PALANGKA
RAYA-Hari
ini (9/12) masyarakat Kalteng akan mengikuti hajatan demokrasi memilih gubernur
dan wakil gubernur. Sebanyak 1.698.449 warga yang mempunyai hak pilih menjadi
penentu siapa yang bakal menang dan melenggang ke Istana Isen Mulang. Entah itu
pasangan calon (paslon) nomor 1 Ben Brahim S Bahat-Ujang Iskandar ataukah
paslon nomor 2 Sugianto Sabran-Edy Pratowo.
Terlepas dari itu,
dalam setiap kontestasi tentu saja akan ada yang kalah dan menang. Siapa pun
yang berani mencalon, artinya telah siap kalah dan siap menang.
Oleh karena itu, setiap
kontestan dituntut harus bisa menerima keputusan hasil pemungutan suara oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) maupun yang sudah dicermati dan dikaji oleh Bawaslu. “Tentu
saja harus siap menang dan siap kalah. Itu juga berarti bahwa yang menang harus
siap menjadi pemimpin,†tegas akademisi dari IAIN Palangka Raya, Sadiani, saat
dibincangi Kalteng Pos (grup kaltengpos.co), Selasa (8/12).
Dijelaskannya, melihat
proses debat dan kampanye yang telah digelar selama ini, pihaknya menilai para
paslon masih kurang mengedepankan program yang ingin diusung. Justru sebaliknya
debat lebih pada membuka aib masa lalu.
“Masyarakat
seolah-olah disesatkan oleh pemikiran-pemikiran demikian, yakni
mengungkit-ungkit kekurangan masa lalu masing-masing kontestan,” katanya.
Menurutnya, berkenaan
dengan kemungkinan terjadinya gugatan, pihaknya menyebut bahwa hal itu bisa saja
terjadi saat penghitungan suara, ketika muncul suara terbanyak dari salah satu
paslon, atau adanya indikasi penggelembungan suara.
“Kami menyarankan
kepada masyarakat agar tidak berpergian ke luar kota hingga pemilihan berlangsung.
Dikhawatirkan hak suara masyarakat yang hilang disalahgunakan oleh oknum-oknum
tertentu dengan mencoblos surat suara tersebut,” bebernya.
Ditambahkannya, sudah
merupakan lagu lama jika terjadi serangan fajar menjelang pemilihan. Karena itu
pihaknya mengimbau masyarakat untuk bijak menyikapi hal-hal demikian.
“Kami menyarankan
kepada masyarakat agar dapat mengambil peran pada pesta demokrasi lima tahun
sekali ini. Mahasiswa juga diharapkan proaktif,” tegasnya.
Sebagai warga negara,
tentu sangat mengharapkan agar pelaksanaan pemilihan gubernur maupun pemilihan
bupati di Kotim kali ini dapat berjalan dengan aman dan lancar. Selain itu,
diharapkan agar apa pun hasilnya nanti dapat diterima oleh semua pihak. Harapan
itu diutarakan pengamat politik, John Retei, kepada Kalteng Pos, Selasa (8/12).
Menurutnya, meskipun ada
kontestasi yang ketat, tapi dapat diselesaikan melalui saluran-saluran politik
yang formal. Karena sejatinya diadakannya pemilu adalah untuk pengendalian konflik
atas pandangan yang berbeda-beda.
“Penduduk Kalteng sebanyak
2,6 juta jiwa. Dan berdasarkan ketentuan pasal 158, untuk wilayah dengan penduduk
antara 2-6 juta jiwa, maka selisih suara untuk gugatan adalah 1,5 persen,”
sebutnya.
Jika selisih suara
cukup signifikan, paslon kalah pantas mengggugat ke MK. Namun jika paslon
memiliki bukti-bukti yang kuat dan signifikan, ada hak diberikan konstitusi
untuk itu, yakni minimal tiga hari kerja setelah pengumuman hasil pemungutan
suara disampaikan.
Ditambahkannya, ada
beberapa kerawanan sebelum hingga hari-H pencoblosan. Di antaranya, pemilih
memenuhi syarat tapi tidak terdaftar, pemilih terdaftar tapi tidak diberi
undangan, pemilih tidak memenuhi syarat, penyalahgunaan C6 oleh pemilih yang tidak sesuai, mobilisasi
pemilih pengguna KTP, pengguna hak pilih tercatat ganda, memilih lebih dari
sekali, kekurangan atau kelebihan surat suara, mobilisasi dan intimidasi, serta
tindakan memengaruhi pemilih atau petugas untuk memilih calon tertentu.
“Kerawanan saat
memilih seperti tidak dilaksanakan prosedur pelaksanaan oleh KPPS, netralitas
petugas, dan lainnya,” tambah John.
Sementara, pengamat
politik lainnya Ahmad Syar’i mengatakan, karena hanya ada kontestan dalam
pemilihan gubernur dan wakil gubernur kali ini, maka kompetisi dan persaingan akan
lebih dinamis. Karena sejak awal hanya ada dua alternatif pilihan, maka kemungkinan
sudah terpolarisasi ke dua kelompok.
“Berbeda dengan
pilgub pada 2015 lalu yang diikuti tiga kontestan, walaupun ketika pemungutan
suara hanya tersisa dua paslon,” ungkapnya.
Menurut mantan Ketua
KPU Kalteng tersebut, mestinya sikap paslon mengedepankan asas yuridis dan
legalitas, mengendalikan emosi pendukung, terutama pihak yang kalah. Karena itu,
pihak yang menang diharapkan menerima dengan rasa syukur tanpa euphoria, sementara
bagi pihak yang kalah diminta berlapang dada.
“Saya menduga ada
kecenderungsn paslon yang kalah akan membawa persoalan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Itu memang hak paslon sepanjang memenuhi persyaratan. Hanya saja mestinya
persoalaan yang dibawa ke MK harus mendasar. Saya melihat ada pelanggaran
tertentu oleh paslon lain yang mestinya bisa dilaporkan dan diselesaikan
melalui Bawaslu, tetap diduga “sengaja” disimpan untuk dibawa ke MK,”
tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, pantas
tidaknya suatu persoalan dibawa ke MK sering kali tergantung pada persepsi dan
kenekatan paslon serta timnya. Namun, kepantasan yang sebenarnya objektif dan
signifikan ditentukan oleh MK. Jika MK menerima pendaftarannya dan memrosesnya,
artinya laporan paslon dianggap pantas.
“Berdasarkan
pengalaman, sering kali alasan pengajuan gugatan ke MK dipaksakan. Misalnya,
ada keluarga anggota penyelenggara yang bergabung dalam paslon tertentu, lalu
dipersoalkan, dituduh, dan dilaporkan ke MK karena tidak netral. Juga data-data
yang dianggap sebagai bukti tetapi tidak valid, bahkan data-data pelanggaran
diada-adakan. Tuduhan atau dugaan politik uang, tetapi tanpa bukti yang
jelas,” ungkapnya.