Alhamdulillah ini tiga kali.
Vent-I sudah lolos uji kementerian kesehatan.
Fightcovid19.id sudah
akan dipakai secara nasional.
Hafidz yang
mengusulkan sistem pool test sudah
diajak bicara oleh BNPB.
Anak-anak negeri yang cerdas
itu begitu termotivasi –untuk ikut menemukan jalan keluar persoalan bersama.
Ahmad Alghozi Ramadhan kini
sudah tinggal di Jakarta. Sejak ia dipanggil oleh BNPB. Ghozi sekarang tidur di
salah satu kamar di kantor itu.
Ghozi sudah lega.
Sebelumnya ia sempat nangis
tengah malam –dengan perasaan tertekan. Waktu itu ia masih di Bangka.
Tiba-tiba begitu banyak telepon yang harus ia terima.
Ia masih terlalu muda untuk
menerima tekanan kanan-kiri. Umurnya baru 22 tahun. Pergaulan lamanya lebih
banyak hanya satu arah: dengan komputer. Yang tidak pernah bisa
mengancamnya.
Sejak terkenal itu (Baca DI’s
Way: Milenial Nakal) Alghozi harus berinteraksi
dengan banyak orang –dengan segala watak dan karakter mereka.
Tapi setelah BNPB merangkulnya
Ghozi menjadi tenang. Bahkan lebih semangat lagi. Tidak pernah lagi ia curhat
tengah malam –yang isi curhat itu baru bisa saya baca saat sahur.
Dr. Syarif â€ITB
Salman†Hidayat juga sudah bisa lebih fokus pada produksi
ventilator non-invasive Vent-I. Setelah pemerintah meluluskan penemuannya itu
lewat tes uji dua kali.
Memang Vent-I masih harus diuji
di lapangan. Yakni harus dicoba di 10 rumah sakit dulu. Itulah uji klinis yang
harus dilalui.
Setelah itu permohonan izin
edar harus dimintakan. Tanpa izin edar Vent-I tidak boleh dipakai secara umum.
Baik di rumah sakit maupun untuk kepentingan pribadi orang per orang.
Padahal banyak orang yang tidak
terkena corona pun ingin meningkatkan daya serap oksigen di tubuh mereka. Agar
lebih sehat.
Toh harganya tidak mahal.
Sekitar Rp 12,5 juta –katakanlah sampai Rp 15 juta. Apalagi di rumah bisa
dipakai bergantian –suami dan istri.
Bahwa Ghozi sudah tidak nangis
tengah malam berarti jiwanya sudah semakin kuat. Apalagi pada dasarnya ia bukan
hanya milenial nakal. Ia juga seorang humoris.
Ghozi pernah ikut stand
up comedy. Manggung dari cafe ke cafe. Bersama Agung Pratomo –yang
punya nama panggung Agung Sadega. Yakni ketika keduanya masih SMA di Bangka.
â€Kok sekarang Anda tidak lucu
lagi?†tanya saya kemarin.
â€Badan saya yang sudah lebih
lucu,†jawabnya.
Ghozi menjadi gemuk sejak
menekuni IT. Wajahnya sudah lebih banyak mecucu daripada tertawa.
â€Siapa yang lebih lucu? Anda
atau Agung?†tanya saya.
â€Kan bapak bilang saya sudah
tidak lucu lagi. Ya beliaulah yang lebih lucu,†jawabnya.
Ghozi sangat berhutang budi
pada Agung Sadega. Agunglah yang memperkenalkan Ghozi ke temannya. Kebetulan
teman Agung itu menjabat Wakil Bupati Belitung. Namanya: Isyak Meirobie.
Kalau di Kabupaten Belitung
Timur ada BTP, di Kabupaten Belitung ada Isyak. Sama-sama suku Tionghoa –tapi
beda jauh tutur bahasanya. Sama-sama tertarik politik –tapi Isyak memulainya
sejak semester 5.
Isyak langsung â€ok†ketika
Agung memberitahunya tentang aplikasi yang dibuat Ghozi.
Itu masih awal Maret.
Jam itu juga Isyak membentuk
grup WA. Anggota grup itu 3 orang: Isyak, Agung, dan Ghozi. Diskusi tentang
aplikasi itu dibicarakan intensif di grup itu.
Tiga hari kemudian sudah bisa
diputuskan: Belitung langsung memanfaatkannya. Isyak-lah yang menambahkan ide
perlunya dikombinasikan dengan gelang konser.
Ghozi setuju.
Hari itu juga, Isyak pesan
gelang di Jakarta. Besoknya sudah bisa dikirim ke Belitung.
Isyak pun langsung lapor ke
Gubernur Bangka Belitung, Elzardi Roesman. Sang gubernur sangat responsif.
Bahkan langsung memanggil Ghozi ke Bangka. Memberinya pula tempat tinggal
sementara.
Provinsi Babel menjadi yang
pertama menerapkan aplikasi Fightcovid19.id.
Isyak ikut bersyukur nama Ghozi
kini menasional. Meski hubungan Isyak-Ghozi begitu intens tapi keduanya belum
pernah baku muka. Ghozi belum sempat ke Belitung.
Inilah zaman baru: membuat
keputusan penting lewat serba online.
Hanya saja keadaan cepat berubah.
â€Fungsi gelang itu sekarang
dialihkan. Bukan lagi untuk penumpang pesawat yang tiba di Belitung tapi untuk
penduduk yang harus isolasi,†ujar Isyak.
Itu karena tidak ada lagi
pesawat yang mendarat di Belitung. Dari 14 kali sehari, menjadi sekali, menjadi
tidak ada sama sekali. Yakni sejak secara nasional dilarang tiga hari lalu.
â€Aplikasi Ghozi tetap besar
manfaatnya,†ujar Isyak yang sejak masih mahasiswa sudah jadi tokoh nasional.
Yakni sejak masih berumur 22 tahun. Waktu statusnya masih mahasiswa interior
desain di Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Isyak-lah yang waktu itu
menjadi salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Tionghoa Indonesia. Ia pula yang
pertama menjadi ketua umumnya.
Saat itu suasana reformasi
memang sangat kuat. Semua kelompok masyarakat menguatkan identitas
masing-masing.
Suasana reformasi pula yang
membawa Isyak ke politik. Ia selalu memenangkan sayembara karya tulis di
kampusnya. Dan ia selalu menulis tentang politik.
Itu sebagai sumpahnya di saat
ayahnya meninggal dunia di usia 65 tahun. Waktu itu Jakarta rusuh rasial. Sang
ayah –yang lagi menengok anaknya di Jakarta– depresi.
â€Keluarga kami di Jakarta
sebenarnya aman. Tetangga kami banyak haji dan baik-baik semua,†ujar Isyak.
Ketika umur 26 tahun Isyak ikut
mendirikan partai baru: Partai Indonesia Baru (PIB). Dengan tokoh sentral Dr
Syahrir. Isyak menjadi salah satu ketua pimpinan pusat BIP –di umurnya
itu.
Dari sinilah Isyak menjadi
caleg DPRD Belitung. Terpilih. Termuda. Nama panggilannya tetap Isyak –meski
ia masih punya marga: Li.
Dan sekarang Isyak menjadi
wakil bupati di sana. Di umurnya yang 42 tahun.
â€Saya bangga sekarang nama
Ghozi sudah menasional,†ujar Isyak.
Di BNPB, Ghozi tetap dengan
kebiasaannya: ngalong –seperti kalong: tidak tidur
sepanjang malam. Begitulah umumnya anak muda IT.
Ghozi baru tidur jam 6 pagi
atau satu jam kemudian. Ketika orang normal mulai masuk kantor, barulah Ghozi
tidur. Sampai jam 11 siang. Lalu kerja lagi sepanjang sore dan malam.
Ia juga bisa menerima
kenyataan: oleh BNPB nama aplikasinya akan diubah. Pada saatnya nanti akan
diluncurkan nama baru: bersatulawancovid.id.
Yang penting jangan
nangis-nangis lagi ya Ghozi. Gak lucu! (Dahlan Iskan)