25 C
Jakarta
Wednesday, April 16, 2025

Terbit, Telat

Harian DI’s Way edisi pertama terbit.
Tanggal 4 Juli kemarin. Telat. Dari jadwal. Lebih cepat. Dari skenario
terburuk. Soal telatnya itu penjelasannya bisa panjang. Intinya: persiapan yang
kurang matang. Di bagian apanya?

Di semua bagian.

Kenapa tidak dimatangkan dulu?

Itulah juga pertanyaan kami semua.

Jawabnya ternyata penuh canda: Kalau tunggu matang bisa jadi
baru setahun lagi  terbit. Keburu Covid-19-nya lewat. Bukankah terbitnya Harian DI’s Way untuk menandai bencana
terbesar abad ini: Covid-19?

Apa hubungannya dengan Covid-19?

Tidak ada. Tapi alasan itu harus dicari –kalau perlu
dicari-cari.

Yang penting Harian DI’s
Way
 jadi terbit kemarin –tepat di hari kemerdekaan Amerika Serikat.
Semoga Donald Trump puas.

Apa hubungannya dengan Trump?

Juga tidak ada.

Ini jawaban yang lebih serius: Pilihan jenis kertas yang dipakai Harian DI’s Way. Kertas seperti ini
–cobalah raba sekali lagi– memang tidak umum: licin dan lembut.

Bagi yang di luar Surabaya –yang tidak bisa menyentuh fisik Harian DI’s Way — rabalah pantat bayi.
Seperti itulah sensasinya.

Secara teknis kertas seperti itu banyak mengandung 
kesulitan. Belum ada harian di Indonesia yang berani menggunakan jenis kertas
ini. Misalnya ketika halaman depan Harian
DI’s Way
 dibuat seperti itu. Blok warna hitamnya itu pekat dan
dominan. Ternyata itu sangat menyulitkan untuk jenis kertas istimewa ini.
Terlalu banyak tinta di halaman itu. Akibatnya sering lengket di peralatan
mesin cetak.

Apalagi memang baru sekali ini mesin cetak yang sebenarnya
modern itu mendapat ”jenis makanan” Eropa seperti ini. Masih belum terbiasa.
Sedikit mules-mules.

Baca Juga :  Sebagai Aset Daerah, Hotel Dandang Tingang Harus Dibenahi

Tapi kami tidak menyerah: Akan terus menggunakan kertas yang
tidak lazim ini –untuk harian. Agar sesuai dengan kredo ‘ini bukan koran’.
Bukan hanya itu. Juga ada alasan jangka panjangnya.

Kami yakin dalam satu-dua minggu percetakan sudah akan bisa
mengatasinya. Ini memang seperti perawan. Harus dibiasakan dulu.

Penyebab lainnya: Semua penata halaman memang pemula. Anak-anak
sangat muda. Belum pernah ada yang bekerja di koran. Bahkan tidak ada yang
pernah berlangganan koran.

Tapi itu bukan alasan. Mereka bisa belajar dengan cepat. Tidak
lama lagi mereka bisa mengatasi “semua masalah baru”. Mereka
pembelajar yang cepat.

Demikian juga wartawan-wartawan kami. Serba baru. Hanya
pengendali di redaksi yang sudah sangat berpengalaman di media cetak. Lihatlah
daftar nama mereka di halaman 9 itu.

Hemmm…

Telat tapi terbit. Terbit tapi telat. Untung kami ini Harian DI’s Way. Bukan, misalnya, hehe,
Harian pagi DI’s Way…

Kami memang harus tetap bisa bercanda. Di tengah stres tertinggi
sekali pun. Pun di tengah malam menjelang pagi seperti ini.

Bahkan sambil duduk di tumpukan kertas sekali pun, saya bisa
menulis artikel ini. Sambil menunggu Harian
DI’s Way
 dicetak. Azan subuh pun terdengar. Masih lama lagi cetakan ini  selesai.

Saya sudah mengira akan ada kejadian seperti ini. Pun kalau
persiapannya lebih matang. Karena itu saya membawa obat ke percetakan. Yang
harus di minum jam 4 pagi. Tapi saya tidak bisa membawa sarapan. Pukul 4.30
saya minta istri mengirimkan madu, telur rebus, dan jus jambu biji.

Baca Juga :  Kualitas Udara di Palangka Raya Berbahaya

Saya pun menuju mobil yang parkir di pinggir jalan –di luar
percetakan. Saya sempatkan sarapan empat menu itu di dalam mobil. Itulah menu
rutin sarapan saya selama Covid-19: madu, telur rebus dua biji, jus jambu biji,
dan pisang. Setiap hari.

Usai sarapan kembali melihat orang bekerja. Yang juga sepanjang
malam qiyamul-lail.

“Besok tidak boleh telat lagi,” itulah tekad semua
orang di redaksi. Juga di penata halaman.

Mereka yakin separo ‘kesalahan-kesalahan-pertama’ tidak akan
terjadi lagi. Berarti, kata saya, masih ada separo ‘kesalahan-kesalahan pertama
ditambah sisa-sisa kesalahan kedua’.

Bagaimana dengan penampilan fisiknya?

Rasanya ‘banyak kesalahan pertama ada di situ’. Saya akan
menjiplak moto restoran Padang: Kalau Anda puas beritahulah teman-teman, kalau
Anda tidak puas beritahu lah kami –maksudnya jangan bully kami
secara bisik-bisik maupun secara medsos.

Kalau pun itu terjadi juga apa boleh buat.

Bagaimana saya sendiri? Puas?

Saya belum bisa mengemukakan pendapat. Saat menulis ini
setidaknya saya puas: Masih bisa tidak tidur sepanjang siang dan malam –
-seperti di hari-hari saya antara usia 30 sampai 45 tahun.

”Sudah lebih 20 tahun saya tidak sepanjang malam di
percetakan,” kata saya dalam hati. Saya kembali mencium bau tinta,
tumpukan-tumpukan kertas, plate, dan
warung pinggir jalan di kompleks industri.

Selebihnya hanya pasrah dan lebih banyak tawakal.(Dahlan Iskan)

 

Harian DI’s Way edisi pertama terbit.
Tanggal 4 Juli kemarin. Telat. Dari jadwal. Lebih cepat. Dari skenario
terburuk. Soal telatnya itu penjelasannya bisa panjang. Intinya: persiapan yang
kurang matang. Di bagian apanya?

Di semua bagian.

Kenapa tidak dimatangkan dulu?

Itulah juga pertanyaan kami semua.

Jawabnya ternyata penuh canda: Kalau tunggu matang bisa jadi
baru setahun lagi  terbit. Keburu Covid-19-nya lewat. Bukankah terbitnya Harian DI’s Way untuk menandai bencana
terbesar abad ini: Covid-19?

Apa hubungannya dengan Covid-19?

Tidak ada. Tapi alasan itu harus dicari –kalau perlu
dicari-cari.

Yang penting Harian DI’s
Way
 jadi terbit kemarin –tepat di hari kemerdekaan Amerika Serikat.
Semoga Donald Trump puas.

Apa hubungannya dengan Trump?

Juga tidak ada.

Ini jawaban yang lebih serius: Pilihan jenis kertas yang dipakai Harian DI’s Way. Kertas seperti ini
–cobalah raba sekali lagi– memang tidak umum: licin dan lembut.

Bagi yang di luar Surabaya –yang tidak bisa menyentuh fisik Harian DI’s Way — rabalah pantat bayi.
Seperti itulah sensasinya.

Secara teknis kertas seperti itu banyak mengandung 
kesulitan. Belum ada harian di Indonesia yang berani menggunakan jenis kertas
ini. Misalnya ketika halaman depan Harian
DI’s Way
 dibuat seperti itu. Blok warna hitamnya itu pekat dan
dominan. Ternyata itu sangat menyulitkan untuk jenis kertas istimewa ini.
Terlalu banyak tinta di halaman itu. Akibatnya sering lengket di peralatan
mesin cetak.

Apalagi memang baru sekali ini mesin cetak yang sebenarnya
modern itu mendapat ”jenis makanan” Eropa seperti ini. Masih belum terbiasa.
Sedikit mules-mules.

Baca Juga :  Sebagai Aset Daerah, Hotel Dandang Tingang Harus Dibenahi

Tapi kami tidak menyerah: Akan terus menggunakan kertas yang
tidak lazim ini –untuk harian. Agar sesuai dengan kredo ‘ini bukan koran’.
Bukan hanya itu. Juga ada alasan jangka panjangnya.

Kami yakin dalam satu-dua minggu percetakan sudah akan bisa
mengatasinya. Ini memang seperti perawan. Harus dibiasakan dulu.

Penyebab lainnya: Semua penata halaman memang pemula. Anak-anak
sangat muda. Belum pernah ada yang bekerja di koran. Bahkan tidak ada yang
pernah berlangganan koran.

Tapi itu bukan alasan. Mereka bisa belajar dengan cepat. Tidak
lama lagi mereka bisa mengatasi “semua masalah baru”. Mereka
pembelajar yang cepat.

Demikian juga wartawan-wartawan kami. Serba baru. Hanya
pengendali di redaksi yang sudah sangat berpengalaman di media cetak. Lihatlah
daftar nama mereka di halaman 9 itu.

Hemmm…

Telat tapi terbit. Terbit tapi telat. Untung kami ini Harian DI’s Way. Bukan, misalnya, hehe,
Harian pagi DI’s Way…

Kami memang harus tetap bisa bercanda. Di tengah stres tertinggi
sekali pun. Pun di tengah malam menjelang pagi seperti ini.

Bahkan sambil duduk di tumpukan kertas sekali pun, saya bisa
menulis artikel ini. Sambil menunggu Harian
DI’s Way
 dicetak. Azan subuh pun terdengar. Masih lama lagi cetakan ini  selesai.

Saya sudah mengira akan ada kejadian seperti ini. Pun kalau
persiapannya lebih matang. Karena itu saya membawa obat ke percetakan. Yang
harus di minum jam 4 pagi. Tapi saya tidak bisa membawa sarapan. Pukul 4.30
saya minta istri mengirimkan madu, telur rebus, dan jus jambu biji.

Baca Juga :  Kualitas Udara di Palangka Raya Berbahaya

Saya pun menuju mobil yang parkir di pinggir jalan –di luar
percetakan. Saya sempatkan sarapan empat menu itu di dalam mobil. Itulah menu
rutin sarapan saya selama Covid-19: madu, telur rebus dua biji, jus jambu biji,
dan pisang. Setiap hari.

Usai sarapan kembali melihat orang bekerja. Yang juga sepanjang
malam qiyamul-lail.

“Besok tidak boleh telat lagi,” itulah tekad semua
orang di redaksi. Juga di penata halaman.

Mereka yakin separo ‘kesalahan-kesalahan-pertama’ tidak akan
terjadi lagi. Berarti, kata saya, masih ada separo ‘kesalahan-kesalahan pertama
ditambah sisa-sisa kesalahan kedua’.

Bagaimana dengan penampilan fisiknya?

Rasanya ‘banyak kesalahan pertama ada di situ’. Saya akan
menjiplak moto restoran Padang: Kalau Anda puas beritahulah teman-teman, kalau
Anda tidak puas beritahu lah kami –maksudnya jangan bully kami
secara bisik-bisik maupun secara medsos.

Kalau pun itu terjadi juga apa boleh buat.

Bagaimana saya sendiri? Puas?

Saya belum bisa mengemukakan pendapat. Saat menulis ini
setidaknya saya puas: Masih bisa tidak tidur sepanjang siang dan malam –
-seperti di hari-hari saya antara usia 30 sampai 45 tahun.

”Sudah lebih 20 tahun saya tidak sepanjang malam di
percetakan,” kata saya dalam hati. Saya kembali mencium bau tinta,
tumpukan-tumpukan kertas, plate, dan
warung pinggir jalan di kompleks industri.

Selebihnya hanya pasrah dan lebih banyak tawakal.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru