26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Nyaman Banar

Tetap saja mengharukan. Biar pun
salat Idul Fitri-nya di rumah sendiri. Kemarin.

Kebetulan ada halaman kecil di
depan studio gamelan. Di samping rumah saya. Halaman itu berpasir. Pasir yang
sudah dicuci –agar tidak berdebu. 

Di situlah kami salat hari raya. 

Dua anak, dua menantu, dan enam
cucu menjadi jamaahnya. Rumah mereka hanya sepelemparan batu jauhnya.

Ditambah pula Kang Sahidin
–sopir keluarga yang tidak bisa pulang kampung ke Sukabumi. Juga Pak Man
–tukang kebun yang sudah puluhan tahun membujang –sejak istrinya meninggal.
Masih ditambah asisten rumah tangga anak saya dan staf keuangan di
perusahaannyi.

Total 16 orang.

Di rerimbunan pohon mangga,
nangka, asam Jawa, dan kaliandra itu kami menggelar tikar. Pula, diletakkan di
situ satu kursi. Di sebelah sajadah imam. Itulah kursi untuk yang akan khotbah
nanti –saya.

Istri saya lantas menghias kursi
itu dengan kain yang dibeli di Turki. Lalu membungkus tongkat dengan bambu.
Tongkat itu akan dipegang khotib saat berkhotbah nanti –seperti tradisi lama
di desa saya dulu.

Saya ingat masa lalu. Nun jauh ke
belakang. Yakni saat saya kelas 3 Aliyah (SMA). Saya diminta khotbah Idul Fitri
di masjid desa saya. Itulah pertama kali saya khotbah Idul Fitri. Pun
tahun-tahun berikutnya.

Lalu… tidak pernah khotbah
lagi. Selama 40 tahun lebih. Mungkin juga tidak akan pernah khotbah lagi
–kalau tidak ada Covid-19.

Dunia bisnis telah membuat saya
tidak dikenal di dunia dakwah. Saya sudah dianggap ”binatang ekonomi”. Sudah
disamakan dengan suku Tionghoa atau Yahudi.

Ternyata, di masa tua, masih
harus khotbah lagi.

Tidak mudah berkhotbah di depan
hanya 16 orang. Apalagi umur mereka bervariasi –8 tahun sampai 67 tahun. Tema
khotbah bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi.

Baca Juga :  10.000 Liter Cairan Disinfektan Dibagikan ke Warga

Saya putuskan hanya bercerita
saja. Yakni cerita bahwa berkat Covid ini saya bisa salat tarawih tiap malam
dengan tertibnya. Juga cerita tentang bagaimana di sepertiga akhir bulan puasa.
Yang tarawihnya kami khususkan. Di setiap rakaat terakhir, gerakan rukuk
(membungkuk) kami buat lama sekali. Untuk sepenuhnya berserah diri kepada Yang
Maha Kuasa. Seperti gerakan penyerahan leher kepada pemilik hidup –terserah,
mau dipancung sekali pun.

Gerakan sujud rakaat terakhir itu
juga sangat lama. Di sujud pertama –setelah bacaan sujud– kami panjatkan doa
untuk kesehatan kami. Saya sebut satu persatu nama-nama anggota keluarga saya.
Saya mintakan sehat juga: semua karyawan di grup perusahaan saya. Baik yang di
Kaltim, Lombok, Sumbawa, Surabaya, Jabar, Jateng, Sumatera, dan di Papua. 

Di sujud kedua, saya doakan
mereka agar diberi kehidupan yang baik. Perusahaan-perusahaan itu. Juga
perusahaan anak-anak saya. Termasuk Persebaya, DBL Indonesia, Wednesday, dan
real estate-nya.

Saya ingat ketika menjadi jamaah
salat tarawih di lingkungan Hidayatullah. Yang sujudnya juga lama dan sangat
lama. Bisa untuk membaca istighfar 45 kali.

Jamaah yang hadir di halaman
kemarin tampak sepenuhnya memperhatikan khotbah. Itu karena isi khotbah
menyangkut ”what it mean to me”.

Banyak khotbah yang isinya ”what
it mean to us”. Unsur ”me”-nya sangat langka. Karena itu khotbah menjadi kurang
menarik. Banyak jamaah salat hari raya yang tidak mau mendengarkan khotbah.
Mereka langsung bubar begitu salat selesai.

Merumuskan tema khotbah memang
tidak mudah. Itu karena pengkhotbah tidak mau tahu siapa pendengar khotbahnya.
Juga tidak melakukan penelitian atas jemaah yang hadir hari itu. Tidak mencari
tahu apa saja problem mereka. Apa yang mereka inginkan. Pengkhotbah umumnya
tidak peduli –pokoknya khotbah.

Baca Juga :  PAC PWKI Kapuas Hilir Resmi Dilantik

Ternyata khotbah di lingkungan
kecil lebih menarik. Bisa lebih konkret. Hanya saja sering tidak memuaskan
–bagi yang bangga kalau khotbahnya didengarkan ribuan umat. 

Sampai saya selesai menceritakan
soal tarawih itu khotbah baru berlangsung tiga menit. Maka saya tambah dua
menit lagi –untuk membacakan puisi: yang saya tulis malam sebelumnya.

Inilah puisi itu:

Bumi
gonjang-gonjang

Bertumbang
gelimpangan

Aneh

Langit
tersenyum jenaka

Melihat
bumi membersihkan dosa

Dengan
cleaning service bergaji rendah

Dengan
sapu tergerak malas

Langit
tiba-tiba murka dalam diam

Petir
menyambar-nyambar dengan kelu

Badai
badai badai dalam bisu

Bumi
menyisakan dosa

Sebintang
kali sejuta

Virus
mencep kelelahan

Corona
geleng kepala

Langit
tersenyum kecut

Cleaning
service terkulai

Sapu
terberai

Bumi
gonjang-ganjing

Menatap
langit dengan iba

Walillahi
alham

Genaplah khotbah itu lima menit.
Doa di khotbah keduanya pendek saja.

Kami pun mengakhiri acara hari
itu dengan sungkeman. Mula-mula para istri sungkem ke suami mereka. Untuk minta
maaf. Lalu cucu-cucu ke kakek-nenek dan ke orang tua mereka.

Lalu gantian.

Para suami sungkem ke para istri.
Jelas: para suami pun banyak juga berdosa kepada istri.

Lahir batin.

Skornya menjadi 0-0.

Selesai.

Ups… belum. Anak, menantu dan
cucu saya berhambur ke asisten rumah tangga. Merangkul mereka. Lama. Minta maaf
ke asisten itu. Terdengar isak sedu.

Selesai. Mata pun pada diusap.

Akhirnya ”soto banjar time”.

Made in istri.

Dengan ketupat made in suami.

Nyaman banar. (Dahlan Iskan)

 

Tetap saja mengharukan. Biar pun
salat Idul Fitri-nya di rumah sendiri. Kemarin.

Kebetulan ada halaman kecil di
depan studio gamelan. Di samping rumah saya. Halaman itu berpasir. Pasir yang
sudah dicuci –agar tidak berdebu. 

Di situlah kami salat hari raya. 

Dua anak, dua menantu, dan enam
cucu menjadi jamaahnya. Rumah mereka hanya sepelemparan batu jauhnya.

Ditambah pula Kang Sahidin
–sopir keluarga yang tidak bisa pulang kampung ke Sukabumi. Juga Pak Man
–tukang kebun yang sudah puluhan tahun membujang –sejak istrinya meninggal.
Masih ditambah asisten rumah tangga anak saya dan staf keuangan di
perusahaannyi.

Total 16 orang.

Di rerimbunan pohon mangga,
nangka, asam Jawa, dan kaliandra itu kami menggelar tikar. Pula, diletakkan di
situ satu kursi. Di sebelah sajadah imam. Itulah kursi untuk yang akan khotbah
nanti –saya.

Istri saya lantas menghias kursi
itu dengan kain yang dibeli di Turki. Lalu membungkus tongkat dengan bambu.
Tongkat itu akan dipegang khotib saat berkhotbah nanti –seperti tradisi lama
di desa saya dulu.

Saya ingat masa lalu. Nun jauh ke
belakang. Yakni saat saya kelas 3 Aliyah (SMA). Saya diminta khotbah Idul Fitri
di masjid desa saya. Itulah pertama kali saya khotbah Idul Fitri. Pun
tahun-tahun berikutnya.

Lalu… tidak pernah khotbah
lagi. Selama 40 tahun lebih. Mungkin juga tidak akan pernah khotbah lagi
–kalau tidak ada Covid-19.

Dunia bisnis telah membuat saya
tidak dikenal di dunia dakwah. Saya sudah dianggap ”binatang ekonomi”. Sudah
disamakan dengan suku Tionghoa atau Yahudi.

Ternyata, di masa tua, masih
harus khotbah lagi.

Tidak mudah berkhotbah di depan
hanya 16 orang. Apalagi umur mereka bervariasi –8 tahun sampai 67 tahun. Tema
khotbah bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi.

Baca Juga :  10.000 Liter Cairan Disinfektan Dibagikan ke Warga

Saya putuskan hanya bercerita
saja. Yakni cerita bahwa berkat Covid ini saya bisa salat tarawih tiap malam
dengan tertibnya. Juga cerita tentang bagaimana di sepertiga akhir bulan puasa.
Yang tarawihnya kami khususkan. Di setiap rakaat terakhir, gerakan rukuk
(membungkuk) kami buat lama sekali. Untuk sepenuhnya berserah diri kepada Yang
Maha Kuasa. Seperti gerakan penyerahan leher kepada pemilik hidup –terserah,
mau dipancung sekali pun.

Gerakan sujud rakaat terakhir itu
juga sangat lama. Di sujud pertama –setelah bacaan sujud– kami panjatkan doa
untuk kesehatan kami. Saya sebut satu persatu nama-nama anggota keluarga saya.
Saya mintakan sehat juga: semua karyawan di grup perusahaan saya. Baik yang di
Kaltim, Lombok, Sumbawa, Surabaya, Jabar, Jateng, Sumatera, dan di Papua. 

Di sujud kedua, saya doakan
mereka agar diberi kehidupan yang baik. Perusahaan-perusahaan itu. Juga
perusahaan anak-anak saya. Termasuk Persebaya, DBL Indonesia, Wednesday, dan
real estate-nya.

Saya ingat ketika menjadi jamaah
salat tarawih di lingkungan Hidayatullah. Yang sujudnya juga lama dan sangat
lama. Bisa untuk membaca istighfar 45 kali.

Jamaah yang hadir di halaman
kemarin tampak sepenuhnya memperhatikan khotbah. Itu karena isi khotbah
menyangkut ”what it mean to me”.

Banyak khotbah yang isinya ”what
it mean to us”. Unsur ”me”-nya sangat langka. Karena itu khotbah menjadi kurang
menarik. Banyak jamaah salat hari raya yang tidak mau mendengarkan khotbah.
Mereka langsung bubar begitu salat selesai.

Merumuskan tema khotbah memang
tidak mudah. Itu karena pengkhotbah tidak mau tahu siapa pendengar khotbahnya.
Juga tidak melakukan penelitian atas jemaah yang hadir hari itu. Tidak mencari
tahu apa saja problem mereka. Apa yang mereka inginkan. Pengkhotbah umumnya
tidak peduli –pokoknya khotbah.

Baca Juga :  PAC PWKI Kapuas Hilir Resmi Dilantik

Ternyata khotbah di lingkungan
kecil lebih menarik. Bisa lebih konkret. Hanya saja sering tidak memuaskan
–bagi yang bangga kalau khotbahnya didengarkan ribuan umat. 

Sampai saya selesai menceritakan
soal tarawih itu khotbah baru berlangsung tiga menit. Maka saya tambah dua
menit lagi –untuk membacakan puisi: yang saya tulis malam sebelumnya.

Inilah puisi itu:

Bumi
gonjang-gonjang

Bertumbang
gelimpangan

Aneh

Langit
tersenyum jenaka

Melihat
bumi membersihkan dosa

Dengan
cleaning service bergaji rendah

Dengan
sapu tergerak malas

Langit
tiba-tiba murka dalam diam

Petir
menyambar-nyambar dengan kelu

Badai
badai badai dalam bisu

Bumi
menyisakan dosa

Sebintang
kali sejuta

Virus
mencep kelelahan

Corona
geleng kepala

Langit
tersenyum kecut

Cleaning
service terkulai

Sapu
terberai

Bumi
gonjang-ganjing

Menatap
langit dengan iba

Walillahi
alham

Genaplah khotbah itu lima menit.
Doa di khotbah keduanya pendek saja.

Kami pun mengakhiri acara hari
itu dengan sungkeman. Mula-mula para istri sungkem ke suami mereka. Untuk minta
maaf. Lalu cucu-cucu ke kakek-nenek dan ke orang tua mereka.

Lalu gantian.

Para suami sungkem ke para istri.
Jelas: para suami pun banyak juga berdosa kepada istri.

Lahir batin.

Skornya menjadi 0-0.

Selesai.

Ups… belum. Anak, menantu dan
cucu saya berhambur ke asisten rumah tangga. Merangkul mereka. Lama. Minta maaf
ke asisten itu. Terdengar isak sedu.

Selesai. Mata pun pada diusap.

Akhirnya ”soto banjar time”.

Made in istri.

Dengan ketupat made in suami.

Nyaman banar. (Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru