31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Implementasi Selera Wisatawan Eropa

Beberapa hari lalu saya baru saja mengunjungi beberapa Negara di Eropa
khususnya di Eropa Tengah yaitu Budapest, Austria dan Swiss. Saat itu, pada
bulan Juli-Agustus, Negara Eropa mengalami musim panas dengan matahari bersinar
lebih dari 12 jam atau terbit jam 06.00 pagi dan tenggelam pada jam 20.00.
Temperatur udara berkisar antara 23-34 derajat celcius dengan kelembapan (humidity) yang rendah. Artinya, meskipun
cuaca panas menyengat namun tubuh tidak mudah berkeringat. Kelembaban tinggi
menyebabkan mudahnya tubuh mengeluarkan keringat seperti yang dialami oleh
masyarakat Indonesia sehingga lebih sering mandi dibandingkan masyarakat di
benua Eropa yang kelembapannya rendah. Sebagai informasi tambahan, kata ‘mandi’
sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris karena hanya ada dua penjelasan
membersihkan diri dalam bahasa Inggris yaitu take a shower alias membersihkan diri di bawah pancuran atau take a bath alias berendam. Padahal
implementasi ‘mandi’ dalam masyarakat Indonesia tidak termasuk keduanya karena
mandi ala Indonesia pada umumnya menggunakan gayung untuk mengambil air dari
bak mandi dan menyiramkan ke sekujur tubuh. 
Jadi, budaya mandi ala Indonesia sebenarnya adalah sesuatu yang unik.

Pada bulan-bulan yang masuk dalam musim panas ini, masyarakat Eropa
banyak mengambil liburan karena momen untuk dapat menikmati matahari dan
berjemur hanya berlangsung pendek dalam setahun. Dengan demikian, tidak
mengherankan bila sun (matahari), sand (pasir) dan sea (laut/pantai) masih menjadi faktor utama bagi berkembangnya
destinasi wisata yang dicari sebagian besar masyarakat Eropa. Dengan waktu yang
terbatas, maka tentu saja masyarakat Eropa pada jaman dulu tidak membuang waktu
untuk pergi ke Negara-Negara di Asia dan lebih banyak memilih ke destinasi
terdekat seperti di Negara Spanyol dan Yunani yang juga dikenal sebagai tempat
liburan wisatawan Eropa. Secara implisit terlihat bahwa ada biaya psikologis
selain biaya finansial yang dipertimbangkan oleh wisatawan seperti jarak
tempuh, informasi dan pelayanan yang diberikan. Namun demikian, dengan kemajuan
teknologi maka durasi perjalanan semakin cepat sehingga ada kemungkinan
wisatawan Eropa menjelajah ke benua Asia untuk mencari pengalaman berbeda.
Selain itu, teknologi juga membantu wisatawan mendapatkan lebih banyak
informasi seperti kejelasan rute perjalanan, alternatif transportasi bahkan
sampai memberikan terjemahan bahasa di negara tujuan sehingga memudahkan
wisatawan menikmati perjalanan.

Oleh karena itu, perkembangan teknologi sangat memberikan andil dalam
membantu berkembangnya sebuah destinasi wisata. Asalkan destinasi wisata yang
ditawarkan memiliki nilai keunggulan standar yaitu sea, sun dan sand maka
ada kemungkinan destinasi tersebut tetap dapat bersaing dengan destinasi wisata
di luar Benua Eropa. Namun, bagaimana dengan destinasi wisata yang jauh dari
benua Eropa dan tidak memiliki nilai keunggulan standar di atas? Tentu saja
destinasi tersebut masih memiliki kesempatan meskipun upaya yang dikeluarkan
lebih banyak. Porter (2008) mengatakan bahwa sebuah produk pasti memiliki
peluang untuk digantikan dengan produk lain yang bisa menjadi ancaman bagi
produk utama (substitute product).
Kesempatan untuk menampilkan keunikan sebuah destinasi wisata yang memiliki
keunggulan standar anti-mainstream
inilah yang harus diekspos. Sebagai contoh, Pulau Kalimantan yang secara
internasional dinamakan Pulau Borneo dikenal memiliki keanekaragaman hayati
terbesar di dunia dimana berdiri beberapa taman nasional yang dimiliki
Indonesia antara lain yang berada di Kalimantan Tengah yaitu Taman Nasional
Tanjung Puting, Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit
Raya. Keberadaan taman nasional tersebut tentunya dapat menjadi pesaing bagi
destinasi wisata yang mengandalkan nilai keunggulan standar baik di Eropa
maupun di destinasi wisata lain di Indonesia.

Baca Juga :  Penderita ISPA Tercatat Sebanyak 3.394 Orang

Namun sayangnya, definisi taman nasional di Indonesia berbeda dengan
definisi di Negara Eropa sehingga perlu kiranya wisatawan memahami bagaimana
perbedaan tersebut. Beberapa literatur menyampaikan bahwa pengelolaan taman
nasional di Indonesia adalah sebagai kawasan konservasi sehingga harus jauh
dari sentuhan manusia. Sebaliknya, kawasan taman nasional di Eropa (Inggris)
seperti di Lake District adalah kawasan yang berpenghuni dengan suasana
pedesaan yang dekat dengan danau (seperti Danau Toba di Sumatera atau Sarangan
di Jawa Timur) dimana kawasan tersebut menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat
perkotaan pada hari libur. Oleh karena itu, informasi tentang perbedaan taman
nasional di Indonesia (yang menganut prinsip konservasi tanpa campur tangan
manusia) wajib diketahui wisatawan Eropa untuk menghindari ekspektasi berlebih,
meskipun, saat ini telah ada kebijakan untuk membuka sebagian wilayah di taman
nasional sebagai areal pemanfaatan untuk melakukan kegiatan ekowosata.
Pengalaman saya mengunjungi beberapa taman nasional menunjukkan bahwa
masing-masing taman nasional berusaha mengekspos keunikan yang dimiliki seperti
memperkenalkan sebagai taman nasional terluas di dunia yaitu Taman Nasional Northeast
Greenland luas 972 ribu km2; taman nasional terkecil di dunia yaitu
Taman Nasional Elbo Beach di Bermuda luas 200 m2; taman nasional
tertinggi yaitu Puncak Everest dengan ketinggian 8.848 m; dan taman nasional
terdalam di Grand Canyon dengan kedalaman 1.828 m (Rhama, 2017).

Pada intinya, sebuah destinasi wisata harus memberikan keunikan yang
bernilai bagi wisatawan. Kembali pada contoh taman nasional di atas, maka
apabila Taman Nasional Tanjung Puting sudah memiliki keunikan dengan orang
utannya maka keunikan itu harus diekspos terus menerus secara bertanggung jawab
atau dengan konsep keberlanjutan. Demikian juga nantinya dengan Taman Nasional
Sebangau dan Bukit Raya Bukit Baka juga memerlukan sebuah identitas sehingga
mudah dikenali. Namun melihat paradigma manajemen taman nasional di Indonesia
(konservasi tanpa campur tangan manusia), maka diperlukan alternatif destinasi
pariwisata bagi mass tourism
(pariwisata masal) sehingga dapat menghindarkan kerusakan lingkungan langsung
pad ataman nasional itu sendiri.

Baca Juga :  Percepat Program Pemulihan Ekonomi

Alternatif destinasi pariwisata dapat diarahkan pada pembangunan kawasan
sungai di tengah kota sebagai destinasi wisata unggulan dengan kemampuan story telling, ramah pejalan kaki dan
menggunakan konsep slow travel,
seperti di salah satu sungai di Eropa yaitu Sungai Danube di Budapest Hongaria
yang sempat dikunjungi penulis saat menjadi pembicara di Konferensi
Internasional Pariwisata. Dari beberapa wilayah di Kalimantan Tengah,
sebenarnya ada beberapa sungai yang dapat dimaksimalkan sebagai destinasi
wisata yang sesuai dengan selera wisatawan Eropa antara lain Sungai Kahayan di
Kota Palangka Raya, Sungai Arut di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Sungai
Kapuas di Kabupaten Kapuas. Pada umumnya, kondisi daerah sungai serupa dengan
destinasi wisata countryside yang
tetap mengandalkan alam, kenikmatan lingkungan dan interaksi dengan masyarakat
lokal.

Pembangunan kawasan sungai yang dikenal sexy dengan nama waterfront
juga harus dapat mengeluarkan kemampuan impulse
buying
atau mampu menggoda wisatawan untuk membeli produk pendukung
disekitar kawasan seperti pertokoan, restoran, penginapan, tempat spot selfie atau produk-produk lokal yang
ditawarkan penduduk setempat. Oleh karena itu perlu kiranya menyediakan sarana
pejalan kaki (board walk) di
sepanjang sungai untuk mengakomodir konsep slow
travel
sehingga pengunjung memiliki kesempatan untuk menikmati atmosfer
lokal. Hal ini memiliki tujuan agar kawasan dapat digunakan sebagai sarana
implementasi selera wisatawan Eropa dalam menikmati proses perjalanan menuju ke
destinasi utama.

Selain itu penting juga selalu memberikan inovasi ataupun menawarkan
sesuatu yang baru bagi wisatawan secara kontinyu karena konsep daya tarik
pariwisata adalah menawarkan sebuah pengalaman yang berbeda sehingga ‘no retain buyer unless you deliver
something new’
atau tidak akan ada pembeli yang datang berulang kali
kecuali ada sesuatu yang baru untuk diberikan. Yang tidak kalah pentingnya
dalam era digital ini, bentuk testimoni ataupun review sangat diperlukan karena
sifatnya real time untuk dapat
menunjang promosi sebuah destinasi wisata. Namun demikian, kembali lagi pada
konsep dasar pengembangan destinasi wisata, baik untuk konsumsi lokal maupun
mancanegara bahwa akses, atraksi, ameniti (3A) ditambah dengan konsistensi dan
komitmen (2K) telah menjadi roh wisata yang tidak dapat dikesampingkan.

Salam Pariwisata!…

(Praktisi dan Akademisi Pariwisata FISIP Universitas Palangka Raya)

 

Beberapa hari lalu saya baru saja mengunjungi beberapa Negara di Eropa
khususnya di Eropa Tengah yaitu Budapest, Austria dan Swiss. Saat itu, pada
bulan Juli-Agustus, Negara Eropa mengalami musim panas dengan matahari bersinar
lebih dari 12 jam atau terbit jam 06.00 pagi dan tenggelam pada jam 20.00.
Temperatur udara berkisar antara 23-34 derajat celcius dengan kelembapan (humidity) yang rendah. Artinya, meskipun
cuaca panas menyengat namun tubuh tidak mudah berkeringat. Kelembaban tinggi
menyebabkan mudahnya tubuh mengeluarkan keringat seperti yang dialami oleh
masyarakat Indonesia sehingga lebih sering mandi dibandingkan masyarakat di
benua Eropa yang kelembapannya rendah. Sebagai informasi tambahan, kata ‘mandi’
sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris karena hanya ada dua penjelasan
membersihkan diri dalam bahasa Inggris yaitu take a shower alias membersihkan diri di bawah pancuran atau take a bath alias berendam. Padahal
implementasi ‘mandi’ dalam masyarakat Indonesia tidak termasuk keduanya karena
mandi ala Indonesia pada umumnya menggunakan gayung untuk mengambil air dari
bak mandi dan menyiramkan ke sekujur tubuh. 
Jadi, budaya mandi ala Indonesia sebenarnya adalah sesuatu yang unik.

Pada bulan-bulan yang masuk dalam musim panas ini, masyarakat Eropa
banyak mengambil liburan karena momen untuk dapat menikmati matahari dan
berjemur hanya berlangsung pendek dalam setahun. Dengan demikian, tidak
mengherankan bila sun (matahari), sand (pasir) dan sea (laut/pantai) masih menjadi faktor utama bagi berkembangnya
destinasi wisata yang dicari sebagian besar masyarakat Eropa. Dengan waktu yang
terbatas, maka tentu saja masyarakat Eropa pada jaman dulu tidak membuang waktu
untuk pergi ke Negara-Negara di Asia dan lebih banyak memilih ke destinasi
terdekat seperti di Negara Spanyol dan Yunani yang juga dikenal sebagai tempat
liburan wisatawan Eropa. Secara implisit terlihat bahwa ada biaya psikologis
selain biaya finansial yang dipertimbangkan oleh wisatawan seperti jarak
tempuh, informasi dan pelayanan yang diberikan. Namun demikian, dengan kemajuan
teknologi maka durasi perjalanan semakin cepat sehingga ada kemungkinan
wisatawan Eropa menjelajah ke benua Asia untuk mencari pengalaman berbeda.
Selain itu, teknologi juga membantu wisatawan mendapatkan lebih banyak
informasi seperti kejelasan rute perjalanan, alternatif transportasi bahkan
sampai memberikan terjemahan bahasa di negara tujuan sehingga memudahkan
wisatawan menikmati perjalanan.

Oleh karena itu, perkembangan teknologi sangat memberikan andil dalam
membantu berkembangnya sebuah destinasi wisata. Asalkan destinasi wisata yang
ditawarkan memiliki nilai keunggulan standar yaitu sea, sun dan sand maka
ada kemungkinan destinasi tersebut tetap dapat bersaing dengan destinasi wisata
di luar Benua Eropa. Namun, bagaimana dengan destinasi wisata yang jauh dari
benua Eropa dan tidak memiliki nilai keunggulan standar di atas? Tentu saja
destinasi tersebut masih memiliki kesempatan meskipun upaya yang dikeluarkan
lebih banyak. Porter (2008) mengatakan bahwa sebuah produk pasti memiliki
peluang untuk digantikan dengan produk lain yang bisa menjadi ancaman bagi
produk utama (substitute product).
Kesempatan untuk menampilkan keunikan sebuah destinasi wisata yang memiliki
keunggulan standar anti-mainstream
inilah yang harus diekspos. Sebagai contoh, Pulau Kalimantan yang secara
internasional dinamakan Pulau Borneo dikenal memiliki keanekaragaman hayati
terbesar di dunia dimana berdiri beberapa taman nasional yang dimiliki
Indonesia antara lain yang berada di Kalimantan Tengah yaitu Taman Nasional
Tanjung Puting, Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit
Raya. Keberadaan taman nasional tersebut tentunya dapat menjadi pesaing bagi
destinasi wisata yang mengandalkan nilai keunggulan standar baik di Eropa
maupun di destinasi wisata lain di Indonesia.

Baca Juga :  Penderita ISPA Tercatat Sebanyak 3.394 Orang

Namun sayangnya, definisi taman nasional di Indonesia berbeda dengan
definisi di Negara Eropa sehingga perlu kiranya wisatawan memahami bagaimana
perbedaan tersebut. Beberapa literatur menyampaikan bahwa pengelolaan taman
nasional di Indonesia adalah sebagai kawasan konservasi sehingga harus jauh
dari sentuhan manusia. Sebaliknya, kawasan taman nasional di Eropa (Inggris)
seperti di Lake District adalah kawasan yang berpenghuni dengan suasana
pedesaan yang dekat dengan danau (seperti Danau Toba di Sumatera atau Sarangan
di Jawa Timur) dimana kawasan tersebut menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat
perkotaan pada hari libur. Oleh karena itu, informasi tentang perbedaan taman
nasional di Indonesia (yang menganut prinsip konservasi tanpa campur tangan
manusia) wajib diketahui wisatawan Eropa untuk menghindari ekspektasi berlebih,
meskipun, saat ini telah ada kebijakan untuk membuka sebagian wilayah di taman
nasional sebagai areal pemanfaatan untuk melakukan kegiatan ekowosata.
Pengalaman saya mengunjungi beberapa taman nasional menunjukkan bahwa
masing-masing taman nasional berusaha mengekspos keunikan yang dimiliki seperti
memperkenalkan sebagai taman nasional terluas di dunia yaitu Taman Nasional Northeast
Greenland luas 972 ribu km2; taman nasional terkecil di dunia yaitu
Taman Nasional Elbo Beach di Bermuda luas 200 m2; taman nasional
tertinggi yaitu Puncak Everest dengan ketinggian 8.848 m; dan taman nasional
terdalam di Grand Canyon dengan kedalaman 1.828 m (Rhama, 2017).

Pada intinya, sebuah destinasi wisata harus memberikan keunikan yang
bernilai bagi wisatawan. Kembali pada contoh taman nasional di atas, maka
apabila Taman Nasional Tanjung Puting sudah memiliki keunikan dengan orang
utannya maka keunikan itu harus diekspos terus menerus secara bertanggung jawab
atau dengan konsep keberlanjutan. Demikian juga nantinya dengan Taman Nasional
Sebangau dan Bukit Raya Bukit Baka juga memerlukan sebuah identitas sehingga
mudah dikenali. Namun melihat paradigma manajemen taman nasional di Indonesia
(konservasi tanpa campur tangan manusia), maka diperlukan alternatif destinasi
pariwisata bagi mass tourism
(pariwisata masal) sehingga dapat menghindarkan kerusakan lingkungan langsung
pad ataman nasional itu sendiri.

Baca Juga :  Percepat Program Pemulihan Ekonomi

Alternatif destinasi pariwisata dapat diarahkan pada pembangunan kawasan
sungai di tengah kota sebagai destinasi wisata unggulan dengan kemampuan story telling, ramah pejalan kaki dan
menggunakan konsep slow travel,
seperti di salah satu sungai di Eropa yaitu Sungai Danube di Budapest Hongaria
yang sempat dikunjungi penulis saat menjadi pembicara di Konferensi
Internasional Pariwisata. Dari beberapa wilayah di Kalimantan Tengah,
sebenarnya ada beberapa sungai yang dapat dimaksimalkan sebagai destinasi
wisata yang sesuai dengan selera wisatawan Eropa antara lain Sungai Kahayan di
Kota Palangka Raya, Sungai Arut di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Sungai
Kapuas di Kabupaten Kapuas. Pada umumnya, kondisi daerah sungai serupa dengan
destinasi wisata countryside yang
tetap mengandalkan alam, kenikmatan lingkungan dan interaksi dengan masyarakat
lokal.

Pembangunan kawasan sungai yang dikenal sexy dengan nama waterfront
juga harus dapat mengeluarkan kemampuan impulse
buying
atau mampu menggoda wisatawan untuk membeli produk pendukung
disekitar kawasan seperti pertokoan, restoran, penginapan, tempat spot selfie atau produk-produk lokal yang
ditawarkan penduduk setempat. Oleh karena itu perlu kiranya menyediakan sarana
pejalan kaki (board walk) di
sepanjang sungai untuk mengakomodir konsep slow
travel
sehingga pengunjung memiliki kesempatan untuk menikmati atmosfer
lokal. Hal ini memiliki tujuan agar kawasan dapat digunakan sebagai sarana
implementasi selera wisatawan Eropa dalam menikmati proses perjalanan menuju ke
destinasi utama.

Selain itu penting juga selalu memberikan inovasi ataupun menawarkan
sesuatu yang baru bagi wisatawan secara kontinyu karena konsep daya tarik
pariwisata adalah menawarkan sebuah pengalaman yang berbeda sehingga ‘no retain buyer unless you deliver
something new’
atau tidak akan ada pembeli yang datang berulang kali
kecuali ada sesuatu yang baru untuk diberikan. Yang tidak kalah pentingnya
dalam era digital ini, bentuk testimoni ataupun review sangat diperlukan karena
sifatnya real time untuk dapat
menunjang promosi sebuah destinasi wisata. Namun demikian, kembali lagi pada
konsep dasar pengembangan destinasi wisata, baik untuk konsumsi lokal maupun
mancanegara bahwa akses, atraksi, ameniti (3A) ditambah dengan konsistensi dan
komitmen (2K) telah menjadi roh wisata yang tidak dapat dikesampingkan.

Salam Pariwisata!…

(Praktisi dan Akademisi Pariwisata FISIP Universitas Palangka Raya)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru