HUBUNGAN antara pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dan
partai politik (parpol) merupakan satu ironi politik. Pada pilkada yang lahir
mengikuti nalar otonomi daerah, justru proses pencalonannya diputuskan secara
sentralistis oleh parpol. Semangat dan prakarsa organ parpol di daerah harus
tunduk pada keputusan pimpinan pusat soal pasangan bakal calon kepala daerah
yang diusung.
Meskipun tidak seluruhnya calon
yang ditetapkan kuasa pimpinan pusat berakhir gagal, situasi itu merugikan
perkembangan parpol dan kaderisasi politik di daerah. Gagasan dan figur kader
daerah justru tertekan oleh kuatnya keputusan pembesar parpol di Jakarta.
Manajemen parpol yang tersentral
itu diduga berimbas pada capaian kinerjanya yang tidak konsisten. Dalam
pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2009–2018, peran parpol sebagai
lembaga demokrasi sebenarnya berkinerja meningkat. Hingga 2018, kenaikan indeks
peran parpol mencapai 62,81 poin dalam kurun sembilan tahun. Pada pengukuran
terakhir itu, kategori kinerja parpol tergolong ’’baik’’ (82,1).
Namun, sejumlah hasil riset opini
menunjukkan hasil berbeda. Survei Charta Politika (Agustus 2018) mengukur
kepercayaan publik terhadap parpol hanya mencapai 32,5 persen. Sementara itu,
survei Alvara Research (Agustus 2019) mengungkap posisi kepuasan publik
terhadap parpol berada pada urutan kedua terendah dibanding lembaga demokrasi
lainnya. Begitu pula survei ahli yang dilakukan LIPI (Agustus 2018) menjelaskan
bahwa parpol mendapat apresiasi kinerja terendah sebagai lembaga demokrasi.
Karena itu, transformasi parpol
dan perannya dalam pencalonan pilkada mendesak dilakukan.
Era Parpol Digital
Para elite politik di Jakarta
maupun daerah dapat belajar dari fenomena terbaru perubahan parpol. Sejumlah
negara demokrasi kini tengah mengalami era partai digital (digital party).
Praktik itu menuntut parpol memiliki visi mewujudkan politik baru yang didukung
teknologi digital (Gerbaudo, 2019).
Hingga saat ini, citra parpol
masih melekat sebagai institusi yang dipenuhi politisi yang lebih mementingkan
dirinya dan proses birokratis dalam pengambilan keputusan. Selain itu, parpol
dikenal tertutup, dekat dengan praktik korup, dan politik dinasti. Sebaliknya,
partai digital melakukan perubahan radikal cara kerja parpol.
Lebih dari sekadar penggunaan
komputer dan internet, digitalisasi menggantikan cara kerja patologis parpol
menjadi lebih demokratis. Parpol bisa melibatkan lebih banyak warga atau
konstituen saat mengambil keputusan publik yang krusial. Parpol juga lebih
terbuka kepada publik, misalnya saat menetapkan pencalonan pemilu legislatif
dan pilkada.
Praktik digital juga mendorong
cara kerja parpol lebih cepat dan segera merespons kepentingan dan suara publik
karena teknologi memungkinkan koneksi yang relatif tanpa batas. Jaringan
internet memungkinkan parpol menyampaikan gagasan-gagasan otentik tentang
kebijakan dan lebih transparan. Publik bisa berpartisipasi lebih baik dalam
proses kebijakan yang mana parpol terlibat di dalamnya.
Untuk itu, parpol bisa belajar
dari logika media sosial (medsos) guna mendorong keterlibatan publik atau
konstituen dalam denyut politiknya. Medsos begitu cepat populer karena
menyediakan insentif berupa ruang ekspresi dan ekshibisi bagi pengguna.
Pengguna medsos bisa membuat dan membagikan informasi, gagasan, dan ekspresi
individual atau komunal relatif tanpa batas.
Pun, media sosial mampu
menyediakan ruang partisipasi dalam jejaring (pertemanan, komunitas, bisnis).
Setiap pengguna bisa bergabung dan terlibat dalam jejaring dengan efisien.
Ukuran kualitas keterlibatan dalam jejaring berdasar seberapa besar informasi,
ide, atau ekspresi dari konten digital yang dibagikan mendapat tanggapan
positif, dibagikan ulang, dan terus mendorong tindakan berbagi lainnya (viral).
Bagi parpol, pemanfaatan
teknologi dan media digital merupakan ladang potensial guna mengubah kritik
menjadi proses empati dan mengartikan masalah-masalah publik. Selanjutnya,
parpol bisa mendapatkan berbagai masukan dari gagasan yang dilontarkan warganet
untuk menemukan solusi atas problem-problem publik.
Transformasi Pencalonan
Prinsip-prinsip parpol digital
memberikan pelajaran berharga bagi proses kandidasi dalam pilkada. Parpol bisa
mengubah cara pandang pencalonan dari praktik king maker menjadi kreator
politik atau politik rintisan.
Sejak 2005, praktik pencalonan
pilkada bersifat sentralistis atau didominasi pengaruh pimpinan pusat parpol.
Pendekatan itu menjadikan nasib bakal calon bergantung pada perhitungan
pemimpin pusat parpol sebagai king maker. Maka, pragmatisme kandidasi tidak
terelakkan dalam setiap pilkada. Pertimbangan elektabilitas dan orientasi
meraih kekuasaan lebih dominan.
Sebaliknya, pada era partai
digital, dominasi pendekatan ini harus ditransformasi menjadi paradigma kreator
politik yang lebih sesuai. Perspektif tersebut bertumpu pada kekuatan
desentralisasi pencalonan kader parpol atau figur terbaik. Keunggulan kreator
politik terletak pada kriteria memaksimalkan kearifan, bukan hierarki
keputusan. Berbeda dengan king maker, kreator politik mempertimbangkan
kapasitas empati pada problem-problem daerah dan gagasan-gagasan solutif
penyelesaian masalah yang tetap memperhitungkan nilai, sejarah, dan kebutuhan
kemajuan daerah (konteks).
Sebagai dasar pencalonan,
pendekatan itu mendorong kepemimpinan politik lokal yang berbasis manfaat
(outcomes). Parpol bisa mencalonkan individu yang telah terbukti ’’bekerja’’
atau memiliki ’’karya’’ yang kontributif bagi warga daerah. Parpol menelaah
pentingnya mengembangkan skala faedah karya-karya itu untuk kemanfaatan publik
yang lebih luas.
Cara pandang kreator politik
melihat ’’hasil kerja’’ individu berprestasi layak mendapat dukungan jejaring
dan mesin politik. Dengan kata lain, perspektif kreator politik dalam kandidasi
pilkada mengedepankan kepemimpinan politik yang berhasil pada skala kecil di
masyarakat atau organisasi. Kemudian, jejaring dan mesin politik parpol
berkepentingan memperbesar skala manfaatnya bagi seluruh publik di daerah. (*)
(Wawan Sobari, Dosen bidang politik kreatif, ketua Program Studi
Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya)