25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Deviden Cashback

Sudah empat tahun PT Pengayom
Petani Sejagad berdiri. Setiap tahun petani menerima ‘cashback’ dari
Pengayom. Bahkan setiap habis panen –kalau setahun bisa panen dua atau tiga
kali.

Istilah ‘cashback’ itu
hanya dipakai untuk memudahkan petani mencernanya. Padahal itu adalah pembagian
laba biasa.

Mengapa pembagian laba itu
tidak diwujudkan dalam deviden tahunan? Seperti lazimnya sebuah perusahaan
perseroan terbatas?

”Agar petani langsung merasakan
hasil panen mereka,” ujar Hanjar Lukitojati, direktur Pengayom Petani Sejagad.

Memang PT tani di desa Kebon
Agung, Kecamatan Sidoharjo, di pedalaman Wonogiri ini bukan PT biasa.

Kenyataannya PT Pengayom itu
seperti gabungan sifat-sifat koperasi, resi gudang, Bulog, dan perseroan
terbatas.

Karena itu Hanjar pada dasarnya
ingin bentuk lembaga usaha tani ini bukan PT. Tapi juga bukan koperasi dan
bukan pula resi gudang.

”Kami awalnya pengin bentuk
lembaga ini BUMP, Badan Usaha Milik Petani,” ujar Hanjar.

Tapi UU di negara ini tidak
mengenal bentuk badan hukum selain perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan
perkumpulan.

Tidak ada lembaga seperti BUMN,
BUMD, apalagi BUMP. Semua itu hanya identitas –bukan lembaga badan hukum.

Karena pilihannya hanya empat
itu maka tidak ada yang lebih memberi harapan selain perseroan terbatas.

Itulah hasil penelitian
mendalam perkumpulan mahasiswa calon doktor Universitas 11 Maret Solo.

Itu pula tesis desertasi doktor
Sugeng Edi Waluyo di Universitas 11 Maret.

Dr Edi lantas mendirikan
perkumpulan mahasiswa calon doktor itu. Lalu mendirikan Seknas BUMP –semacam
konsultan untuk kelembagaan bidang pertanian.

Seknas itulah yang menjadi
pembina di PT Pengayom. Lewat kepemilikan sahamnya yang 5 persen.

”Koperasi sebenarnya baik,”
ujar Dr. Edi Waluyo. ”Tapi koperasi sulit bekerja sama dengan partner swasta.
Apalagi asing,” tambahnya.

Bukan, koperasinya yang tidak
mau, tapi partnernya yang umumnya enggan.

Padahal, untuk bisa tumbuh
besar kadang diperlukan partnership.

Belum lagi citra koperasi yang
saat ini sudah terlalu terkait dengan instansi pemerintah. Yakni dinas koperasi
di daerah. Koperasi juga sudah kurang mandiri. Terlalu tergantung pada bantuan
dan fasilitas.

Itu yang tidak akan terjadi
kalau bentuknya PT.

Misalnya PT Pengayom di desa
Kebon Agung itu. Tidak pernah mendapat bantuan pemerintah. Toh bisa terus
berkembang.

Bahkan sudah bisa ekspor beras
organik ke Amerika, Singapura, dan Prancis.

Baca Juga :  Pemerintah Pusat dan Daerah Dapat Laksanakan Proses Pengadaan Lelang

Saya sampai membeli beberapa
jenis beras produksi PT ini. Akan saya tulis di DI’s Way edisi berikutnya.
Kapan-kapan.

Memang peralatan di pabrik
beras PT Pengayom tidak sehebat yang ada di Bulog. Yang serba impor itu.

”Mesin ini buatan kami sendiri,”
ujar Mahmudsyah, staf di PT itu. ”Habisnya tidak sampai Rp 1 miliar. Bisa untuk
6 ton sehari,” tambahnya.

 Memang tidak terlihat ada
merk asing di mesin penggilingan beras itu. Bahkan tidak ada merknya sama
sekali.

Ups… Ada.

Ada gambar tawon di bagian
belakangnya. ”Kami beri gambar TAWON. Sekedar agar ada merknya,” ujar
Mahmudsyah sambil tertawa.

Tapi diam-diam Mahmudsyah punya
‘dendam’ di balik kata TAWON itu. Ia pun membisiki saya: TAWON itu singkatan
Teknologi Anak Wonogiri.

Ia memimpikan suatu saat nanti
Pengayom punya divisi teknologi pertanian yang cocok untuk pedesaan.

Di dalam prakteknya, PT
Pengayom membeli gabah milik petani pemegang saham. Yakni petani yang menjadi
anggota Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan yang menjadi anggota Asosiasi
Petani Organik.

Dua kelompok tani itulah
pemegang saham PT Pengayom Petani Sejagad. Asosiasi Petani Organik memegang 50
persen saham, Gapoktan 35 persen, Hanjar 10 persen dan Seknas BUMP 5 persen.

Jauh-jauh hari petani sudah
tahu: berapa harga jual gabah ke PT Pengayom saat panen tiba. PT Pengayom
lantas mengeringkan gabahnya –masih dengan cara dijemur di lantai. Lalu
menggilingnya di mesin Tawon.

Ketika beras itu dijual
didapatlah selisih harga. Sebagian laba itu menjadi keuntungan PT Pengayom.
Tapi sebagian besar dikembalikan ke petani dalam bentuk –hanya istilah– cashback tadi.

Pernahkah rugi? Hasil jualan
berasnya lebih rendah dari hasil pembelian gabah plus biaya pengolahan?

”Tidak pernah. Kami selalu
untung. Kadang harus kami tunggu harga baik dulu,” ujar Hanjar yang lulusan
Pondok Modern Gontor Ponorogo ini.

Masa tunggu itu paling lama dua
bulan.

Itu berarti memang ada fungsi
”resi gudang” di dalam PT ini.

Hanjar juga mengusahakan pasar
yang harganya bisa diikat dalam kontrak jauh-jauh hari. Misalnya supermarket.

Di sinilah PT Pengayom juga
bisa memfungsikan diri sebagai Bulog untuk para anggotanya. Yakni untuk menjaga
agar harga gabah tidak jatuh pada masa panen.

Bupati Wonogiri, Joko Sutopo
pun, akhirnya juga percaya pada PT Pengayom. Bupati membuat keputusan berani:
menunjuk PT Pengayom menjadi pelaksana penyaluran beras untuk orang miskin.
Yakni program pemerintah yang dulu diserahkan ke Bulog.

Baca Juga :  Pemko Dukung Pesparawi 2020

Lewat PT Pengayom itu bupati
Sutopo bisa memangkas proses yang panjang.

Petani menyerahkan gabah ke
Pengayom. Pengayom menyerahkan beras ke orang miskin. Tidak ada peran tengkulak
di proses ini.

Jalur aliran berasnya pun
pendek. Orang miskin bisa mendapat beras yang lebih baik.

Terakhir ini PT Pengayom
mendapat kepercayaan lebih tinggi lagi: diminta mengelola gudang besar di
Wonogiri yang yang sudah bertahan-tahun nganggur.

Dengan ‘cashback’ tiap
musim panen itu petani sudah merasa mendapat deviden.

Karena itu di setiap RUPS
(Rapat Umum Pemegang Saham) tidak ada permintaan bagi deviden. Belum pernah ada
pembagian laba dalam bentuk deviden murni.

”Deviden tidak dibagi untuk
terus menjadi laba ditahan. Uangnya untuk pengembangan perusahaan,” ujar
Hanjar.

Itulah sebabnya modal dasar PT
Pengayom yang awalnya hanya Rp 250 juta kini sudah menjadi Rp 5 miliar. Dengan
omzet yang sudah di atas Rp 100 miliar.

Memang Hanjar sangat
mengeluhkan soal pajak. ”Ini kan usaha tani. Masih awal dan kecil. Tapi kami
harus membayar pajak yang besar,” ujar Hanjar.

Saya jawab: Itulah konsekuensi
lembaga berbentuk PT.

Apalagi kalau semua selisih
harga tadi –yang jadi cashback tadi–
dimasukkan sebagai laba. Laba perusahaan menjadi terlihat besar. Tagihan
pajaknya pun besar.

Mungkin, demi pengembangan
usaha tani ini, Hanjar harus bisa mencari cara bagaimana agar cashback itu
tidak dibukukan sebagai laba. Yang penting jangan menggelapkan pajak.

Tapi biarlah Hanjar tidak usah
dibantu. Tidak usah pula diberi nasehat. Biarlah ia kebentur-bentur seperti
itu. Ia masih muda. Umurnya 33 tahun. Ia sangat cerdas. Bisa belajar sendiri
dari keterjepitannya itu.

Bantuan hanya akan
memanjakannya dan akhirnya melemahkannya. Biarlah kalau PT Pengayom itu nanti
besar –dan melegenda– itu adalah prestasinya dan prestasi timnya.

Perjalanan Hanjar memang masih
panjang. Mungkin masih akan banyak kelokan dan tanjakan di depan.

Ia pasti akan menghadapi
persaingan kejam dari swasta. Termasuk dari sembilan naga. Biarlah ia menjadi
naga kecil dulu di Wonogiri –siapa tahu kelak bisa jadi naga besar. (dahlan
iskan)

 

Sudah empat tahun PT Pengayom
Petani Sejagad berdiri. Setiap tahun petani menerima ‘cashback’ dari
Pengayom. Bahkan setiap habis panen –kalau setahun bisa panen dua atau tiga
kali.

Istilah ‘cashback’ itu
hanya dipakai untuk memudahkan petani mencernanya. Padahal itu adalah pembagian
laba biasa.

Mengapa pembagian laba itu
tidak diwujudkan dalam deviden tahunan? Seperti lazimnya sebuah perusahaan
perseroan terbatas?

”Agar petani langsung merasakan
hasil panen mereka,” ujar Hanjar Lukitojati, direktur Pengayom Petani Sejagad.

Memang PT tani di desa Kebon
Agung, Kecamatan Sidoharjo, di pedalaman Wonogiri ini bukan PT biasa.

Kenyataannya PT Pengayom itu
seperti gabungan sifat-sifat koperasi, resi gudang, Bulog, dan perseroan
terbatas.

Karena itu Hanjar pada dasarnya
ingin bentuk lembaga usaha tani ini bukan PT. Tapi juga bukan koperasi dan
bukan pula resi gudang.

”Kami awalnya pengin bentuk
lembaga ini BUMP, Badan Usaha Milik Petani,” ujar Hanjar.

Tapi UU di negara ini tidak
mengenal bentuk badan hukum selain perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan
perkumpulan.

Tidak ada lembaga seperti BUMN,
BUMD, apalagi BUMP. Semua itu hanya identitas –bukan lembaga badan hukum.

Karena pilihannya hanya empat
itu maka tidak ada yang lebih memberi harapan selain perseroan terbatas.

Itulah hasil penelitian
mendalam perkumpulan mahasiswa calon doktor Universitas 11 Maret Solo.

Itu pula tesis desertasi doktor
Sugeng Edi Waluyo di Universitas 11 Maret.

Dr Edi lantas mendirikan
perkumpulan mahasiswa calon doktor itu. Lalu mendirikan Seknas BUMP –semacam
konsultan untuk kelembagaan bidang pertanian.

Seknas itulah yang menjadi
pembina di PT Pengayom. Lewat kepemilikan sahamnya yang 5 persen.

”Koperasi sebenarnya baik,”
ujar Dr. Edi Waluyo. ”Tapi koperasi sulit bekerja sama dengan partner swasta.
Apalagi asing,” tambahnya.

Bukan, koperasinya yang tidak
mau, tapi partnernya yang umumnya enggan.

Padahal, untuk bisa tumbuh
besar kadang diperlukan partnership.

Belum lagi citra koperasi yang
saat ini sudah terlalu terkait dengan instansi pemerintah. Yakni dinas koperasi
di daerah. Koperasi juga sudah kurang mandiri. Terlalu tergantung pada bantuan
dan fasilitas.

Itu yang tidak akan terjadi
kalau bentuknya PT.

Misalnya PT Pengayom di desa
Kebon Agung itu. Tidak pernah mendapat bantuan pemerintah. Toh bisa terus
berkembang.

Bahkan sudah bisa ekspor beras
organik ke Amerika, Singapura, dan Prancis.

Baca Juga :  Pemerintah Pusat dan Daerah Dapat Laksanakan Proses Pengadaan Lelang

Saya sampai membeli beberapa
jenis beras produksi PT ini. Akan saya tulis di DI’s Way edisi berikutnya.
Kapan-kapan.

Memang peralatan di pabrik
beras PT Pengayom tidak sehebat yang ada di Bulog. Yang serba impor itu.

”Mesin ini buatan kami sendiri,”
ujar Mahmudsyah, staf di PT itu. ”Habisnya tidak sampai Rp 1 miliar. Bisa untuk
6 ton sehari,” tambahnya.

 Memang tidak terlihat ada
merk asing di mesin penggilingan beras itu. Bahkan tidak ada merknya sama
sekali.

Ups… Ada.

Ada gambar tawon di bagian
belakangnya. ”Kami beri gambar TAWON. Sekedar agar ada merknya,” ujar
Mahmudsyah sambil tertawa.

Tapi diam-diam Mahmudsyah punya
‘dendam’ di balik kata TAWON itu. Ia pun membisiki saya: TAWON itu singkatan
Teknologi Anak Wonogiri.

Ia memimpikan suatu saat nanti
Pengayom punya divisi teknologi pertanian yang cocok untuk pedesaan.

Di dalam prakteknya, PT
Pengayom membeli gabah milik petani pemegang saham. Yakni petani yang menjadi
anggota Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan yang menjadi anggota Asosiasi
Petani Organik.

Dua kelompok tani itulah
pemegang saham PT Pengayom Petani Sejagad. Asosiasi Petani Organik memegang 50
persen saham, Gapoktan 35 persen, Hanjar 10 persen dan Seknas BUMP 5 persen.

Jauh-jauh hari petani sudah
tahu: berapa harga jual gabah ke PT Pengayom saat panen tiba. PT Pengayom
lantas mengeringkan gabahnya –masih dengan cara dijemur di lantai. Lalu
menggilingnya di mesin Tawon.

Ketika beras itu dijual
didapatlah selisih harga. Sebagian laba itu menjadi keuntungan PT Pengayom.
Tapi sebagian besar dikembalikan ke petani dalam bentuk –hanya istilah– cashback tadi.

Pernahkah rugi? Hasil jualan
berasnya lebih rendah dari hasil pembelian gabah plus biaya pengolahan?

”Tidak pernah. Kami selalu
untung. Kadang harus kami tunggu harga baik dulu,” ujar Hanjar yang lulusan
Pondok Modern Gontor Ponorogo ini.

Masa tunggu itu paling lama dua
bulan.

Itu berarti memang ada fungsi
”resi gudang” di dalam PT ini.

Hanjar juga mengusahakan pasar
yang harganya bisa diikat dalam kontrak jauh-jauh hari. Misalnya supermarket.

Di sinilah PT Pengayom juga
bisa memfungsikan diri sebagai Bulog untuk para anggotanya. Yakni untuk menjaga
agar harga gabah tidak jatuh pada masa panen.

Bupati Wonogiri, Joko Sutopo
pun, akhirnya juga percaya pada PT Pengayom. Bupati membuat keputusan berani:
menunjuk PT Pengayom menjadi pelaksana penyaluran beras untuk orang miskin.
Yakni program pemerintah yang dulu diserahkan ke Bulog.

Baca Juga :  Pemko Dukung Pesparawi 2020

Lewat PT Pengayom itu bupati
Sutopo bisa memangkas proses yang panjang.

Petani menyerahkan gabah ke
Pengayom. Pengayom menyerahkan beras ke orang miskin. Tidak ada peran tengkulak
di proses ini.

Jalur aliran berasnya pun
pendek. Orang miskin bisa mendapat beras yang lebih baik.

Terakhir ini PT Pengayom
mendapat kepercayaan lebih tinggi lagi: diminta mengelola gudang besar di
Wonogiri yang yang sudah bertahan-tahun nganggur.

Dengan ‘cashback’ tiap
musim panen itu petani sudah merasa mendapat deviden.

Karena itu di setiap RUPS
(Rapat Umum Pemegang Saham) tidak ada permintaan bagi deviden. Belum pernah ada
pembagian laba dalam bentuk deviden murni.

”Deviden tidak dibagi untuk
terus menjadi laba ditahan. Uangnya untuk pengembangan perusahaan,” ujar
Hanjar.

Itulah sebabnya modal dasar PT
Pengayom yang awalnya hanya Rp 250 juta kini sudah menjadi Rp 5 miliar. Dengan
omzet yang sudah di atas Rp 100 miliar.

Memang Hanjar sangat
mengeluhkan soal pajak. ”Ini kan usaha tani. Masih awal dan kecil. Tapi kami
harus membayar pajak yang besar,” ujar Hanjar.

Saya jawab: Itulah konsekuensi
lembaga berbentuk PT.

Apalagi kalau semua selisih
harga tadi –yang jadi cashback tadi–
dimasukkan sebagai laba. Laba perusahaan menjadi terlihat besar. Tagihan
pajaknya pun besar.

Mungkin, demi pengembangan
usaha tani ini, Hanjar harus bisa mencari cara bagaimana agar cashback itu
tidak dibukukan sebagai laba. Yang penting jangan menggelapkan pajak.

Tapi biarlah Hanjar tidak usah
dibantu. Tidak usah pula diberi nasehat. Biarlah ia kebentur-bentur seperti
itu. Ia masih muda. Umurnya 33 tahun. Ia sangat cerdas. Bisa belajar sendiri
dari keterjepitannya itu.

Bantuan hanya akan
memanjakannya dan akhirnya melemahkannya. Biarlah kalau PT Pengayom itu nanti
besar –dan melegenda– itu adalah prestasinya dan prestasi timnya.

Perjalanan Hanjar memang masih
panjang. Mungkin masih akan banyak kelokan dan tanjakan di depan.

Ia pasti akan menghadapi
persaingan kejam dari swasta. Termasuk dari sembilan naga. Biarlah ia menjadi
naga kecil dulu di Wonogiri –siapa tahu kelak bisa jadi naga besar. (dahlan
iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru