Semua operator cruise tahu:
musuh utama bisnis mereka adalah virus atau bakteri.ÂÂ
Karena itu aturan
kebersihan di sebuah perjalanan cruise luar biasa ketatnya.
Bagi yang baru
pertama cruise –dan punya kebiasaan kurang peduli seperti di
Indonesia atau Tiongkok– akan terkaget-kaget melihat ketatnya aturan di situ.
Toh Diamond Princess
terkena juga. Kapal pesiar itu kini dikarantina di atas laut. Di dekat
Pelabuhan Yokohama, Jepang. Dengan 3.700 orang ‘tersandera’ di dalamnya.
Tidak terbayangkan ada
virus menyelundup masuk ke cruise.
Yang selama ini paling
ditakuti bukanlah virus seperti itu.
Yang jadi momok adalah
bakteri yang satu ini: yang membuat penumpang bisa sakit perut. Lalu diare
masal.
Bayangkan kalau 3.700
orang –apalagi ada cruise yang berisi 6.000 orang– diare bersama.
Lalu mereka
bertumbangan meninggal dunia di atas kapal.
Maka kebersihan di
sebuah cruise dijaga sampai harga mati. Seorang penumpang yang masuk
restoran di kapal itu harus cuci tangan. Ada fasilitas untuk itu. Tidak ada
yang bisa lolos: ada petugas berpakaian serba necis di situ. Petugas itu
mengawasi yang tidak cuci tangan –lalu dengan sopan dan hormat mengajak ke
wastafel.
Tidak boleh pula
membuka pintu tanpa lapisan tisu di tangan. Disediakan tisu di dekat pintu itu.
Tinggal ambil.
Ada pula yang menjaga
di situ –dan siap mengingatkan yang akan membuka pintu tanpa lapis tisu.
Maksudnya: agar tidak
ada bakteri yang pindah dari tangan ke tangan –hanya gara-gara bergantian
membuka pintu. Lalu tangan yang terkena bakteri memegang makanan. Atau memegang
hidung.ÂÂ
Robert Lai, yang
sebelum bersama saya ke Xinjiang melakukan berjalanan cruise dari
Yunani ke Barcelona, selalu menceritakan itu.ÂÂ
Selama hampir dua
minggu di Xinjiang cerita soal kebersihan di cruise tidak ada
habisnya.
Sebagian karena teman
saya asal Singapura itu memang sangat terkesan. Sebagian lagi saya merasa: agar
saya meninggalkan cara hidup yang sembrono.
Robert tidak pernah
bosan mengingatkan saya soal sering-sering cuci tangan. Atau soal penggunaan
jari untuk membuka lift. Juga soal mengenakan masker. Ia selalu membawa
masker baru untuk saya.
Akhirnya Robert
meyakinkan saya: untuk mau mulai menyenangkan diri sendiri. Dengan cara
sesekali ikut cruise. Saya juga sudah setuju. Apalagi istri saya.ÂÂ
Ketika Diamond Princess
terkena virus Covid-19 –nama baru yang resmi untuk virus Wuhan– Robert tidak
habis pikir: kok ada penumpang yang kena juga.
Itu karena ada orang
Hongkong berumur 80 pernah ke Wuhan sebelum ke Yokohama untuk naik Diamond
Princess. Berlayarnya pun hanya satu etape: hanya dari Yokohama ke
Hongkong.ÂÂ
Sayangnya berita bahwa
orang tua itu terkena virus baru belakangan dilaporkan. Setelah kapal
meneruskan perjalanan dari Hongkong ke Vietnam. Lalu ke Taiwan dan Okinawa.
Selama pelayaran
lanjutan 10 hari itu virus dari Pak Tua beredar terus di cruise itu.
Dari penumpang ke penumpang lain. Lalu ke awak kapal.
Awak kapal melayani
penumpang. Peredaran virus pun meluas.
Tiap hari ditemukan
penderita baru di kapal itu. Tiap hari sirine ambulance mendekat ke
pelabuhan. Untuk menjemput yang terkena virus. Untuk dibawa ke rumah sakit.
Sayangnya pihak Jepang
tidak mampu melakukan pemeriksaan sekaligus. Untuk keseluruhan 3.700 orang di
kapal itu.
Alat pemeriksaannya
tidak mencukupi untuk orang sebanyak itu sekaligus.
Inilah yang membuat
para penumpang seperti menanti putaran lotere: kapan mendapat giliran diperiksa
dan bagaimana hasilnya.
Sekaligus penantian itu
menjadi waktu tambahan bagi virus untuk menular lagi ke penumpang lain.
Bahkan ada perasaan
waswas yang lain: apakah pelayan yang mengantarkan makanan itu masih ‘bersih’.
Atau sudah pula membawa virus.ÂÂ
Sampai kemarin
–setelah 10 hari dikarantina di atas laut– belum lagi 600 orang yang sudah
diperiksa. Yang hasilnya: 135 orang sudah terjangkit virus.ÂÂ
Karantina itu masih
akan 4 hari lagi. Lalu apa yang akan dilakukan? Jadikah tanggal 19 Februari
nanti pengarantinaan itu diakhiri –dengan masih banyak penumpang yang belum
diperiksa?
Jepang memang tidak mau
ambil risiko: jangan sampai ada penularan virus ke penduduknya. Jepang adalah
tuan rumah Olimpiade musim panas nanti. Jangan sampai Olimpiade itu batal
karena virus.
Saya bayangkan hanya
satu penumpang yang tidak stres di kapal itu. Yakni Gay Courter. Dia seorang
novelis best seller. Salah satu bukunyi masuk nominasi hadiah Pulitzer.
Usianyi 75 tahun. Dia ditemani suaminyi, Phil –dua tahun lebih tua darinyi.
Sang suami juga seniman. Bidang film. Ia pembuat film dokumenter terkemuka di
Amerika.
Kepada majalah Times,
Courter mengatakan bahwa dia sudah menghubungi perusahaan asuransinyi. Untuk
menyelamatkannyi.ÂÂ
Caranya pun sudah
ditemukan: diterbangkan ke rumah sakit militer AS di Okinawa. Untuk dikarantina
di sana.
Tapi pemerintah Jepang
tidak setuju.ÂÂ
Courter dan suaminyi
mengaku masih sehat. Selama 10 hari diisolasi di kamarnyi di atas kapal itu
Courter menemukan pahlawan baru: chef yang mampu membuat kue coklat yang sangat
lezat.
Courter sangat
menikmati sajian coklat di kapal pesiar itu. Dalam berbagai bentuk pastry.
Setiap saat. Dia bisa pilih mati kekenyangan coklat daripada terkena virus.
Selama dikarantina
Courter tentu bisa terus sibuk: menulis novel. Kebetulan salah satu novelnyi
dulu berjudul ‘Pembunuhan Misterius di Kapal Pesiar’.
Kini dia bisa menulis
novel tanpa harus mengarang cerita.
Tepat di akhir
karantina nanti setidaknya satu novel sudah bisa terbit. Harapan saya.
Pun seandainya dia
sendiri akhirnya nanti terkena virus di kapal itu. Novelnya justru bisa kian
laris.
Tapi kita semua tidak
ada yang mau ada tragedi seperti itu. Setelah Tiongkok kini Diamond Princess
lah ‘negara’ nomor dua terbanyak menderita Covid-19. Bukan Hongkong atau
Natuna. (dahlan iskan)