Bajaj menuju Kuil Hanoman ini pun bergambar
Hanoman –di kaca depannya.
“Di rumah, Anda punya berapa dewa?”
tanya saya pada sopir Bajaj itu. Ia orang asli kota suci Varanasi, pedalaman
negara bagian Uttar Pradesh.
“Punya dua. Dewa saya Hanoman. Dewa istri
saya Shiwa,” katanya.
“Kenapa Dewa istri Anda Shiwa?” tanya
saya lagi.
“Lho dia kan wanita,” jawabnya.
Sejak itu saya punya kebiasaan baru. Setiap
kali naik Bajaj saya ajukan pertanyaan yang sama. Jawabnya pun sama. Laki-laki
berdewa Hanoman. Perempuan berdewa Shiwa.
Waktu kecil saya mengira Shiwa itu laki-laki.
Akibat pengajaran agama dengan guru yang kurang membaca.
Di India Dewa Shiva itu istri Parbheti.
Salah anggapan saya lainnya: Dewa Shiwa itu
tugasnya menghancurkan dunia. Di India Shiwa itu dewa cinta dan kesetiaan.
Kesalahan saya yang lain: jumlah Dewa. Saya
kira Dewa di agama Hindu itu hanya tiga: Brahma, Wishnu, dan Shiwa. Itulah yang
diajarkan di sekolah.
Setelah dewasa barulah saya tahu: Dewa dalam
Hindu banyak sekali. Orang bisa berdewa satu –tapi umumnya berdewa banyak.
Termasuk pohon di tengah jalan. Pelajaran sekolah tentang Hindu banyak yang
tidak tepat –dulu.
Termasuk soal kasta yang empat. Ternyata di
India ada lima kasta. Yang nomor lima adalah kasta Dalit –kelompok di bawah
empat kasta.
Rakyat jelata. Gembel. Istilahnya: tidak
berkasta.
Jumlah Dalit luar biasa besarnya. Apalagi di
negara bagian Uttar Pradesh ini. Sampai pun pernah menang Pilkada. Beberapa
kali. Dengan tokoh utama mereka: Mayawati.
Saat Bajaj masuk ke jalan menuju Kuil Hanoman
terlihat tenda usang di depan sana. Dengan meja kusam di bawahnya.
Saya langsung saja berjalan menuju gerbangnya.
Melewati pemeriksaan. Badan saya diraba. Ketika rabaan sampai di pinggul tangan
itu berhenti.
“Bawa ponsel ya?” katanya.
Saya mengangguk.
“Titipkan di sana,” ujar petugas itu.
Seraya menunjuk meja di bawah tenda itu.
Setelah beres saya pun kembali melewati
gerbang. Ada koridor selembar 1,5 meter menuju kuil. Kanan-kirinya tanah
kosong. Dengan beberapa pohon besar.
Monyet-monyet saling kejar di tanah lapang itu.
Saling lompat. Lalu naik ke pohon. Turun lagi. Menyambar pisang hadiah dari
pengunjung.
Terlihatlah sepasang kuil kecil di ujung
koridor itu. Di antara dua kuil itu ada pendopo kecil.
Di balik pendopo itu ada bangunan berteras.
Membentuk huruf U.
Di sepanjang terasnya penuh manusia. Mereka
duduk bersila sambil membaca kitab kecil di masing-masing tangan mereka. Atau
melantunkan lagu. Menirukan lagu yang dinyanyikan sekelompok kecil penabuh
gendang India. Tetabuhan itu terus berjalan keliling di komplek kuil. Menyanyi
tiada henti.
Teras itu penuh.
Pendopo itu penuh.
Yang antre menuju altar juga panjang. Sambil
membawa bunga. Untuk diletakkan di altarnya.
Mendekati kuil saya melepaskan sepatu. Semua
harus begitu. Ada lapak penitipan sepatu berbayar di situ.
Sambil ikut antre saya tertarik pemandangan
lain. Ternyata banyak orang yang berjalan mengelilingi kuil kecil itu.
Saya pun keluar dari antrean. Ikut mereka
mengelilingi kuil. Seperti orang yang lagi tawaf mengelilingi Ka’bah.
Saya perhatikan apa saja yang mereka lakukan.
Sambil berkeliling itu mulut mereka komat-kamit. Ada juga yang sambil membawa
kitab kecil di tangan.
Sesekali mereka berhenti. Tangan mereka
mengelus-elus dinding kuil. Sambil membenamkan wajah di dinding itu. Meratap.
Di bagian belakang kuil ada jendela yang selalu
tertutup. Sebagian mereka pun berhenti di bawah jendela itu. Dengan tangan
meraba-raba kayunya. Dan kusen kunonya. Seraya meratap-ratap.
Tiba di sisi barat mereka berhenti. Mencelupkan
jari di cawan berisi cairan kental berwarna merah. Lalu menorehkan si kental di
ujung jari ke dahi mereka. Tepatnya di antara dua alis.
Saya berhenti memandangi adegan itu. Seseorang
lantas menorehkan ujung jari merahnya ke dahi saya. Tepat di antara dua alis
saya.
“Ritual keliling ini harus berapa kali
putaran?” tanya saya.
“Boleh tiga kali, boleh lima kali,”
jawab yang mengolesi dahi saya tadi –seorang wanita setengah tua.
“Setelah selesai, lalu melakukan ini,” tambahnyi.
Ups, dia mengira saya sudah keliling lima kali.
Saya lanjutkan memutar sekali lagi. Ingin tahu
lebih banyak. Di satu tempat langkah mereka terhambat. Sampai berdesakan. Yakni
saat terhambat banyak orang yang lagi berhenti –untuk menghormat Dewa Hanoman.
Yang gambarnya ada di dekat altar itu.
Petugas meminta mereka segera bergerak lagi.
Agar tidak menghambat yang lagi memutari kuil. Tapi ada saja yang menyembahnya
berlama-lama. Sampai sujud segala.
Pikiran saya melayang ke Makkah. Membayangkan
saat saya tawaf memutari Ka’bah. Yang sesekali melihat wanita yang
mengelus-eluskan tangan di dinding Ka’bah. Sambil juga meratap-ratap.
Membayangkan juga tawaf yang kadang terhambat
oleh orang yang memaksa bersujud di dekat Makom Ibrahim.
Rombongan memutari kuil tidak ada hentinya.
Datang dan pergi.
Hanya saja di kuil Hanoman ini arah memutarnya
kebalikan dari tawaf.
Selesai putaran kedua saya kembali masuk
antrean. Mendekati altar. Ingin tahu bagaimana akhir dari antrean itu.
Lalu, saya meninggalkan kuil itu.
Juga dengan sejuta rasa.(Dahlan Iskan)