“Jika kamu berpuasa, maka hendaklah berpuasa juga
pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari kedustaan dan dosa. Dan jauhilah
menyakiti pembantu, jadikanlah hari berpuasamu penuh ketundukan dan ketenangan,
dan janganlah kamu jadikan hari fitri dan hari puasamu sama saja.†(Umar bin
Khattab)
Dengan makin banyaknya kemaksiatan, bagaimana caranya
agar mampu menjaga puasa? Bagaimana menjaga kualitas puasa di tengah maraknya
kemaksiatan yang tak dapat dihindari?
DALAM bab puasa, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui
syarat sahnya berpuasa. Ini masuk wilayah hukum fiqh. Ada juga yang disebut
syarat diterimanya puasa. Ini masuk dalam wilayah tasawuf.
Maka apa yang biasa dikatakan sebagian
orang,â€Menggunjing, berdusta, menyakiti orang lain, itu membatalkan puasa.†Itu
maksudnya bukan batal secara fiqh. Tapi, batal secara tasawuf. Artinya, pahala
puasanya menjadi tidak ada. Meski secara fiqh kewajibannya berpuasa telah
gugur.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Betapa banyak orang
berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga.â€
Banyaknya kemaksiatan yang terjadi di sekitar kita justru
menjadi tantangan tersendiri bagi orang-orang yang berpuasa. Mata, telinga, dan
lidah merupakan pintu-pintu yang berpotensi besar untuk melakukan dosa yang
membuat kualitas puasa seseorang menjadi buruk.
Karena itu, untuk menjaga kualitas puasa, jagalah
pandangan, pendengaran, dan omongan dari hal-hal yang dilarang agama. Seperti
menggunjing orang dan mendengarkannya.
Untuk menghindari kemaksiatan-kemaksiatan, berdiam diri
di rumah bisa menjadi solusi. Hal itu jika tidak ada kepentingan. Namun, bila
memang harus keluar rumah dan tak sengaja bermaksiat, solusinya bisa dengan
memperbanyak istighfar.
Bagaimana pun hebatnya, kita tidak akan mampu
mengendalikan perbuatan orang lain dalam hal ketaatan maupun kemaksiatan.
Kewajiban untuk sebisa mungkin menghindari hal-hal terlarang itu, kembali
kepada diri masing-masing.
Dosa sebesar apapun yang dilakukan orang lain, tidak akan
membahayakan kita. Tetapi, dosa sekecil debu pun yang kita lakukan, itulah yang
justru akan membahayakan kita. Wallahu A’lam.(*)
Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong. Wakil
Sekretaris Komisi Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat MUI Jawa Timur. Alumnus
Rushaifah, Makkah, asuhan Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawy Al Maliki.