26.5 C
Jakarta
Sunday, April 20, 2025

Rahayu di Gedung Voli

Inilah untuk pertama kali saya melayat di masa
Covid-19. Tadi malam. Di Surabaya. 

Yang meninggal seorang wanita bernama Rahayu A.
Harsono. Umur 88 tahun. Dia ibunda teman baik saya: Arif Harsono, seorang
pengusaha besar –terbesar di Indonesia untuk bisnis oksigen dan produk gas
lainnya.

Sang ibu meninggal di rumah. Sejak masih sakit
anak-anaknyi sepakat untuk tidak membawanyi ke rumah sakit. Dokter juga
menyarankan tidak perlu masuk rumah sakit.

Justru bisa tertular virus.

Apalagi di rumahnyi itu sudah melebihi rumah
sakit. Anak-anaknyi membangun satu kamar khusus untuk merawat sang ibu. Yang di
masa tuanyi terkena gangguan ginjal itu. Kamar itu sudah seperti VVIP Room di
ICU rumah sakit terkenal.

Anak-anaknyi khawatir kalau sang ibu meninggal
di rumah sakit urusannya akan panjang. Bisa-bisa harus dimakamkan dengan
prosedur Covid. 

Alharhum memang akhirnya meninggal: tanggal 6
Juli lalu. pukul 3 sore.

Jenazahnyi disemayamkan di tempat yang
istimewa: gedung olahraga. Arif Harsono memang memiliki klub bola voli:
Samator. Salah satu yang terkuat di Indonesia. Sejak puluhan tahun lalu. 

Tapi gedung olahraga itu dihias dulu. Menjadi
mirip ballroom hotel bintang lima. Seluruh plafon dan dindingnya ditutup kain
kuning mengkilap.

Ruang besar itu pun menjadi ruang duka.
Mayatnyi ditaruh di dalam peti di ujung hall. Berhias bunga yang luar biasa indah
dan banyaknya.

Persemayaman itu dipilihkan ruang besar karena
Covid-19. Agar pelayat bisa aman dari penularan Covid. Tempat duduk pelayat pun
dibuat berjauhan. Dan selalu dibersihkan.

Saya sendiri harus antre masuk dengan prosedur
Covid. Harus dicek suhu. Pakai thermo gun.
Juga harus cuci tangan dengan disinfektan. Setiap melangkah maju harus
menginjak titik yang ditentukan. Jarak antrean antar pelayat satu meter lebih.

Baca Juga :  Temuan Rp 12 M di Bank Kalteng, Gubernur : Sekarang Sedang Diproses OJ

Saya harus menunggu lama untuk bisa mendapat
giliran berdoa di depan jenazah. Begitu banyak rombongan dari umat Buddha yang
antre sembahyang di situ. 

Arif Harsono memang tokoh Buddha. Dari aliran
Maitreya. Jasanya pada agama Buddha luar biasa. Ia ikut membangun lebih 400
vihara di seluruh Indonesia.

Salah satu yang terbesar adalah yang di Medan.
Seluas 5 hektare. Lengkap dengan sekolah sampai tingkat SMA.

Demikian juga yang di Batam. Sampai punya
perguruan tinggi. Pokoknya, tanyalah setiap vihara Maitreya. Pasti ada nama
Arif Harsono di dalamnya.

”Rezeki saya ini dari Tuhan. Harus saya kembalikan
ke Tuhan,” katanya suatu saat pada saya.

Bahan baku bisnisnya, oksigen, memang murni
dari udara. Tidak ada campuran apa pun. Ia tidak harus menanam bahan baku. Juga
tidak perlu menambang.

Nama perusahaannya: PT Samator. Ia unggul dari
siapa pun. Pernah ia punya pesaing dari perusahaan raksasa. Dari Amerika pula.

Samator menang. 

Sudah lama perusahaan Amerika itu undur diri
dari Indonesia. Kalah.

Arif Harsono lahir di Toli-Toli, Sulawesi
Tengah. Di daerah yang sangat gersang. Di sana, waktu itu, hanya ada pohon
kelapa. Atau batu gunung.

Salah satu adiknya menderita sakit jantung
bawaan. Tidak ada dokter jantung di Toli-Toli –pada 1964. Maka keluarga ini
pindah ke Surabaya. Arif saat itu masih berumur 10 tahun. 

Sampai di Surabaya tidak bisa sekolah. Sekolah
Tionghoa ditutup. Arif pun sekolah di SD Negeri. Itulah yang membawa Arif punya
pergaulan yang luas. Teman-temannya tidak hanya dari kalangan Tionghoa.

Sang ayah –apalagi kalau bukan– pengusaha
kopra. Zaman itu kopra adalah emas-nya Indonesia. Sang ayah berteman baik
dengan pedagang besar kopra lainnya: Eka Tjipta Widjaya. Yang kelak menjadi
konglomerat terbesar di Indonesia –lewat grup Sinar Mas-nya. 

Baca Juga :  Tingkatkan Kunjungan Wisatawan ke Kota Cantik

Sang ibu dimakamkan hari ini. Karangan bunga
luar biasa panjangnya. Mengular di sepanjang jalan Kedung Baruk Surabaya.

Di situlah, di sebelah gedung olahraga itu,
Arif membangun kerajaan barunya: properti. Ia membangun tiga tower. Satu untuk
hotel Novotel. Satu lagi untuk apartemen. Dan tower ketiga untuk gedung
perkantoran.

Saya parkir di basement tower-tower
itu. Lalu jalan kaki ke gedung olahraga di sebelahnya. 

Di persemayaman saya bisa bertemu Arif dan
adik-adiknya. Mereka tujuh bersaudara. Semua kumpul di PT Samator. Yang lima
orang tetap menganut Buddha meski tidak semuanya Maitreya. Yang dua, wanita,
kini menganut Kristen –ikut suami mereka.

Ayah mereka sudah meninggal 10 tahun lalu. Dan
sang istri terpaksa tidak bisa satu pemakaman dengan sang suami. Makam yang
lama itu sulit dimasuki. Sudah terhalang banyak pemukiman.

Maka sang ibu setuju kalau dimakamkan terpisah.
Di Lawang, dekat Malang. Toh tidak begitu jauh dari makam sang suami. 

Padahal, saat memakamkan sang ayah dulu, sudah
sekalian digali lubang untuk calon makam sang ibu.

Sang anak, sepanjang hari, terus di ruang
persemayaman itu. Setiap kali ada rombongan yang sembahyang ia harus
mendampingi. Sepanjang hari. Dari pagi sampai malam. Selama lima hari.

Sang anak kelihatan lega bisa memberikan
penghormatan terakhir bagi ibunda secara layak. Kalau saja salah langkah mereka
tidak akan bisa melawan prosedur pemakaman Covid-19.

Amitohu!(Dahlan Iskan)

 

Inilah untuk pertama kali saya melayat di masa
Covid-19. Tadi malam. Di Surabaya. 

Yang meninggal seorang wanita bernama Rahayu A.
Harsono. Umur 88 tahun. Dia ibunda teman baik saya: Arif Harsono, seorang
pengusaha besar –terbesar di Indonesia untuk bisnis oksigen dan produk gas
lainnya.

Sang ibu meninggal di rumah. Sejak masih sakit
anak-anaknyi sepakat untuk tidak membawanyi ke rumah sakit. Dokter juga
menyarankan tidak perlu masuk rumah sakit.

Justru bisa tertular virus.

Apalagi di rumahnyi itu sudah melebihi rumah
sakit. Anak-anaknyi membangun satu kamar khusus untuk merawat sang ibu. Yang di
masa tuanyi terkena gangguan ginjal itu. Kamar itu sudah seperti VVIP Room di
ICU rumah sakit terkenal.

Anak-anaknyi khawatir kalau sang ibu meninggal
di rumah sakit urusannya akan panjang. Bisa-bisa harus dimakamkan dengan
prosedur Covid. 

Alharhum memang akhirnya meninggal: tanggal 6
Juli lalu. pukul 3 sore.

Jenazahnyi disemayamkan di tempat yang
istimewa: gedung olahraga. Arif Harsono memang memiliki klub bola voli:
Samator. Salah satu yang terkuat di Indonesia. Sejak puluhan tahun lalu. 

Tapi gedung olahraga itu dihias dulu. Menjadi
mirip ballroom hotel bintang lima. Seluruh plafon dan dindingnya ditutup kain
kuning mengkilap.

Ruang besar itu pun menjadi ruang duka.
Mayatnyi ditaruh di dalam peti di ujung hall. Berhias bunga yang luar biasa indah
dan banyaknya.

Persemayaman itu dipilihkan ruang besar karena
Covid-19. Agar pelayat bisa aman dari penularan Covid. Tempat duduk pelayat pun
dibuat berjauhan. Dan selalu dibersihkan.

Saya sendiri harus antre masuk dengan prosedur
Covid. Harus dicek suhu. Pakai thermo gun.
Juga harus cuci tangan dengan disinfektan. Setiap melangkah maju harus
menginjak titik yang ditentukan. Jarak antrean antar pelayat satu meter lebih.

Baca Juga :  Temuan Rp 12 M di Bank Kalteng, Gubernur : Sekarang Sedang Diproses OJ

Saya harus menunggu lama untuk bisa mendapat
giliran berdoa di depan jenazah. Begitu banyak rombongan dari umat Buddha yang
antre sembahyang di situ. 

Arif Harsono memang tokoh Buddha. Dari aliran
Maitreya. Jasanya pada agama Buddha luar biasa. Ia ikut membangun lebih 400
vihara di seluruh Indonesia.

Salah satu yang terbesar adalah yang di Medan.
Seluas 5 hektare. Lengkap dengan sekolah sampai tingkat SMA.

Demikian juga yang di Batam. Sampai punya
perguruan tinggi. Pokoknya, tanyalah setiap vihara Maitreya. Pasti ada nama
Arif Harsono di dalamnya.

”Rezeki saya ini dari Tuhan. Harus saya kembalikan
ke Tuhan,” katanya suatu saat pada saya.

Bahan baku bisnisnya, oksigen, memang murni
dari udara. Tidak ada campuran apa pun. Ia tidak harus menanam bahan baku. Juga
tidak perlu menambang.

Nama perusahaannya: PT Samator. Ia unggul dari
siapa pun. Pernah ia punya pesaing dari perusahaan raksasa. Dari Amerika pula.

Samator menang. 

Sudah lama perusahaan Amerika itu undur diri
dari Indonesia. Kalah.

Arif Harsono lahir di Toli-Toli, Sulawesi
Tengah. Di daerah yang sangat gersang. Di sana, waktu itu, hanya ada pohon
kelapa. Atau batu gunung.

Salah satu adiknya menderita sakit jantung
bawaan. Tidak ada dokter jantung di Toli-Toli –pada 1964. Maka keluarga ini
pindah ke Surabaya. Arif saat itu masih berumur 10 tahun. 

Sampai di Surabaya tidak bisa sekolah. Sekolah
Tionghoa ditutup. Arif pun sekolah di SD Negeri. Itulah yang membawa Arif punya
pergaulan yang luas. Teman-temannya tidak hanya dari kalangan Tionghoa.

Sang ayah –apalagi kalau bukan– pengusaha
kopra. Zaman itu kopra adalah emas-nya Indonesia. Sang ayah berteman baik
dengan pedagang besar kopra lainnya: Eka Tjipta Widjaya. Yang kelak menjadi
konglomerat terbesar di Indonesia –lewat grup Sinar Mas-nya. 

Baca Juga :  Tingkatkan Kunjungan Wisatawan ke Kota Cantik

Sang ibu dimakamkan hari ini. Karangan bunga
luar biasa panjangnya. Mengular di sepanjang jalan Kedung Baruk Surabaya.

Di situlah, di sebelah gedung olahraga itu,
Arif membangun kerajaan barunya: properti. Ia membangun tiga tower. Satu untuk
hotel Novotel. Satu lagi untuk apartemen. Dan tower ketiga untuk gedung
perkantoran.

Saya parkir di basement tower-tower
itu. Lalu jalan kaki ke gedung olahraga di sebelahnya. 

Di persemayaman saya bisa bertemu Arif dan
adik-adiknya. Mereka tujuh bersaudara. Semua kumpul di PT Samator. Yang lima
orang tetap menganut Buddha meski tidak semuanya Maitreya. Yang dua, wanita,
kini menganut Kristen –ikut suami mereka.

Ayah mereka sudah meninggal 10 tahun lalu. Dan
sang istri terpaksa tidak bisa satu pemakaman dengan sang suami. Makam yang
lama itu sulit dimasuki. Sudah terhalang banyak pemukiman.

Maka sang ibu setuju kalau dimakamkan terpisah.
Di Lawang, dekat Malang. Toh tidak begitu jauh dari makam sang suami. 

Padahal, saat memakamkan sang ayah dulu, sudah
sekalian digali lubang untuk calon makam sang ibu.

Sang anak, sepanjang hari, terus di ruang
persemayaman itu. Setiap kali ada rombongan yang sembahyang ia harus
mendampingi. Sepanjang hari. Dari pagi sampai malam. Selama lima hari.

Sang anak kelihatan lega bisa memberikan
penghormatan terakhir bagi ibunda secara layak. Kalau saja salah langkah mereka
tidak akan bisa melawan prosedur pemakaman Covid-19.

Amitohu!(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru