28.1 C
Jakarta
Monday, April 14, 2025

Mati Suri Trumpisme

JOSEPH Robinette Biden Jr atau Joe Biden akan segera dilantik
menjadi presiden ke-46 Amerika Serikat (AS). Meskipun proses penghitungan suara
masih berlangsung, Biden telah diproyeksikan mengantongi 290 suara elektoral
(electoral votes). Angka yang lebih dari cukup bagi seorang kandidat untuk bisa
duduk di kursi kepresidenan menurut sistem perundang-undangan di AS.

Kemenangan Biden, bersama Kamala
Harris sebagai kandidat wakil presiden, disambut gegap gempita oleh para
pendukungnya. Kurun empat tahun pemerintahan di bawah Presiden Donald Trump
–yang penuh kontroversi, ketegangan, dan ketidakpastian– tampaknya menjadi
pemicu kegembiraan besar atas kemenangan Biden. Kemenangan Biden, yang berasal
dari Partai Demokrat dan secara ideologis berlawanan dengan Trump yang berasal
dari Partai Republik, seolah memberikan harapan besar akan kembalinya kehidupan
sosial, politik, dan budaya masyarakat AS ke kondisi ”normal”.

Oleh banyak pengamat, kemenangan
Biden juga dilihat sebagai simbol kekalahan Trumpisme. Istilah itu merujuk gaya
berpolitik kontroversial yang telah mengantarkan Trump menjadi presiden AS pada
2016 meskipun sering kali dianggap un-American (tidak mewakili Amerika).

Trumpisme sendiri adalah gaya
berpolitik Donald Trump yang dicirikan oleh paham konservatif-ultrakanan,
populisme ultranasionalis, nativisme (yang cenderung ke arah proteksionisme),
white supremacy, serta antiglobalisme. Trumpisme juga dicirikan oleh penolakan
terhadap kemapanan tradisi politik AS, penolakan terhadap sains dan fakta ilmiah,
penyimpangan terhadap pakem komunikasi publik yang santun dan diplomatis (Trump
kerap menyebut lawan politiknya dengan julukan negatif, misalnya Sleepy Joe),
serta penggunaan retorika politik yang berbasis polarisasi sentimen identitas
ras, etnis, dan agama.

Selain itu, Trumpisme dicirikan
oleh strategi komunikasi politik Donald Trump yang tidak segan memanfaatkan
hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian demi kepentingan politiknya. Michiko
Kakutani dalam bukunya, The Death of Truth: Notes on Falsehood in the Age of
Trump (2018), mengungkapkan bahwa Trump adalah politikus AS yang paling piawai
memanfaatkan kebohongan (falsehood) demi libido politik. Trump tertangkap
tangan telah berkali-kali berbohong bahkan setelah dia duduk di kursi
kepresidenan.

Baca Juga :  Maksimal Dukung Pencarian Korban Tenggelam, ERP Dapat Tali Asih dari K

Koran The Washington Post (1/8/2018), misalnya, mencatat bahwa sejak
menjadi presiden AS pada 20 Januari 2017 hingga 1 Agustus 2018, Trump telah
membuat setidaknya 4.229 klaim keliru atau menyesatkan ke publik. Trump
berkali-kali secara sadar menggunakan kebohongan untuk mendapatkan sorotan
kamera media massa, mengalihkan perhatian publik akan isu-isu tertentu, dan
yang lebih penting lagi, demi mengeksploitasi sentimen dan emosi para pendukung
fanatiknya.

Kemenangan Biden dengan demikian
dianggap akan mengakhiri penyebaran ideologi hitam Trumpisme yang dibawa Trump
dan mengembalikan budaya politik beradab (civic political culture) di AS.
Namun, benarkah bersamaan dengan kekalahan Trump dalam mempertahankan kursi
kepresidenannya, ideologi Trumpisme juga serta-merta akan turut hancur?
Tampaknya tidak semudah itu.

Hasil pilpres kali ini
menunjukkan bahwa tidak sedikit rakyat AS yang telanjur menyukai dan mendukung
janji-janji ideologi Trumpisme. Faktanya, di luar dugaan banyak lembaga jajak
pendapat, perolehan suara Donald Trump dalam pilpres AS kali ini justru
meningkat dan lebih banyak daripada saat pilpres pada 2016. Secara nasional,
popular votes yang diperoleh Trump mencapai 48 persen atau sekitar 70 juta
suara. Angka ini meningkat 7,3 juta dibanding perolehan suara Trump pada
Pilpres AS 2016 (Reuters, 8/11/2020).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa
hampir separo penduduk AS ternyata setuju dan menerima apa yang dilakukan Trump
melalui ideologi Trumpisme. Koalisi dan militansi para pendukung Trump dalam
pilpres kali ini juga justru jauh lebih kuat. Ribuan pendukung Trump di
berbagai kota di AS terlihat selalu memadati ajang kampanye yang diadakan
sebelum pilpres berlangsung. Dibanding Pilpres AS 2016, para pendukung ideologi
Trumpisme kini juga makin menyebar di berbagai kelompok dan lapisan masyarakat
AS.

Baca Juga :  Sering Terjadi Karhutla, Lakukan Patroli Gabungan

Kelompok etnis Hispanik dan kulit
putih kelas menengah –yang sebelumnya tidak banyak memilih Trump– dalam pilpres
kali ini justru cenderung mendukung Trump (Newsweek, 4/11/2020). Realitas
sosiologis masyarakat AS yang gelap dan laten (tidak terlihat) kini menampak
jelas dalam ideologi Trumpisme –merayakan supremasi ras dan etnis tertentu
(maraknya white supremacy dan aksi rasisme), nativistik (dengan slogan America
First), antiasing (menolak imigran muslim dari Timur Tengah, membangun tembok
tebal di perbatasan Meksiko), hingga antisains (menolak saran ilmuwan dalam
penanganan Covid-19).

Meskipun Trump kalah dalam
kontestasi kali ini, diakui atau tidak, ideologi Trumpisme tampaknya masih akan
terus memengaruhi realitas politik elektoral di AS. Trumpisme belum mati. Ia
masih hidup. Ia hanya mati suri. Bukan tidak mungkin dalam Pilpres AS 2024
Trumpisme hidup lagi dengan wajah dan tokoh yang berbeda. Mungkin bahkan lebih
kuat daripada Donald Trump sendiri.

Era kepemimpinan Presiden Joe
Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris tampaknya harus menerima kenyataan telah
tumbuh suburnya benih Trumpisme di tanah demokrasi AS. Tantangan politik Biden
sebagai presiden baru AS adalah menyatukan kembali rakyat AS yang telah
terbelah tajam selama masa empat tahun kepemimpinan Trump dengan ideologi
Trumpisme yang dibawakannya. (*)

(Penulis adalah Dosen Program
Studi Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura dan doktor sosiologi alumnus
Universitas Missouri, AS)

JOSEPH Robinette Biden Jr atau Joe Biden akan segera dilantik
menjadi presiden ke-46 Amerika Serikat (AS). Meskipun proses penghitungan suara
masih berlangsung, Biden telah diproyeksikan mengantongi 290 suara elektoral
(electoral votes). Angka yang lebih dari cukup bagi seorang kandidat untuk bisa
duduk di kursi kepresidenan menurut sistem perundang-undangan di AS.

Kemenangan Biden, bersama Kamala
Harris sebagai kandidat wakil presiden, disambut gegap gempita oleh para
pendukungnya. Kurun empat tahun pemerintahan di bawah Presiden Donald Trump
–yang penuh kontroversi, ketegangan, dan ketidakpastian– tampaknya menjadi
pemicu kegembiraan besar atas kemenangan Biden. Kemenangan Biden, yang berasal
dari Partai Demokrat dan secara ideologis berlawanan dengan Trump yang berasal
dari Partai Republik, seolah memberikan harapan besar akan kembalinya kehidupan
sosial, politik, dan budaya masyarakat AS ke kondisi ”normal”.

Oleh banyak pengamat, kemenangan
Biden juga dilihat sebagai simbol kekalahan Trumpisme. Istilah itu merujuk gaya
berpolitik kontroversial yang telah mengantarkan Trump menjadi presiden AS pada
2016 meskipun sering kali dianggap un-American (tidak mewakili Amerika).

Trumpisme sendiri adalah gaya
berpolitik Donald Trump yang dicirikan oleh paham konservatif-ultrakanan,
populisme ultranasionalis, nativisme (yang cenderung ke arah proteksionisme),
white supremacy, serta antiglobalisme. Trumpisme juga dicirikan oleh penolakan
terhadap kemapanan tradisi politik AS, penolakan terhadap sains dan fakta ilmiah,
penyimpangan terhadap pakem komunikasi publik yang santun dan diplomatis (Trump
kerap menyebut lawan politiknya dengan julukan negatif, misalnya Sleepy Joe),
serta penggunaan retorika politik yang berbasis polarisasi sentimen identitas
ras, etnis, dan agama.

Selain itu, Trumpisme dicirikan
oleh strategi komunikasi politik Donald Trump yang tidak segan memanfaatkan
hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian demi kepentingan politiknya. Michiko
Kakutani dalam bukunya, The Death of Truth: Notes on Falsehood in the Age of
Trump (2018), mengungkapkan bahwa Trump adalah politikus AS yang paling piawai
memanfaatkan kebohongan (falsehood) demi libido politik. Trump tertangkap
tangan telah berkali-kali berbohong bahkan setelah dia duduk di kursi
kepresidenan.

Baca Juga :  Maksimal Dukung Pencarian Korban Tenggelam, ERP Dapat Tali Asih dari K

Koran The Washington Post (1/8/2018), misalnya, mencatat bahwa sejak
menjadi presiden AS pada 20 Januari 2017 hingga 1 Agustus 2018, Trump telah
membuat setidaknya 4.229 klaim keliru atau menyesatkan ke publik. Trump
berkali-kali secara sadar menggunakan kebohongan untuk mendapatkan sorotan
kamera media massa, mengalihkan perhatian publik akan isu-isu tertentu, dan
yang lebih penting lagi, demi mengeksploitasi sentimen dan emosi para pendukung
fanatiknya.

Kemenangan Biden dengan demikian
dianggap akan mengakhiri penyebaran ideologi hitam Trumpisme yang dibawa Trump
dan mengembalikan budaya politik beradab (civic political culture) di AS.
Namun, benarkah bersamaan dengan kekalahan Trump dalam mempertahankan kursi
kepresidenannya, ideologi Trumpisme juga serta-merta akan turut hancur?
Tampaknya tidak semudah itu.

Hasil pilpres kali ini
menunjukkan bahwa tidak sedikit rakyat AS yang telanjur menyukai dan mendukung
janji-janji ideologi Trumpisme. Faktanya, di luar dugaan banyak lembaga jajak
pendapat, perolehan suara Donald Trump dalam pilpres AS kali ini justru
meningkat dan lebih banyak daripada saat pilpres pada 2016. Secara nasional,
popular votes yang diperoleh Trump mencapai 48 persen atau sekitar 70 juta
suara. Angka ini meningkat 7,3 juta dibanding perolehan suara Trump pada
Pilpres AS 2016 (Reuters, 8/11/2020).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa
hampir separo penduduk AS ternyata setuju dan menerima apa yang dilakukan Trump
melalui ideologi Trumpisme. Koalisi dan militansi para pendukung Trump dalam
pilpres kali ini juga justru jauh lebih kuat. Ribuan pendukung Trump di
berbagai kota di AS terlihat selalu memadati ajang kampanye yang diadakan
sebelum pilpres berlangsung. Dibanding Pilpres AS 2016, para pendukung ideologi
Trumpisme kini juga makin menyebar di berbagai kelompok dan lapisan masyarakat
AS.

Baca Juga :  Sering Terjadi Karhutla, Lakukan Patroli Gabungan

Kelompok etnis Hispanik dan kulit
putih kelas menengah –yang sebelumnya tidak banyak memilih Trump– dalam pilpres
kali ini justru cenderung mendukung Trump (Newsweek, 4/11/2020). Realitas
sosiologis masyarakat AS yang gelap dan laten (tidak terlihat) kini menampak
jelas dalam ideologi Trumpisme –merayakan supremasi ras dan etnis tertentu
(maraknya white supremacy dan aksi rasisme), nativistik (dengan slogan America
First), antiasing (menolak imigran muslim dari Timur Tengah, membangun tembok
tebal di perbatasan Meksiko), hingga antisains (menolak saran ilmuwan dalam
penanganan Covid-19).

Meskipun Trump kalah dalam
kontestasi kali ini, diakui atau tidak, ideologi Trumpisme tampaknya masih akan
terus memengaruhi realitas politik elektoral di AS. Trumpisme belum mati. Ia
masih hidup. Ia hanya mati suri. Bukan tidak mungkin dalam Pilpres AS 2024
Trumpisme hidup lagi dengan wajah dan tokoh yang berbeda. Mungkin bahkan lebih
kuat daripada Donald Trump sendiri.

Era kepemimpinan Presiden Joe
Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris tampaknya harus menerima kenyataan telah
tumbuh suburnya benih Trumpisme di tanah demokrasi AS. Tantangan politik Biden
sebagai presiden baru AS adalah menyatukan kembali rakyat AS yang telah
terbelah tajam selama masa empat tahun kepemimpinan Trump dengan ideologi
Trumpisme yang dibawakannya. (*)

(Penulis adalah Dosen Program
Studi Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura dan doktor sosiologi alumnus
Universitas Missouri, AS)

Terpopuler

Artikel Terbaru