26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Emosi Teknis

Pun kali ini. Florida-lah yang akan jadi penentu hasil pemilihan presiden Amerika Serikat. Yang tinggal 4 minggu lagi.

Hasil jajak pendapat kemarin masih menyebutkan Joe Biden unggul sekitar 9 persen. Calon incumbent Donald Trump kian tercecer.

Tapi itu kalau dihitung berdasar jumlah suara. Bukan jumlah daerah pemilihan. Masih ada kemungkinan, Trump memang kalah di hasil perhitungan suara, tapi berhasil memenangkan lebih banyak dapil. Persis seperti Hillary Clinton 4 tahun lalu –menang dengan selisih suara 6 juta tapi gagal jadi presiden.

Mike Bloomberg tidak mau itu terjadi lagi. Mantan wali kota New York itu menambah donasi lagi untuk mendukung Biden. Rp 1,5 triliun lagi. Khusus untuk operasi pemenangan Biden di Florida saja.

Di negara bagian Florida ini posisi perolehan suara masih 50:50. Penduduk Florida didominasi keturunan Spanyol. Yang mayoritasnya terkait dengan Kuba. Kalau bukan pelarian dari Kuba adalah punya leluhur di Kuba.

Banyak di antara mereka yang berhasil lolos dengan cara berenang ke tengah laut. Lalu naik sampan menuju Florida. Hanya perlu waktu setengah malam untuk bersampan ke daratan Amerika.

Mereka dulu lari ke Amerika karena tidak kuat hidup dalam kemiskinan yang tiada ujung di Kuba. Juga tidak kuat atas tekanan politik dari penguasa komunis Kuba. Banyak juga di antara pelarian itu yang tenggelam di laut. Atau tewas ditembak saat hendak berenang meninggalkan Kuba.

Karena itu, pun setelah hidup berkecukupan di Florida, mereka masih punya emosi yang tinggi. Mau mereka: Amerika menyerang Kuba. Setidaknya menghukum Kuba. Agar pemerintahan komunis di Kuba cepat runtuh. Agar penderitaan rakyat Kuba segera berakhir.

Baca Juga :  Organisasi Nasional CGMDI Terbentuk Pertama di Kalteng

Sudah lebih 50 tahun Amerika menghukum Kuba. Dengan cara mengisolasi negara itu. Ekonomi Kuba diboikot habis-habisan.

Kuba memang berhasil menjadi lebih miskin. Tapi pemerintahan komunisnya tetap bertahan. Justru rakyatnyalah yang lebih menderita.

Amerika pun dinilai tidak berhasil menghukum komunisme Kuba. Hanya berhasil menyengsarakan rakyat Kuba.

Presiden Barack Obama mencoba pendekatan lain. Tidak ada artinya lagi mengisolasi Kuba. Sudah terbukti, dihukum 50 tahun pun justru hanya menambah kesengsaraan rakyatnya.

Obama pun memulihkan hubungan diplomatik dengan Kuba. Obama membuka kedutaan besar Amerika di Havana. Obama sendiri berkunjung ke Kuba.

Obama dari Partai Demokrat.

Joe Biden dari Partai Demokrat.

Rakyat Florida suka kepada Trump. Yang dinilai berani membenci Kuba –meskipun hanya dalam kata-kata. Serangan-serangan Trump pada komunisme memuaskan emosi mereka. Trump pandai sekali memainkan emosi itu –meski tidak mendidik ke arah perdamaian sama sekali.

Yang terjadi di Florida adalah perebutan emosi.

Negara bagian lain yang juga rawan bagi Biden adalah Pennsylvania. Apalagi DPRD Pennsylvania sekarang ini dikuasai Partai Republik.

Rakyat Pennsylvania sendiri sebenarnya sudah berubah. Sudah insyaf. Sudah lebih banyak yang tidak mau memilih Trump.

Tapi ada persoalan teknis di TPS: apakah kartu suara yang gambar Bidennya dicoblos nanti sempat dihitung.

DPRD Pennsylvania ngotot tidak mau menyidangkan agenda perubahan sistem penghitungan suara. Demokrat sudah terus mendesak: agar DPRD mengubah Perda penghitungan suara. Itu disikapi dingin-dingin saja oleh DPRD.

Baca Juga :  Kebakaran Hutan dan Lahan Mulai Terjadi

Perubahan yang diinginkan Demokrat: agar suara yang masuk ke TPS sudah bisa mulai dihitung sejak seminggu sebelum hari H.

Asumsinya, sudah banyak suara yang masuk ke TPS jauh hari sebelum Pilpres. Yakni suara yang dikirim lewat pos. Di masa pandemi ini diperkirakan 70 persen pemilih akan mencoblos di rumah. Lalu mengirimkannya melalui pos.

Persoalannya: belum tentu surat suara itu bisa tiba di TPS di hari penghitungan suara.

Mengapa?

Pertama, jumlah kiriman itu melonjak drastis. Orang pada tidak mau datang ke TPS –takut Covid-19.

Kedua, terjadi perlambatan dalam proses pengiriman benda pos.

Dirjen Pos Giro yang baru, yang diangkat Trump, melakukan efisiensi besar-besaran. Banyak loket pos ditutup. Banyak boks surat ditutup. Banyak armada dikurangi. Lebih banyak lagi mesin penghitung surat dipensiunkan.

Demokrat di Pennsylvania kalang kabut. Menyerukan agar pemilih mengirim kertas suara lebih awal pun sia-sia. Baru akan dihitung di hari penghitungan. Padahal negara bagian lain sudah banyak yang berubah. ‘Surat suara sudah boleh mulai dihitung 7 hari sebelum hari penghitungan’.

Tanpa masalah teknis, sebenarnya Pennsylvania pasti pindah ke Biden.

Tanpa emosi Kuba Florida pasti pindah ke Biden.

Tapi, di sebuah Pilpres, logika saja tidak cukup. Emosi dan masalah teknis lebih menentukan. Juga di+62.(Dahlan Iskan)

Pun kali ini. Florida-lah yang akan jadi penentu hasil pemilihan presiden Amerika Serikat. Yang tinggal 4 minggu lagi.

Hasil jajak pendapat kemarin masih menyebutkan Joe Biden unggul sekitar 9 persen. Calon incumbent Donald Trump kian tercecer.

Tapi itu kalau dihitung berdasar jumlah suara. Bukan jumlah daerah pemilihan. Masih ada kemungkinan, Trump memang kalah di hasil perhitungan suara, tapi berhasil memenangkan lebih banyak dapil. Persis seperti Hillary Clinton 4 tahun lalu –menang dengan selisih suara 6 juta tapi gagal jadi presiden.

Mike Bloomberg tidak mau itu terjadi lagi. Mantan wali kota New York itu menambah donasi lagi untuk mendukung Biden. Rp 1,5 triliun lagi. Khusus untuk operasi pemenangan Biden di Florida saja.

Di negara bagian Florida ini posisi perolehan suara masih 50:50. Penduduk Florida didominasi keturunan Spanyol. Yang mayoritasnya terkait dengan Kuba. Kalau bukan pelarian dari Kuba adalah punya leluhur di Kuba.

Banyak di antara mereka yang berhasil lolos dengan cara berenang ke tengah laut. Lalu naik sampan menuju Florida. Hanya perlu waktu setengah malam untuk bersampan ke daratan Amerika.

Mereka dulu lari ke Amerika karena tidak kuat hidup dalam kemiskinan yang tiada ujung di Kuba. Juga tidak kuat atas tekanan politik dari penguasa komunis Kuba. Banyak juga di antara pelarian itu yang tenggelam di laut. Atau tewas ditembak saat hendak berenang meninggalkan Kuba.

Karena itu, pun setelah hidup berkecukupan di Florida, mereka masih punya emosi yang tinggi. Mau mereka: Amerika menyerang Kuba. Setidaknya menghukum Kuba. Agar pemerintahan komunis di Kuba cepat runtuh. Agar penderitaan rakyat Kuba segera berakhir.

Baca Juga :  Organisasi Nasional CGMDI Terbentuk Pertama di Kalteng

Sudah lebih 50 tahun Amerika menghukum Kuba. Dengan cara mengisolasi negara itu. Ekonomi Kuba diboikot habis-habisan.

Kuba memang berhasil menjadi lebih miskin. Tapi pemerintahan komunisnya tetap bertahan. Justru rakyatnyalah yang lebih menderita.

Amerika pun dinilai tidak berhasil menghukum komunisme Kuba. Hanya berhasil menyengsarakan rakyat Kuba.

Presiden Barack Obama mencoba pendekatan lain. Tidak ada artinya lagi mengisolasi Kuba. Sudah terbukti, dihukum 50 tahun pun justru hanya menambah kesengsaraan rakyatnya.

Obama pun memulihkan hubungan diplomatik dengan Kuba. Obama membuka kedutaan besar Amerika di Havana. Obama sendiri berkunjung ke Kuba.

Obama dari Partai Demokrat.

Joe Biden dari Partai Demokrat.

Rakyat Florida suka kepada Trump. Yang dinilai berani membenci Kuba –meskipun hanya dalam kata-kata. Serangan-serangan Trump pada komunisme memuaskan emosi mereka. Trump pandai sekali memainkan emosi itu –meski tidak mendidik ke arah perdamaian sama sekali.

Yang terjadi di Florida adalah perebutan emosi.

Negara bagian lain yang juga rawan bagi Biden adalah Pennsylvania. Apalagi DPRD Pennsylvania sekarang ini dikuasai Partai Republik.

Rakyat Pennsylvania sendiri sebenarnya sudah berubah. Sudah insyaf. Sudah lebih banyak yang tidak mau memilih Trump.

Tapi ada persoalan teknis di TPS: apakah kartu suara yang gambar Bidennya dicoblos nanti sempat dihitung.

DPRD Pennsylvania ngotot tidak mau menyidangkan agenda perubahan sistem penghitungan suara. Demokrat sudah terus mendesak: agar DPRD mengubah Perda penghitungan suara. Itu disikapi dingin-dingin saja oleh DPRD.

Baca Juga :  Kebakaran Hutan dan Lahan Mulai Terjadi

Perubahan yang diinginkan Demokrat: agar suara yang masuk ke TPS sudah bisa mulai dihitung sejak seminggu sebelum hari H.

Asumsinya, sudah banyak suara yang masuk ke TPS jauh hari sebelum Pilpres. Yakni suara yang dikirim lewat pos. Di masa pandemi ini diperkirakan 70 persen pemilih akan mencoblos di rumah. Lalu mengirimkannya melalui pos.

Persoalannya: belum tentu surat suara itu bisa tiba di TPS di hari penghitungan suara.

Mengapa?

Pertama, jumlah kiriman itu melonjak drastis. Orang pada tidak mau datang ke TPS –takut Covid-19.

Kedua, terjadi perlambatan dalam proses pengiriman benda pos.

Dirjen Pos Giro yang baru, yang diangkat Trump, melakukan efisiensi besar-besaran. Banyak loket pos ditutup. Banyak boks surat ditutup. Banyak armada dikurangi. Lebih banyak lagi mesin penghitung surat dipensiunkan.

Demokrat di Pennsylvania kalang kabut. Menyerukan agar pemilih mengirim kertas suara lebih awal pun sia-sia. Baru akan dihitung di hari penghitungan. Padahal negara bagian lain sudah banyak yang berubah. ‘Surat suara sudah boleh mulai dihitung 7 hari sebelum hari penghitungan’.

Tanpa masalah teknis, sebenarnya Pennsylvania pasti pindah ke Biden.

Tanpa emosi Kuba Florida pasti pindah ke Biden.

Tapi, di sebuah Pilpres, logika saja tidak cukup. Emosi dan masalah teknis lebih menentukan. Juga di+62.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru