PANDEMI Covid-19
menambahkan catatan baru tentang penyakit yang berdampak terhadap ibu maupun
kehamilannya. Berita meninggalnya perawat RS Royal Surabaya berinisial APS pada
18 Mei 2020 adalah catatan pertama. Sehari setelah kejadian tersebut, Ketua
Rumpun Kuratif Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Jatim dr Joni Wahyudi
menyebutkan bahwa hasil swab PCR APS positif korona. Sebelumnya, hasil dua kali
rapid test nonreaktif.
Pada
5 Juni 2020 beredar berita ibu hamil di Surabaya positif Covid-19 dan
meninggal. Sama seperti APS, hasil rapid test ibu hamil tersebut adalah
nonreaktif. Ibu hamil itu datang ke salah satu RS di Surabaya Utara saat sesak
dan mengalami penurunan saturasi oksigen. Detak jantung janin tidak dapat
dievaluasi. Alat bantuan napas pun dipasang pada ibu itu. Hasil swab positif.
Setelah persalinan, kondisi ibu tidak membaik dan meninggal.
Dua
kasus di atas hanya sedikit kabar buruk tentang ibu hamil dengan infeksi
Covid-19. Di Surabaya, sejumlah ibu hamil ditengarai mengalami infeksi Covid-19
dengan berbagai gejala. Mulai tanpa gejala, gejala ringan, sedang, hingga
berat.
Dalam
AWC (Airlangga Webinar Conference) di Fakultas Kedokteran (FK) Unair pada 11
Juni 2020, Dr Manu Vatish MA DPhil FRCOG, senior clinical fellow di Obstetric
NIHR Clinical Research Specialty Lead (Thames Valley & South Midlands
University of Oxford Nuffield Department of Women’s & Reproductive Health;
Dr Ravichandran Jeganathan dari Departemen Obstetri dan Ginekologi, Johor Baru,
Malaysia; serta Dr dr Aditiawarman SpOG (K) yang mewakili FK Unair memaparkan
situasi kehamilan dengan Covid-19 di negara masing-masing.
Di
Malaysia, ada 57 kasus kehamilan dengan Covid-19. Ada 427 kasus di Inggris. Sementara
itu, RSUD dr Soetomo (RSDS) hingga 10 Juni menangani 102 kasus rujukan maupun
non rujukan. Para pasien di RSDS tersebut mencakup hasil rapid test positif
maupun pasien dengan gejala dan foto toraks yang mengarah pada Covid-19 dengan
status PDP. Di antara 102 kasus tersebut, 73 kasus dites swab PCR. Kemudian
ditemukan 20 kasus dengan swab PCR positif. Dan, di antara 20 kasus itu,
sebanyak 10 penderita tidak bergejala.
Paparan
Aditiawarman menunjukkan tren kenaikan kasus Covid-19 yang datang ke RSDS.
Grafik kenaikan kasus yang diawali pada April 2020. Bahkan, tren waktu
menunjukkan dalam sehari ada tujuh kasus pasien yang datang ke kamar bersalin
RSDS dengan membawa hasil rapid test positif.
Masalah
Baru
Laporan
pertama dari penelitian di Inggris diterbitkan 10 Mei 2020. Data diregistrasi
dalam UK Obstetric Surveillance System (UKOSS) itu meliputi informasi 427 ibu
hamil yang dirawat di RS dengan Covid-19 dan bayi mereka selama pandemi.
Sepersepuluhnya memerlukan perawatan intensif dan lima ibu dengan Covid-19
meninggal. Ibu dengan gejala berat berada di trimester ketiga kehamilannya.
Meski
demikian, kematian ibu hamil dan Covid-19 bukan satu-satunya hal yang perlu
perhatian. Yang menjadi masalah, bagaimana tata laksana yang tepat dapat
dilakukan. Tata laksana perawatan saat kehamilan, penentuan jenis persalinan,
metode pemberian ASI, hingga perawatan plasenta (yang menjadi kultur bangsa
ini) dapat dilakukan dengan aman. Artinya, aman bagi pasien, bayi,
pemeriksa/penolong kehamilan, serta tentu saja bagi keluarga.
Kunci
dari tata laksana yang tepat itu adalah diagnosis ibu hamil yang terinfeksi
Covid-19. Melakukan pemeriksaan tes swab PCR (atau rapid test) saat ibu hamil
bergejala akan membuat tata laksana terlambat karena tidak banyak ibu hamil
dengan Covid-19 yang bergejala. Hasil penelitian terhadap 215 ibu hamil di dua
RS di New York, ditemukan 33 perempuan dengan hasil tes swab PCR positif. Di
antara 33 perempuan tersebut, 29 orang (88 persen) tidak memiliki gejala.
Di
lamannya, RCOG (Royal College of Obstetry Gynaecology) pada 13 Juni menyebutkan
bahwa mayoritas ibu hamil tidak bergejala. Atau hanya mengalami gejala
pilek/flu ringan atau sedang. Gejala lebih spesifik dapat berupa batuk, demam,
sesak napas, sakit kepala, dan kehilangan atau perubahan indra penciuman atau
perasa.
Status
Covid-19 ibu hamil dan bersalin wajib diketahui. Sebab, suatu saat ibu hamil
harus berada di RS, baik untuk memeriksakan kehamilan maupun saat persalinan.
Dalam kondisi ini, menjaga jarak fisik sulit dilakukan. Baik dengan bayi yang
nanti dilahirkan, penolong persalinan, ibu bersalin lain, maupun keluarga.
Belum
ada bukti Covid-19 menular secara vertikal dari ibu kepada janin yang
dikandungnya saat dalam rahim. Penularan diduga terjadi saat atau pasca
persalinan. Karena itu, perlu memilih metode persalinan yang tepat. Persalinan
sesar disarankan sesuai indikasi obstetri. Tapi, sesar mempercepat proses
persalinan. Selain itu, feses yang sering ikut keluar saat persalinan normal
diduga mengandung virus. Artinya, kontak bayi dengan feses saat proses
persalinan meningkatkan risiko penularan.
Penolong
persalinan harus memakai alat pelindung diri memadai. Syarat ruang perawatan
atau persalinan adalah bertekanan negatif agar tidak menularkan kepada siapa
pun yang ada di tempat tersebut.
Perlakuan
terhadap bayi yang dilahirkan ibu dengan status Covid-19 berbeda dengan ibu
yang negatif. Untuk menghindari kontak fisik yang berisiko penularan, bayi
tidak boleh IMD (inisiasi menyusui dini), tidak boleh dirawat gabung dengan
ibu, dan hanya boleh diberi ASI perah. Itu dilakukan sampai ibu tidak bergejala
dan hasil swab berikutnya adalah negatif. Layanan kesehatan perlu memisahkan
ruang perawatan ibu yang positif dan yang negatif Covid-19.
Di
Inggris, semua ibu yang dirawat di RS untuk perawatan kehamilan harus ditawari
tes Covid-19 melalui swab RT-PCR. Pasangan yang menunggu perawatan juga wajib
diperiksa. Tetapi, di Indonesia, fasilitas swab dan kecepatan hasil pemeriksaan
masih menjadi hambatan.
Beberapa
layanan kesehatan dan sesuai anjuran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
memilih pemeriksaan rapid test. Tentu itu tidak ideal. Sebab, belum tentu hasil
reaktif sebagai betul-betul Covid-19. Sebaliknya, hasil nonreaktif belum tentu
pula sebagai bukan Covid-19. Dua kasus kematian ibu hamil di atas memiliki
hasil rapid test negatif. Tapi, hasil swab PCR ternyata positif.
Mendiagnosis
Covid-19 pada ibu hamil tidak mudah dan tidak murah. Tapi, ini bukti bahwa
siapa pun yang melakukannya berarti peduli ibu hamil beserta janinnya. Entah
suami, keluarga, atau negara. Tidak hanya untuk ibu dan bayinya. Tapi juga
memutus rantai penularan Covid-19 yang sampai saat ini belum ditemukan
ujungnya. (*)
*)
Eighty Mardiyan K., Staf Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran
Unair, Humas Satgas Covid-19 IDI Jatim