
baik hati. Hanya saja sampai kelak sudah sangat maju masih lupa memberi
demokrasi.

Masalah kita: tidak mudah mencari
diktator baik hati.(Dahlan Iskan)

Bentrok di Hongkong jalan terus.
Kini sudah memasuki bulan ke-7.

Yang menang: Presiden Taiwan,
Tsai Ing-wen.

Gara-gara demo besar di Hongkong
itu nama Ing-wen pulih lagi.

Padahal namanyi sudah jatuh
habis. Setahun lalu. Partai yang dipimpinnyi kalah total. Di Pilkada serentak
tahun lalu. Dia kalah hampir di seluruh Taiwan.

Ing-wen sudah sempat bicara akan
mengundurkan diri. Dan tidak akan maju lagi di Pilpres 11 Januari 2020.

Reputasinyi tenggelam oleh Han.
Pendatang baru dari Selatan. Dari kota terbesar kedua di Taiwan –Kaoshiung.

“Han adalah kita”.

Itulah kalimat yang banyak
diucapkan di Taiwan. Untuk menandai bahwa Han adalah orang biasa. Polos. Bicara
apa adanya. Merakyat. Kuat minum arak –seperti umumnya rakyat Taiwan. Pun
dengan pakaian seperti karyawan pada umumnya.

Han menjadi media darling.

Yang dipikirkannya adalah perut
rakyat –bukan politik. Juga perbaikan lapangan kerja. Ia tidak mau ikut
rame-rame anti Tiongkok. Yang hanya menghasilkan kesusahan ekonomi di Taiwan.

Lawan politiknya menganggap Han
pro Tiongkok; Pro penyatuan Taiwan-Tiongkok; Pro One Country Two System.

Han sebenarnya tidak
begitu-begitu amat. Tapi karena Ing-wen sangat anti Tiongkok maka lawannyi
berarti pro Tiongkok.

Politik kadang memang sesederhana
itu.

Apalagi kalau itu bisa dipakai
untuk senjata memojokkan Han. Di saat Hongkong bergejolak demikian hebatnya.
Sentimen anti Tiongkok meluas begitu hebatnya. Di Hongkong. Setidaknya di dalam
hati mereka.

Perasaan seperti itu yang
merembet ke Taiwan.

Itu yang sangat menguntungkan
Ing-wen.

Itu yang membuat Ing-wen unggul
lagi dalam survei Pilpres.

Waktunya sudah begitu mepet.
Tinggal dua minggu lagi. Sulit bagi Han untuk mengejarnyi. Ing-wen kini sudah
unggul 10 persen.

Padahal sebelum ada demo di
Hongkong, Han dipastikan terpilih. Ing-wen sudah tertinggal jauh.

Hanya karena sulit cari tokoh di
partainyi membuat Ing-wen tidak jadi mundur.

Mungkin juga karena ada janji
dukungan penuh dari Amerika. Termasuk bantuan keuangan dan ekonomi yang begitu
besar.

Kini tidak ada lagi isu ‘selama
pemerintahan Ing-wen ekonomi Taiwan parah’.

Baca Juga :  Ben Bahat Mampu Wujudkan Pembangunan Infrastruktur Sampai ke Pelosok D

Kini pembicaraan ekonomi kalah
oleh isu politik –menolak gagasan penyatuan dari Xi Jinping.

Ekonomi selalu dan selalu kalah
oleh politik. Di mana pun.

Sejarah terulang di Taiwan.

Bentuk Taiwan yang sekarang
dulunya juga ditolak oleh rakyat Taiwan.

Sejarahnya unik.

Tiongkok memang agak kehilangan
Taiwan sejak lama.

Tahun 1895 Taiwan sudah di bawah
Jepang. Selama 50 tahun. Segala sesuatunya ikut Jepang. Generasi lamanya bisa
berbahasa Jepang. Termasuk penasehat bisnis saya.

Ekonomi Taiwan, saat itu, juga
sudah baik. Industri gula, tembakau, teh, dan perkebunan lainnya sudah maju.

Memang semua itu dimonopoli
Jepang. BUMN Jepang. Hasilnya dikirim ke Jepang. Orang Taiwan hanya jadi buruh.
Atau petani. Yang hasil buminya harus dijual ke perusahaan-perusahaan Jepang
itu.

Ketika Jepang kalah di Perang
Dunia ke-2, Taiwan diserahkan ke Sekutu. Berakhirlah kekuasaan Jepang di
Taiwan. Selama 50 tahun.

Sekutu lantas menyerahkan Taiwan
ke Republic of China. Dengan status sebuah propinsim dari Tiongkok.

Waktu itu belum ada People’s
Republic of China.

Di dalam negeri, kala itu, Tiongkok
masih terjadi pergolakan. Antara nasionalis yang korup (Republic of China) dan
pejuang komunis –yang kelak mendirikan People’s Republic of China.

Pergolakan itu dimenangkan
komunis. Pusat pemerintahan Republic of China mengungsi ke Taiwan. Komunis tidak
mengejar mereka sampai Taiwan.

Pemerintah pusat Republic of
China tinggal menguasai dua provinsi: Taiwan dan Fujian. Pun yang disebut
Provinsi Fujian sebenarnya hanya beberapa pulau kecil di lepas Pantai Xiamen.
Daratan Fujian sendiri sudah dikuasai komunis.

Dengan masih menguasai dua
provinsi itu, Republic of China terus menyimpan dendam: kelak akan merebut
provinsi-provinsi lain di Tiongkok-daratan.

Demikian juga setelah komunis
mendirikan People’s Republic of China. Tetap menyimpan dendam: suatu saat nanti
akan mengambil Taiwan kembali menjadi salah satu provinsi di Tiongkok.

Sejak itu ada dua pemerintah
pusat Tiongkok. Di Taipei dan di Beijing.

Sampai tahun 1979.

Ketika Perserikatan Bangsa-bangsa
akhirnya hanya mengakui satu China: People’s Republic of China yang di Beijing.

Baca Juga :  KPU Kalteng Terbaik Pertama se Indonesia

Sejak itu status Taiwan bukan
negara juga bukan provinsi. Pemerintahannya silih berganti.

Yang berkuasa kadang pro Beijing.
Kadang yang ingin merdeka. Sejak 5 tahun lalu partai yang menang adalah yang
ingin Taiwan merdeka.

Yang presidennya Tsai Ing-wen.
Yang nyapres lagi untuk Pilpres 11 Januari.

Partai Nasionalis Koumintang yang
dulu mengungsi ke Taiwan sering kalah. Belakangan hampir akan menang. Lewat
capresnya: Han. Gara-gara demo Hongkong nasib yang pro-Beijing kehilangan angin.

Tapi Koumintang-lah yang membuat
Taiwan maju. Lewat pemerintahan diktatornya.

Sejak menerima penyerahan Taiwan
dari Sekutu pemerintahan Koumintang tidak memberi angin ke demokrasi.

Terutama sejak kerusuhan White
Terror pada 1947. Waktu itu monopoli pindah: dari Jepang ke Koumintang.

Semua hasil bumi dikirim ke
daratan. Yang lagi perlu banyak logistik. Untuk biaya perang sipil melawan
gerakan komunis.

Itu pun kalah. Komunis menguasai
daratan. Nasionalis Koumintang menguasai Taiwan.

Harga-harga di Taiwan pun naik
drastis. 10 kali lipat. Harga beras di Taiwan empat kali lipat dari Shanghai.
Rakyat Taiwan marah.

Petani pun membangkang. Tidak mau
jual hasil bumi ke BUMN. Mereka ditangkap. Rakyat kian marah. Ada yang
tertembak.

Rakyat pun mengambil alih
kantor-kantor pemerintah. Menyegel juga perusahaan-perusahaan BUMN.

Militer turun tangan.

Mereka dibasmi.

Sampai 20.000 orang tewas.

Taiwan dinyatakan dalam keadaan
darurat. Selama 30 tahun. Masa darurat terpanjang dalam sejarah dunia.

Pada era diktator itulah ekonomi
Taiwan maju. Taiwan mendapat ‘diktator baik hati’.

Baru di tahun 1990-an demokrasi
lahir di Taiwan. Sangat demokratis. Sampai sekarang.

Itulah yang melahirkan teori baru
pembangunan ekonomi.

Dapatkan dulu diktator baik hati.
Untuk bangun ekonomi.

Setelah maju barulah rakyat
diberi demokrasi.

Teori ini manjur juga di Korea
Selatan.

Singapura juga mendapat diktator
baik hati. Hanya saja sampai kelak sudah sangat maju masih lupa memberi
demokrasi.

Masalah kita: tidak mudah mencari
diktator baik hati.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru