Inilah milenial sejati –yang
tidak memikirkan proyek Rp 4,6 triliun sama sekali: Ahmad Alghozi.
Ia menciptakan aplikasi untuk
diabdikan kepada negeri: tracking Covid-19
masa kini.
Ia tidak mengharapkan bayaran.
Apalagi jabatan.
Ia sampai tidak tidur lima hari
lima malam. Sampai aplikasi itu selesai.
Pun sampai gajinya di
perusahaannya dipotong 50 persen. Ia pun tidak peduli.
Wabah Covid-19 begitu memukul
nuraninya. Terutama ketika ada berita sampai ada dokter yang meninggal dunia.
Awalnya Alghozi –Ahmad Alghozi
Ramadhan– prihatin dengan penampilan data Covid-19 yang amat tradisional. Yang
tiap hari disiarkan di televisi itu.
Ia ingin menciptakan aplikasi
dalam bentuk peta dan data. Yang petanya bisa diklik. Lalu muncul data di balik
peta.
Ia tawarkan ke mana-mana. Tidak
ada yang menyambutnya.
Semua pihak rupanya sibuk
dengan penanggulangan. Bukan pencegahan.
Tapi dari jerih payah
memasarkan aplikasinya itu muncul ide penyempurnaan: tracking. Rupanya ia
menemukan kenyataan di lapangan: tracking lebih penting
dari peta dan data.
Maka Alghozi menciptakan
aplikasi ‘FightCovid19.id’.
Provinsi pertama yang
menggunakan aplikasi itu adalah Bangka Belitung. Ada satu tokoh yang sangat
peduli IT di Bangka: Prof.Dr.Ir. Saparudin.
Prof Udin –begitu
panggilannya– memang orang Bangka. Setamat SMA ia kuliah di Universitas
Sriwijaya Palembang –mengambil bidang studi matematika.
Udin lantas mengambil S-2
Informatika di ITB Bandung. Sedang gelar doktornya diraih di Universiti
Teknologi Malaysia –juga bidang Informatika.
“Saya yang membawa Alghozi
ke Bapak Gubernur. Saya bilang ke Pak Gubernur ini gratis,” ujar Prof
Saparudin. Pak Gubernur langsung ok. “Bahkan beliau langsung ingin
mendengar sendiri pemaparan dari Alghozi,” tambahnya.
Prof Saparudin memang tokoh
sekali di Babel. Ia staf khusus Gubernur Babel, Erzaldi Roesman. Ia juga Dirut
BUMD di sana. Tahun lalu ia berhenti sebagai dosen di Unsri. Untuk mencalonkan
diri sebagai Wali Kota Pangkal Pinang.
Ia juara dua.
Ayah Alghozi sendiri orang
Bangka. Menetap di Bangka. Dulunya buka toko mracangan. Gagal. Sekarang kerja
serabutan. Sedang sang ibu menjadi pencuci pakaian.
Dengan aplikasi Alghozi itu
siapa pun yang datang ke Bangka Belitung terkontrol ketat. Semua penumpang
dimonitor lewat aplikasi. Baik yang lewat laut maupun udara.
Penumpang pesawat yang turun di
Pangkal Pinang (Bangka) maupun di Tanjung Pandan (Belitung) dipasangi gelang
elektronik. Mereka juga harus men-download aplikasi
FightCovid19.id. Lalu mengisi segala pertanyaan yang ada di situ. Termasuk
nomor ponsel dan alamat email.
Selesai mengisi semua itu
penumpang mendapat kiriman kode –lewat email. Dengan kode itu penumpang
melaporkan kondisi kesehatan mereka. Termasuk suhu badan –hasil pemeriksaan di
bandara itu.
Aplikasi tersebut lantas
terhubung dengan gelang elektronik. Dari sini petugas di pusat data di BNPB
Provinsi Babel bisa tahu: jalan ke mana saja si pemakai gelang.
Kalau pemakai gelang itu
meninggalkan rumah layar monitor di BNPB berubah warna: oranye.
Maka petugas BNPB.
menghubunginya: untuk apa meninggalkan rumah. “Ada yang bilang ke rumah
orang tua. Ada juga yang mengatakan belanja,” ujar Prof Udin.
Sejauh ini tidak ada yang
membangkang. Mereka tahu: melanggar akan dikenakan sanksi. Yakni: diisolasi
beneran. Lokasi isolasi-beneran itu sudah disiapkan: di ruang Pusdiklat milik
Pemprov Babel.
“Sejauh ini hanya satu
orang yang diisolasi beneran. Itu pun bukan hanya karena pergi jauh
meninggalkan rumah,” ujar Prof Udin.
Ia diisolasi beneran karena
menulis di Facebook yang mencela-cela program tracking itu. Ia pun
diisolasi tiga hari.
Lewat aplikasi itu pemakai
gelang juga bisa minta bantuan BNPB. Misalnya kalau ia merasakan tanda-tanda
sakit. Tinggal klik satu tanda di aplikasi di ponselnya. Ia bisa dijemput
ambulans oleh BNPB.
Dalam hal ini Babel keren-top.
Aplikasi ini jauh lebih bermanfaat dari yang sudah diluncurkan itu –entah
proyek atau gratis. Saya pernah bertanya kepada beberapa teman: apakah mau
menggunakan aplikasi yang dari pusat itu. Beberapa teman merasa takut
–terutama keamanan rekening bank mereka.
Alghozi hanya SD di Bangka.
“Saya dianggap nakal. Tamat SD dikirim ke Tasikmalaya. Diikutkan
bibi,” ujar Alghozi.
Ia kembali ke Bangka untuk
sekolah SMA –di SMAN 3 Pangkal Pinang.
Setamat SMA ia ke Bandung.
Masuk Politeknik Padjadjaran. Jurusan Perhotelan. Di situ hanya setahun. Merasa
hatinya tidak cocok.
Passion-nya
ternyata di dunia digital. Ia masuk D-3 STT Telkom (Telkom University) juga di
Bandung. Ia pilih Jurusan Informatika.
“Saya kuliah sambil cari
uang,” ujar Alghozi. Ia tidak sampai hati meminta kiriman uang dari
ayahnya.
“Waktu semester 5 saya
ng-Gojek,” katanya.
“Berarti saat itu sudah
punya sepeda motor?” tanya saya.
“Motornya teman. Ada
perhitungannya,” katanya.
Selain itu Alghozi jualan donat.
Ke asrama-asrama mahasiswa.
“Orang tua Anda
tahu?” tanya saya.
“Tidak tahu. Ayah tahunya
kuliah saya lancar,” katanya.
Tahun lalu Alghozi tamat D-3.
Anak nakal ini pun sudah bisa membuat beberapa program komputer. Ia menyebut
beberapa nama program, tapi saya gagal memahaminya.
Begitu tamat, Ghozi melihat
–di aplikasi lowongan– ada perusahaan mencari tenaga kerja: PT Kolega
Coworking Indonesia, Jakarta.
“Saya langsung
diterima,” kata Ghozi. “Semula jadi UI UX designer. Tiga bulan
kemudian jadi project manager. Naik lagi jadi product
manager,” tambahnya.
Saat jabatannya naik itulah
hatinya hancur: melihat begitu banyak dokter meninggal karena Covid-19. Ghozi
lantas mengontak dua orang teman sekelasnya di Telkom University.
Siang malam mereka mengerjakan
aplikasi untuk mengabdi. Termasuk pernah lima hari lima malam tidak tidur.
Mereka berkejaran dengan virus.
Bersama timnya itu Ghozi
seperti bara tersiram bensin. Ia adalah baranya. Gubernur Babel, Erzaldi
Roesman, adalah bensinnya. Prof Udin adalah kompornya.
“Di depan Pak Gubernur
saya bilang ke Ghozi: ayo minta apa ke Pak Gubernur,” ujar Prof Udin.
“Jangan tidak minta. Katakan saja,” tambahnya.
Saya sempat memikir kira-kira
akan minta uang berapa triliun Ghozi ini.
“Minta laptop,” ujar
Ghozi.
Gubernur Erzaldi pun membelikan
Ghozi Macbook Air.
Tidak hanya itu.
“Selama di Bangka sekarang
ini Anda tidur di rumah orang tua atau di hotel?” tanya saya.
“Di rumah dinas
Gubernur,” jawabnya.
“Tentu orang tua Anda
sangat bangga anaknya tidur di rumah gubernur.”
“Alhamdulillah…
Amiin,” jawab si anak nakal itu.
Saya pun ingin mengucapkan
Alhamdulillah. Kalau bisa 4,6 triliun kali.(Dahlan Iskan)