29.9 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Keseriusan Pemerintah dalam Tata Kelola dan Penguatan Peran Masyarakat

Mencari formulasi
kebijakan yang tepat dalam penanganan karhutla yang menciptakan kabut asap dan
kerusakan lingkungan yang parah di Kalteng, masih menjadi hal sulit bagi pemerintah
pusat maupun daerah. Pengalaman tahun 1997, 2015, dan tahun-tahun sebelumnya,
kurang mampu menjadi pembelajaran penting dalam menyusun strategi antisipasi
dan pemecahan masalah. Alhasil pada tahun 2019, masyarakat Kalteng kembali melihat
karhutla dan merasakan dampak buruknya bencana kabut asap.

Negara yang
direpresentasikan dengan peranan pemerintah, idealnya harus secara serius mengantisipasi
ancaman bahaya karhutla dan kabut asap yang menciptakan kerugian harta benda,
gangguan kesehatan, jiwa, dan kerusakan lingkungan vegetasi flora dan fauna.

Pertanyaan
di benak kita adalah; Apakah pemerintah memang telah kehabisan ide dan inovasi,
sehingga tak mampu membuat kebijakan yang tepat? Ataukah kebijakan-kebijakan
dan program-program yang ditetapkan itu sengaja dikonstruksi sedemikian rupa,
agar menjadi tidak efektif, kurang optimal memberikan kemanfaatan, bahkan dapat
dimanipulasi untuk kepentingan tertentu? 

Kita tetap memandang
positif bahwa pemerintah masih terus bergumul mencari formulasi tepat dalam
penanganan bencana yang saban tahun mungkin selalu kita hadapi. Namun, rakyat
Kalteng pun tak dapat menunggu terlalu lama dari kelemahan kapasitas pemerintah
itu.

Masyarakat  sipil Kalteng yang
tergabung dalam Gerakan Anti Asap (Gaas) Kalteng yang dimotori Walhi dkk, pada
2016 lalu telah menunjukkan protes ketidakpuasannya atas kinerja pemerintah,
dengan melakukan gugatan class action (citezen
law suit)
di Pengadilan Negeri Palangka Raya, kepada Negara cq. Presiden
Republik Indonesia dan sejumlah pejabat yang memiliki otoritas: Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Kesehatan, Gubernur Kalteng,
dan DPRD Kalteng sebagai tergugat I-VII.

Negara dituntut agar
memberikan perlindungan bagi masyarakat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat, serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.

Gugatan CLS (citezen law suit)  karhutla yang dimenangkan para penggugat di PN
Palangka Raya berdasarkan vonis PN Palangka Raya No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk, vonis
Pengadilan Tinggi Kalteng No. 36/PDT/2017/PT PLK dan Putusan Kasasi No.3555
K/PDT/2018 tanggal 16 Juli 2019 (walhikalteng.org), telah membuktikan bahwa negara
(melalui organisasi pemerintahan di semua tingkatan) memiliki tanggung jawab dan
kewajiban besar menciptakan kondisi aman, nyaman, dan sejahtera bagi masyarakat
dan lingkungan di wilayah kerja pelayanan pemerintahannya.

Negara harus menjamin
keselamatan warga dari dampak karhutla, dengan mendirikan rumah sakit khusus
paru dan dampak kabut asap, membebaskan biaya pengobatan korban asap, serta
menyediakan tempat dan mekanisme evakuasi bagi korban asap (salah satu poin
dari sepuluh tuntutan gugatan).

Bahkan salah satu klausal warga adalah; karhutla
dan asap setiap tahun telah mencabut hak paling dasar warga negara yaitu bernapas.
(walhi.or.id : 23 Juli 2019). Keputusan PN, PT, dan Kasasi Mahkamah Agung ini
idealnya menjadi landasan kokoh bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan
upaya penegakan hukum dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Kalteng
serta dampaknya. Bukankah tugas pokok pemerintahan modern adalah pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat 
(Rasyid 1997:11).

Pemerintah pusat dan
daerah tampaknya belum memiliki interest
besar untuk menangani karhutla di Kalteng. Upaya Presiden melakukan peninjauan
kembali (PK) atas keputusan Mahkamah Agung terkait perkara, mengindikasikan
bahwa pemerintah masih memiliki pertimbangan panjang dalam penanganan
penyelesaian masalah. Kebijakan-kebijakan yang bersifat parsial-sektoral oleh
masing-masing kementerian/lembaga negara (K/LN) dan institusi daerah, tanpa
melalui program kerja terintegrasi dan berkelanjutan, serta tarik ulur
kewenangan penanganan, sedikit banyak berkontribusi pada efektivitas program
aksi.

Baca Juga :  Pindah Tugas, Suhaemi Serahkan Jabatannya ke Budi Santoso

Kemarau panjang yang menciptakan
bencana karhutla dan kabut asap, sebenarnya dapat diantisipasi dini, mengingat Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) telah memberikan prakiraan yang cukup akurat
(valid) soal masa kemarau.

Pemerintah harus
sungguh-sungguh mempersiapkan masyarakat, kelembagaan pemerintah,  dan swasta untuk menangani secara bersama,
terpadu, dan berkelanjutan dengan mempertimbangan peran koordinasi,
sinkronisasi, harmonisasi, kedudukan, dan tugas serta fungsi masing-masing.

Karhutla tidak akan
meluas secara masif, apabila mampu diantisipasi secara dini (deteksi dini) dengan
memerankan dan memberdayakan unit penanganan terdepan di masyarakat. Bukankah pemerintah
telah membentuk Manggala Agni sebagai brigade pengendalian kebakaran hutan di
bawah Kementerian Kehutanan sejak 2003 silam. Selain itu, ada pula Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
tingkat provinsi, kabupaten/kota, Tim Serbu Api Kelurahan (TSAK), Kelompok
Masyarakat Peduli Api (MPA) dari Badan Restorasi Gambut (BRG), dibantu unsur
TNI/POLRI, dan unit pemadam pemerintah serta swasta.

Penanganan karhutla tak
akan mampu diatasi oleh pemerintah atau aparat keamanan saja. Dalam banyak
teori, keberhasilan kebijakan pemerintah sangat ditentukan oleh peran dan
partisipasi aktif masyarakat. Pemerintah di Kalteng tampaknya belum mengoptimalkan
potensi kekuatan masyarakat.

Orientasi kebijakan pemerintah
cenderung diarahkan pada tindakan aksi pemadaman pasca meningkatnya eskalasi
luasan kebakaran. Kegiatan pencegahan tidak lagi menjadi efektif. Penanganan
karhutla dinilai lebih seksi dengan aksi  water bombing
pesawat atau helikopter, adanya hujan buatan, memobilisasi aparat, dan
lain-lain.

Sudah pasti biaya
penanganan akan lebih besar dibandingkan program-program preventif. Penanganan
karhutla idealnya harus didesain dalam satu kebijakan hulu-hilir. Tidak hanya
menyangkut aksi tindakan pemadaman dan mengedepankan sanksi penegakan hukum
belaka, tapi jauh lebih penting adalah membentuk sikap, perilaku, dan budaya
hidup masyarakat  yang tanggap  bencana dan cinta serta peduli akan kelestarian
lingkungan.

Adalah benar langkah
pemerintah melibatkan partisipasi masyarakat melalui kelompok MPA di tingkat
desa/kelurahan. Membuat sumur bor yang sangat fungsional saat terjadi karhutla
tahun 2017, di wilayah-wilayah dengan tingkat ketebalan gambut yang besar. Juga
memberi bimbingan teknis kepada kelompok masyarakat tertentu di bawah BRG.

Pemerintah pun patut diapresiasi
karena membentuk TSAK dan Manggala Agni. Akan tetapi, yang menjadi persoalan
adalah, apakah tim partisipasi masyarakat yang telah dibentuk berfungsi
sebagaimana maksud dan tujuan pembentukan? Bisa jadi secara formal tersedia kelembagaan
partisipasi masyarakat, tetapi tidak mampu secara efektif dan kontinyu
melaksanakan fungsi-fungsinya, karena terputus pembinaan, minimnya peralatan,
lemahnya koordinasi dan komunikasi, serta belum memadai dana operasional untuk
menunjang pelaksanaan fungsi secara baik dan akuntabel.

Betapa besar biaya yang
dikeluarkan pemerintah untuk pemadaman karhutla. Jika diestimasi, satu helikopter
jenis Kamov melakukan water bombing  dengan biaya per jam US $ 6.000[1]
selama 6 (enam) jam per hari, maka rata-rata biaya pemadaman per jam sebesar Rp85.800.000.
Artinya per hari sebesar Rp514.800.000. Sementara harga air per liter yang
disiram sebesar Rp429. Semisal penggunaan helikopter untuk kegiatan water bombing  membutuhkan waktu enam puluh hari, maka total
dana APBN yang dikeluarkan untuk Kalteng sebesar Rp30,888 miliar. Dana tersebut
tentunya belum termasuk dana-dana kegiatan lainnya, seperti mobilisasi personel,
konsumsi, peralatan, kesehatan, BBM, dan lain-lain. Jika dana Rp30,888 miliar
digunakan untuk memperkuat kegiatan operasional MPA yang dibentuk di masyarakat
desa/kelurahan pada 1.569 desa/kelurahan se-Kalteng, maka rata-rata setiap
desa/kelurahan akan menerima kucuran dana sebesar Rp19,686 juta. Dana tersebut
dapat digunakan untuk kegiatan pembinaan dan sosialisasi, bahkan dapat disinergikan
dengan program kebijakan anggaran desa melalui dana desa (DD).

Baca Juga :  Tingkatkan Kualitas Menghadapi Persaingan Sehat

 

Kesulitan yang dialami
kelompok masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan pengendalian/pencegahan
api, baik TSAK maupun MPA, adalah ketiadaan atau minimnya anggaran untuk kegiatan
operasional lapangan, serta kondisi sarana dan prasarana penunjang. Polemik
tarik ulur dan lempar tanggung jawab dalam penanganan karhutla di Kalteng tahun
2019, juga lebih didorong permasalahan anggaran dan biaya operasional,
standarisasi peralatan, serta kondisi hidran sumur-sumur bor.

Belum tertata kelola manajemen
sistem koordinasi, komunikasi, dan operasionalisasi antara berbagai pihak yang
terlibat dalam aksi penanganan, mengakibatkan munculnya kendala-kendala teknis
di lapangan, yang pada akhirnya menumbuhkan sikap skeptis para pihak yang
bertanggung jawab. Pembuat kebijakan utama di pusat dan daerah, idealnya harus
turun tangan menata kelola kembali manajemen penanganan karhutla, sehingga
semua komponen dapat melaksanakan tugas secara baik dan bertanggung jawab.
Bukankah pemerintah hadir untuk melayani masyarakat dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan serta keadilan.

Hal penting yang
didorong dari belajar kejadian bencana karhutla 2019 ini, adalah mewajibkan
setiap pemilik tanah untuk mengelola tanah dengan baik, sehingga di atas tanah itu
ada nilai ekonomis yang tinggi.

Kita bisa melihat
fenomena karhutla di Kalteng ini. Selain titik-titik api berada di lokasi
wilayah hutan atau lahan yang jauh dari permukiman penduduk, tidak kalah
dominan titik-titik api juga tersebar di wilayah perkotaan atau pinggiran kota.
Wilayah yang terbakar umumnya merupakan tanah kosong/semak belukar. Sementara,
lahan yang telah ditanami tanaman yang memiliki nilai ekonomis, terhindar dari
kebakaran. Ini berarti bahwa masyarakat akan memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap kebakaran, manakala di atas tanah lahan masyarakat terkandung nilai ekonomis.

Karena itulah, penting bagi
pemerintah daerah mewajibkan setiap penduduk yang memiliki lahan tidur untuk
mengelola tanah. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus membuat peraturan
daerah (perda) yang mengatur secara tegas kewajiban setiap warga masyarakat untuk
bertanggung jawab atas hak kepemilikan tanahnya, termasuk kewajiban secara kontinyu
membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Untuk mendorong kesadaran masyarakat, pemerintah
wajib menyediakan insentif dalam bentuk program bantuan pembersihan lahan (land clearing) serta bantuan bibit dan
pupuk dengan sistem kredit lunak yang melibatkan pihak perbankan. Selama ini masyarakat
tidak mengelola tanahnya karena keterbatasan tenaga dan modal. Masyarakat pasti
akan berpartisipasi aktif manakala pemerintah mengulurkan tangan. Pada satu
sisi mewajibkan masyarakat (dengan daya ikat perda), tapi pada sisi lain
memberi solusi melalui program bantuan pengelolaan, pembinaan, serta pemasaran
hasil. Program-program pemerintah yang dilaksanakan saat ini, meskipun telah
ada, tapi belum menyentuh secara luas kepada kelompok masyarakat di sektor desa
dan kota, baik untuk kegiatan usaha di bidang pertanian, kehutanan, maupun perkebunan.

Penulis berkeyakinan,
jika pemerintah daerah mampu membuat regulasi dan mendorong komponen masyarakat
mengoptimalkan potensi kepemilikan tanah, pada satu sisi dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat, dan pada sisi lain dapat mencegah atau mengurangi
bencana kebakaran hutan dan lahan, meningkatkan pendapatan daerah, sekaligus mempertahankan
estetika kota/kabupaten.

 

*
Dosen/Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FISIP Universitas Palangka Raya



 

Mencari formulasi
kebijakan yang tepat dalam penanganan karhutla yang menciptakan kabut asap dan
kerusakan lingkungan yang parah di Kalteng, masih menjadi hal sulit bagi pemerintah
pusat maupun daerah. Pengalaman tahun 1997, 2015, dan tahun-tahun sebelumnya,
kurang mampu menjadi pembelajaran penting dalam menyusun strategi antisipasi
dan pemecahan masalah. Alhasil pada tahun 2019, masyarakat Kalteng kembali melihat
karhutla dan merasakan dampak buruknya bencana kabut asap.

Negara yang
direpresentasikan dengan peranan pemerintah, idealnya harus secara serius mengantisipasi
ancaman bahaya karhutla dan kabut asap yang menciptakan kerugian harta benda,
gangguan kesehatan, jiwa, dan kerusakan lingkungan vegetasi flora dan fauna.

Pertanyaan
di benak kita adalah; Apakah pemerintah memang telah kehabisan ide dan inovasi,
sehingga tak mampu membuat kebijakan yang tepat? Ataukah kebijakan-kebijakan
dan program-program yang ditetapkan itu sengaja dikonstruksi sedemikian rupa,
agar menjadi tidak efektif, kurang optimal memberikan kemanfaatan, bahkan dapat
dimanipulasi untuk kepentingan tertentu? 

Kita tetap memandang
positif bahwa pemerintah masih terus bergumul mencari formulasi tepat dalam
penanganan bencana yang saban tahun mungkin selalu kita hadapi. Namun, rakyat
Kalteng pun tak dapat menunggu terlalu lama dari kelemahan kapasitas pemerintah
itu.

Masyarakat  sipil Kalteng yang
tergabung dalam Gerakan Anti Asap (Gaas) Kalteng yang dimotori Walhi dkk, pada
2016 lalu telah menunjukkan protes ketidakpuasannya atas kinerja pemerintah,
dengan melakukan gugatan class action (citezen
law suit)
di Pengadilan Negeri Palangka Raya, kepada Negara cq. Presiden
Republik Indonesia dan sejumlah pejabat yang memiliki otoritas: Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Kesehatan, Gubernur Kalteng,
dan DPRD Kalteng sebagai tergugat I-VII.

Negara dituntut agar
memberikan perlindungan bagi masyarakat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat, serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.

Gugatan CLS (citezen law suit)  karhutla yang dimenangkan para penggugat di PN
Palangka Raya berdasarkan vonis PN Palangka Raya No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk, vonis
Pengadilan Tinggi Kalteng No. 36/PDT/2017/PT PLK dan Putusan Kasasi No.3555
K/PDT/2018 tanggal 16 Juli 2019 (walhikalteng.org), telah membuktikan bahwa negara
(melalui organisasi pemerintahan di semua tingkatan) memiliki tanggung jawab dan
kewajiban besar menciptakan kondisi aman, nyaman, dan sejahtera bagi masyarakat
dan lingkungan di wilayah kerja pelayanan pemerintahannya.

Negara harus menjamin
keselamatan warga dari dampak karhutla, dengan mendirikan rumah sakit khusus
paru dan dampak kabut asap, membebaskan biaya pengobatan korban asap, serta
menyediakan tempat dan mekanisme evakuasi bagi korban asap (salah satu poin
dari sepuluh tuntutan gugatan).

Bahkan salah satu klausal warga adalah; karhutla
dan asap setiap tahun telah mencabut hak paling dasar warga negara yaitu bernapas.
(walhi.or.id : 23 Juli 2019). Keputusan PN, PT, dan Kasasi Mahkamah Agung ini
idealnya menjadi landasan kokoh bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan
upaya penegakan hukum dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Kalteng
serta dampaknya. Bukankah tugas pokok pemerintahan modern adalah pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat 
(Rasyid 1997:11).

Pemerintah pusat dan
daerah tampaknya belum memiliki interest
besar untuk menangani karhutla di Kalteng. Upaya Presiden melakukan peninjauan
kembali (PK) atas keputusan Mahkamah Agung terkait perkara, mengindikasikan
bahwa pemerintah masih memiliki pertimbangan panjang dalam penanganan
penyelesaian masalah. Kebijakan-kebijakan yang bersifat parsial-sektoral oleh
masing-masing kementerian/lembaga negara (K/LN) dan institusi daerah, tanpa
melalui program kerja terintegrasi dan berkelanjutan, serta tarik ulur
kewenangan penanganan, sedikit banyak berkontribusi pada efektivitas program
aksi.

Baca Juga :  Pindah Tugas, Suhaemi Serahkan Jabatannya ke Budi Santoso

Kemarau panjang yang menciptakan
bencana karhutla dan kabut asap, sebenarnya dapat diantisipasi dini, mengingat Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) telah memberikan prakiraan yang cukup akurat
(valid) soal masa kemarau.

Pemerintah harus
sungguh-sungguh mempersiapkan masyarakat, kelembagaan pemerintah,  dan swasta untuk menangani secara bersama,
terpadu, dan berkelanjutan dengan mempertimbangan peran koordinasi,
sinkronisasi, harmonisasi, kedudukan, dan tugas serta fungsi masing-masing.

Karhutla tidak akan
meluas secara masif, apabila mampu diantisipasi secara dini (deteksi dini) dengan
memerankan dan memberdayakan unit penanganan terdepan di masyarakat. Bukankah pemerintah
telah membentuk Manggala Agni sebagai brigade pengendalian kebakaran hutan di
bawah Kementerian Kehutanan sejak 2003 silam. Selain itu, ada pula Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
tingkat provinsi, kabupaten/kota, Tim Serbu Api Kelurahan (TSAK), Kelompok
Masyarakat Peduli Api (MPA) dari Badan Restorasi Gambut (BRG), dibantu unsur
TNI/POLRI, dan unit pemadam pemerintah serta swasta.

Penanganan karhutla tak
akan mampu diatasi oleh pemerintah atau aparat keamanan saja. Dalam banyak
teori, keberhasilan kebijakan pemerintah sangat ditentukan oleh peran dan
partisipasi aktif masyarakat. Pemerintah di Kalteng tampaknya belum mengoptimalkan
potensi kekuatan masyarakat.

Orientasi kebijakan pemerintah
cenderung diarahkan pada tindakan aksi pemadaman pasca meningkatnya eskalasi
luasan kebakaran. Kegiatan pencegahan tidak lagi menjadi efektif. Penanganan
karhutla dinilai lebih seksi dengan aksi  water bombing
pesawat atau helikopter, adanya hujan buatan, memobilisasi aparat, dan
lain-lain.

Sudah pasti biaya
penanganan akan lebih besar dibandingkan program-program preventif. Penanganan
karhutla idealnya harus didesain dalam satu kebijakan hulu-hilir. Tidak hanya
menyangkut aksi tindakan pemadaman dan mengedepankan sanksi penegakan hukum
belaka, tapi jauh lebih penting adalah membentuk sikap, perilaku, dan budaya
hidup masyarakat  yang tanggap  bencana dan cinta serta peduli akan kelestarian
lingkungan.

Adalah benar langkah
pemerintah melibatkan partisipasi masyarakat melalui kelompok MPA di tingkat
desa/kelurahan. Membuat sumur bor yang sangat fungsional saat terjadi karhutla
tahun 2017, di wilayah-wilayah dengan tingkat ketebalan gambut yang besar. Juga
memberi bimbingan teknis kepada kelompok masyarakat tertentu di bawah BRG.

Pemerintah pun patut diapresiasi
karena membentuk TSAK dan Manggala Agni. Akan tetapi, yang menjadi persoalan
adalah, apakah tim partisipasi masyarakat yang telah dibentuk berfungsi
sebagaimana maksud dan tujuan pembentukan? Bisa jadi secara formal tersedia kelembagaan
partisipasi masyarakat, tetapi tidak mampu secara efektif dan kontinyu
melaksanakan fungsi-fungsinya, karena terputus pembinaan, minimnya peralatan,
lemahnya koordinasi dan komunikasi, serta belum memadai dana operasional untuk
menunjang pelaksanaan fungsi secara baik dan akuntabel.

Betapa besar biaya yang
dikeluarkan pemerintah untuk pemadaman karhutla. Jika diestimasi, satu helikopter
jenis Kamov melakukan water bombing  dengan biaya per jam US $ 6.000[1]
selama 6 (enam) jam per hari, maka rata-rata biaya pemadaman per jam sebesar Rp85.800.000.
Artinya per hari sebesar Rp514.800.000. Sementara harga air per liter yang
disiram sebesar Rp429. Semisal penggunaan helikopter untuk kegiatan water bombing  membutuhkan waktu enam puluh hari, maka total
dana APBN yang dikeluarkan untuk Kalteng sebesar Rp30,888 miliar. Dana tersebut
tentunya belum termasuk dana-dana kegiatan lainnya, seperti mobilisasi personel,
konsumsi, peralatan, kesehatan, BBM, dan lain-lain. Jika dana Rp30,888 miliar
digunakan untuk memperkuat kegiatan operasional MPA yang dibentuk di masyarakat
desa/kelurahan pada 1.569 desa/kelurahan se-Kalteng, maka rata-rata setiap
desa/kelurahan akan menerima kucuran dana sebesar Rp19,686 juta. Dana tersebut
dapat digunakan untuk kegiatan pembinaan dan sosialisasi, bahkan dapat disinergikan
dengan program kebijakan anggaran desa melalui dana desa (DD).

Baca Juga :  Tingkatkan Kualitas Menghadapi Persaingan Sehat

 

Kesulitan yang dialami
kelompok masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan pengendalian/pencegahan
api, baik TSAK maupun MPA, adalah ketiadaan atau minimnya anggaran untuk kegiatan
operasional lapangan, serta kondisi sarana dan prasarana penunjang. Polemik
tarik ulur dan lempar tanggung jawab dalam penanganan karhutla di Kalteng tahun
2019, juga lebih didorong permasalahan anggaran dan biaya operasional,
standarisasi peralatan, serta kondisi hidran sumur-sumur bor.

Belum tertata kelola manajemen
sistem koordinasi, komunikasi, dan operasionalisasi antara berbagai pihak yang
terlibat dalam aksi penanganan, mengakibatkan munculnya kendala-kendala teknis
di lapangan, yang pada akhirnya menumbuhkan sikap skeptis para pihak yang
bertanggung jawab. Pembuat kebijakan utama di pusat dan daerah, idealnya harus
turun tangan menata kelola kembali manajemen penanganan karhutla, sehingga
semua komponen dapat melaksanakan tugas secara baik dan bertanggung jawab.
Bukankah pemerintah hadir untuk melayani masyarakat dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan serta keadilan.

Hal penting yang
didorong dari belajar kejadian bencana karhutla 2019 ini, adalah mewajibkan
setiap pemilik tanah untuk mengelola tanah dengan baik, sehingga di atas tanah itu
ada nilai ekonomis yang tinggi.

Kita bisa melihat
fenomena karhutla di Kalteng ini. Selain titik-titik api berada di lokasi
wilayah hutan atau lahan yang jauh dari permukiman penduduk, tidak kalah
dominan titik-titik api juga tersebar di wilayah perkotaan atau pinggiran kota.
Wilayah yang terbakar umumnya merupakan tanah kosong/semak belukar. Sementara,
lahan yang telah ditanami tanaman yang memiliki nilai ekonomis, terhindar dari
kebakaran. Ini berarti bahwa masyarakat akan memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap kebakaran, manakala di atas tanah lahan masyarakat terkandung nilai ekonomis.

Karena itulah, penting bagi
pemerintah daerah mewajibkan setiap penduduk yang memiliki lahan tidur untuk
mengelola tanah. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus membuat peraturan
daerah (perda) yang mengatur secara tegas kewajiban setiap warga masyarakat untuk
bertanggung jawab atas hak kepemilikan tanahnya, termasuk kewajiban secara kontinyu
membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Untuk mendorong kesadaran masyarakat, pemerintah
wajib menyediakan insentif dalam bentuk program bantuan pembersihan lahan (land clearing) serta bantuan bibit dan
pupuk dengan sistem kredit lunak yang melibatkan pihak perbankan. Selama ini masyarakat
tidak mengelola tanahnya karena keterbatasan tenaga dan modal. Masyarakat pasti
akan berpartisipasi aktif manakala pemerintah mengulurkan tangan. Pada satu
sisi mewajibkan masyarakat (dengan daya ikat perda), tapi pada sisi lain
memberi solusi melalui program bantuan pengelolaan, pembinaan, serta pemasaran
hasil. Program-program pemerintah yang dilaksanakan saat ini, meskipun telah
ada, tapi belum menyentuh secara luas kepada kelompok masyarakat di sektor desa
dan kota, baik untuk kegiatan usaha di bidang pertanian, kehutanan, maupun perkebunan.

Penulis berkeyakinan,
jika pemerintah daerah mampu membuat regulasi dan mendorong komponen masyarakat
mengoptimalkan potensi kepemilikan tanah, pada satu sisi dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat, dan pada sisi lain dapat mencegah atau mengurangi
bencana kebakaran hutan dan lahan, meningkatkan pendapatan daerah, sekaligus mempertahankan
estetika kota/kabupaten.

 

*
Dosen/Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FISIP Universitas Palangka Raya



 

Terpopuler

Artikel Terbaru