REVOLUSI industri keempat berdampak secara
signifikan terhadap perubahan sosial dan politik suatu negara. Ruang publik
yang selama ini dimaknai bahkan dibatasi secara konvensional sebagai interaksi
tatap muka langsung mulai beralih ke ruang-ruang digital.
Terlebih di tengah pandemi Covid-19 yang
melanda dunia, memaksa penggunaan teknologi informasi untuk meminimalkan
penularan Covid-19. Situasi ini ikut memengaruhi praktik tata kelola
pemerintahan, termasuk penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).
Indonesia adalah salah satu negara yang akan
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 270 daerah. Partisipasi
merupakan karakter utama dari pemilu yang mendorong pemilih untuk berinteraksi
dengan peserta pemilu. Tujuannya untuk mengetahui program dan visi-misi yang
ditawarkan sebagai modal utama bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.
Termasuk berinteraksi dengan penyelenggara pemilu untuk menerima informasi
mengenai pemilu. Persoalannya, Covid-19 membatasi ruang-ruang interaksi tatap
muka langsung yang sebelumnya disediakan dalam arena kampanye.
Teknologi menjadi salah satu solusi yang dapat
digunakan untuk tetap memberikan ruang interaksi sekaligus akses informasi bagi
pemilih. Open data (baca: keterbukaan data) dalam pemilu yang didasarkan pada
gagasan data dan informasi harus dengan mudah dapat dibagi, diakses, dan
digunakan publik. Hal itu bisa menjadi sebuah platform untuk memenuhi kebutuhan
informasi pemilih tentang pilkada di tengah pandemi.
Open data pemilu sesungguhnya bukanlah hal baru
dalam electoral governance di Indonesia. Sejak Pemilu 2014, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) menyiapkan portal informasi mengenai berbagai tahapan pemilu di
Indonesia. Salah satunya ialah membuka profil peserta dan kandidat pemilu yang
dapat diakses pemilih.
Namun, open data tidak boleh dimaknai secara
sempit sebatas pada terpublikasinya dokumen yang berisi informasi mengenai
pemilu di portal informasi atau website. Salah satu prasyarat utama dari open
data adalah data yang dipublikasikan dapat dengan mudah diakses, diolah, dan
machine readable.
Dalam hal ini, data yang terpublikasi tersedia
dalam format yang dapat diolah dan dibaca oleh mesin. Sebagai contoh, format
dokumen yang dipublikasikan dalam PDF sulit untuk diolah dan dianalisis oleh
aplikasi perangkat teknologi.
Dalam konteks pelaksanaan kampanye pilkada di
masa pandemi, penggunaan teknologi informasi sangat diperlukan sebagai medium
komunikasi publik secara maksimal. Di sinilah pentingnya open data pemilu.
Sebab, pemilih tidak bisa lagi leluasa terlibat langsung menyaksikan kampanye
dalam rangka memperoleh informasi untuk mengenal pasangan calon, visi-misi,
program, hingga rekam jejak dari pasangan calon. Semua dibatasi guna
meminimalkan risiko persebaran virus Covid-19. Karena itulah, keterbukaan data pemilu
harus bisa memenuhi kebutuhan pemilih tentang informasi pasangan calon.
Berangkat dari hal tersebut, terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan dan dimaksimalkan penyelenggara pemilu dalam
menyediakan informasi melalui keterbukaan data pilkada serentak 2020. Pertama,
keterbukaan data pemilu sangat penting untuk diterapkan dalam pilkada serentak
2020 di 270 daerah sebagai bentuk transparansi sekaligus mendorong partisipasi
publik untuk mengetahui berbagai informasi mengenai pilkada.
Kedua, kampanye merupakan tahapan pemilu yang
disediakan bagi: (1) Peserta pemilu untuk menyebarluaskan informasi mengenai
profil, visi-misi, dan program dari pasangan calon; (2) Pemilih untuk
memperoleh informasi dari pasangan calon peserta pilkada mengenai profil, visi-misi,
dan program. Open data pemilu perlu dijadikan medium utama untuk menyebarkan
informasi dan menerima informasi pada pilkada serentak 2020.
Ketiga, melalui portal informasi
infopemilu.kpu.go.id, KPU telah memublikasikan informasi mengenai berbagai tahapan
pilkada. Termasuk mengenai pasangan calon kepala daerah yang menjadi peserta di
270 daerah penyelenggara pilkada. Namun, masih terdapat daftar riwayat hidup
dalam form BB2 KWK yang masih belum terpublikasi.
Selain itu, terdapat beberapa daerah pilkada
yang dalam website resminya belum memublikasikan hal tersebut. Untuk itu, kami
mendorong KPU membuka dan memublikasikan keseluruhan daftar riwayat hidup
pasangan calon kepala daerah yang tertuang dalam BB2 KWK di 270 daerah
penyelenggara pilkada dan mendorong KPU di daerah untuk ikut serta
memublikasikannya.
Keempat, open data pemilu tidak bisa hanya
dimaknai sebatas data dan informasi yang sudah terpublikasi dalam portal
informasi berjejaring internet. Lebih jauh, karakter dasar dari open data
adalah berbagai informasi terpublikasi dan tersedia dalam format yang machine
readable atau dapat dengan mudah diolah dan dianalisis. Data dan informasi yang
berbentuk format PDF belum bisa dikategorisasi sebagai open data. Untuk itu,
KPU dalam memublikasikan data informasi mengenai pilkada serentak 2020 bisa
menggunakan format open data yang mudah diolah seperti csv, excel, dan j-son
papolo.
Kelima, open data pemilu yang dilakukan KPU
tentunya perlu memperhatikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan
ketentuan mengenai data pribadi yang tidak boleh dipublikasikan.
Keenam, Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) merupakan garda terdepan dalam penyebarluasan informasi dan
data. Sayangnya, PPID di penyelenggara pemilu masih kurang responsif terhadap
permintaan data yang diajukan publik. Untuk itu, KPU perlu memaksimalkan dan
menstandarkan pelayanan PPID agar lebih responsif dan transparan dalam
mengelola permintaan data pemilu.
Menjelang pemungutan suara ini, publik perlu
diberi informasi, gambaran, dan pemahaman yang utuh terkait proses pilkada
secara menyeluruh. Agar nanti masyarakat makin menyadari pentingnya pilkada,
tahu, dan aktif, yang ujung-ujungnya tingkat partisipasi kian tinggi. Semoga.
(*)
*) Ferry Kurnia
Rizkiyansyah, Direktur eksekutif Netgrit (Network for Democracy and Electoral
Integrity)