Site icon Prokalteng

Drone Qassem

drone-qassem

Tahun baru adalah terusan tahun
lama. Setidaknya di Hongkong dan Irak. Demo lama berlangsung terus. Pun di awal
tahun 2020. Demo di

Irak juga terus berseri.

Yang di Irak lebih
berdarah-darah. Peran Amerika lebih nyata. Sampai mengirim drone –untuk
membunuh jendral penting Iran. Yang malam itu baru mendarat di Bandara Baghdad:
Mayjen Qassem Sulaemani.

Ini juga bukti bahwa drone kian
mengambil alih manusia. Pesawat tempur kian tidak diperlukan.

Pemberontak pun sudah menggunakan
drone. Seperti yang dilakukan pejuang Houti di Yaman. Untuk menyerang pusat
pengolahan minyak Arab Saudi di dekat Dahran. Tahun lalu.

Iran dituduh berada di balik
Houti –lewat Qassem Sulaemani.

Iran pernah juga menembak jatuh
drone Amerika di dekat selat Hormuz. Itulah drone mata-mata Amerika.

Kini Jendral Qassem dibunuh
dengan drone.

Drone dibalas dengan drone.

Tanpa Iran bisa menjatuhkan drone
Amerika kali ini.

Maka banyak yang penasaran: dari
mana drone pembunuh Qassem diterbangkan.

Drone itu tidak mungkin mampu
terbang dari Amerika ke Baghdad. Kemampuan terbangnya 1.200 Km.

Tapi kemampuan persenjataannya
menakutkan. Termasuk kemampuan mendeteksi sasaran. Pun dari ketinggian 25.000
kaki –batas ketinggian MQ-9.

Nama lengkapnya: American MQ-9
Reaper. Permanen nyawa.

Jadi, tidak mungkin drone itu
diterbangkan dari Amerika. Katakanlah CIA tahu bahwa Qassem akan mendarat di
Bandara Baghdad malam itu. Tapi CIA tentu baru mengetahuinya satu atau dua jam
sebelumnya. Yakni saat pesawat khusus yang ditumpangi Qassem berangkat dari
salah satu pangkalan udara di Syiria.

Memang CIA terus mengikuti ke
mana saja Qassem bergerak. CIA tahu di mana Qassem pada jam itu, menit itu,
detik itu.

Tapi terlalu maha tahu kalau CIA
sampai tahu akan ke mana Qassem dalam enam jam ke depan.

Atau Qassem yang sudah kelewat
percaya diri.

Qassem memang selalu percaya
diri. Sering tampil di lapangan terbuka. Sering memberi pengarahan di depan
umum.

Tapi terlalu percaya diri kalau
jadwal ke Baghdad malam itu tidak dirahasiakan secara ketat. Padahal situasi di
Baghdad lagi panas. Demo anti Amerika dibalas demo anti Iran. Atau sebaliknya.

Yang anti Amerika tidak sekedar
demo. Juga menggunakan senjata berat. Seorang pengusaha kontraktor Amerika
mati.

Ketika drone Amerika dijatuhkan
Iran, Presiden Trump didesak untuk menyerang Iran.

Penyerangan sudah direncanakan
dengan matang. Trump juga sudah setuju.

Tiba-tiba Trump bertanya: berapa
yang akan mati akibat serangan itu.

“Sekitar 150 orang,”
jawab Pentagon.

Tentara pun sudah disiapkan. Jam
dimulainya serangan sudah ditentukan. Mendadak Trump membatalkannya. Korban 150
itu terlalu banyak. Padahal drone yang ditembak jatuh tidak berisi manusia.

Bisa saja dunia menjadi tidak
simpati pada Amerika. Bisa juga berakibat perang sungguhan.

Trump tidak mau perang melawan
Iran.

Kekecewaan di kalangan militer
sangat terasa. John Bolton mengundurkan diri dari jabatan penasihat keamanan
nasional.

Kini ada nyawa Amerika yang
hilang. Kontraktor tadi.

Maka Trump kali ini menyetujui
serangan pada sasaran Iran.

Waktu itu Trump lagi main golf di
Florida. Di dekat istana peristirahatannya, Mar-a-Lago. Ia berhenti sebentar.
Untuk mendengarkan rencana serangan drone itu. Dengan sasaran Jenderal Qassem.

Kali ini Trump langsung setuju
serangan dimulai.

CIA dengan mudah menemukan posisi
Qassem: akan terbang menuju Bandara Baghdad.

Maka drone MQ-9 Reaper
diterbangkan ke arah sasaran. Tanpa bisa dideteksi.

Tanggal 2 Januari 2020 baru saja
lewat. Tengah malam mulai lingsir wengi. Berarti hari sudah berganti. Sudah
masuk dini hari tanggal 3 Januari.

Pesawat militer yang ditunggu
mendarat di Baghdad. Konvoi mobil meninggalkan bandara. Dua drone MQ-9 Reaper
siap memanen hasil.

Satu drone menembak kan senjata.
Tepat sasaran. Mengenai mobil Qassem. Tewas.

Benarkah itu Jenderal Qassem?

Benar. Terbukti dari cincin yang
dikenakan di jarinya. Test DNA akan menyusul.

Di waktu yang bersamaan drone
satunya juga melepaskan senjata. Mengenai mobil di belakangnya. Berisi komandan
pasukan milisi Irak yang didukung Qassem: Abu Mahdi al-Muhandis. Ia adalah
pimpinan tentara Syiah Irak dari kelompok Kataib Hezbollah.

Jadi, dari mana dua drone itu
diterbangkan?

Hampir pasti bulan dari Amerika.
Pilihannya tinggal 4: dari Israel, dari Kuwait, dari Qatar, atau dari Emirat.
Jarak tempuh dari empat lokasi itu sekitar 2 jam.

Kalau benar dari Israel tidak
perlu dipertanyakan lagi. Sikap Israel jelas: anti Iran. Bahkan Israel selalu
memprovokasi Amerika agar segera menyerang Iran.

Israel menganggap Iran adalah
ancaman terbesarnya saat ini. Bersama Sekutu Iran lainnya: Lebanon dan Syiria.

Secara resmi Lebanon masih dalam
status perang melawan Israel. Waktu saya di Lebanon –dekat perbatasan dengan
Israel– tahun lalu ditemukan terowongan baru di bawah tanah. Dari wilayah
Lebanon selatan ke wilayah Israel utara.

Itulah terowongan untuk mengirim
pejuang Lebanon masuk ke Israel.

Bahkan Carlos Ghosn yang kini
berada di persembunyian di Lebanon tidak sepenuhnya aman. Ada kelompok ekstrim
yang mengincarnya. Hanya karena Ghosn pernah melakukan kunjungan ke Israel.

Padahal itu 10 tahun lalu. Saat
Ghosn menjadi CEO Renault –perusahaan mobil terbesar Prancis. Ghosn ingin
memasarkan Renault di Israel.

Syiria juga musuh utama Israel.
Wilayahnya yang luas di pegunungan Golan dicaplok Israel. Saat Syiria kalah perang
di tahun 1967.

Setelah pembunuhan Jenderal
Qassem 3 Januari lalu, Israel tidak bicara apa pun. Agar tidak langsung menjadi
sasaran balas dendam Iran –meski Israel sudah siap untuk itu.

Rasanya tidak mungkin drone itu
dikirim dari negara Arab tadi.

Memang Amerika punya pangkalan
drone militer di tiga negara Arab tersebut.

Tapi resikonya terlalu besar. Itu
hanya akan memancing perang Teluk seri berikutnya. Yang akan mengguncangkan
ekonomi dunia.

Apalagi kemampuan militer tiga
negara tersebut amat minim –untuk bisa melawan Iran. Dan lagi Qatar adalah
sahabat Iran itu sendiri.

Hanya CIA yang tahu dari mana
sebenarnya dua drone itu diberangkatkan. Atau jangan-jangan hanya Ghosn yang
ikut tahu.

Pertanyaan lain: apakah dua drone
tersebut datang dari satu pangkalan atau dari stasiun yang berbeda.

Yang jelas dua-duanya sama: jenis
American MQ-9 Reaper. Itu drone buatan General Atomics Aeronautical Systems
(GA-ASI) Amerika. Yakni sebuah perusahaan swasta yang sahamnya sudah
dijual di pasar modal Wall Street New York.

Harga drone ini murah sekali: Rp
200 miliar per buah. Dibanding harga pesawat tempur sejenis F-35.

Jiwasraya bisa beli 20 buah
dengan uangnya yang Rp 13 triliun –untuk menembak siapa pun yang harus
dibidik.

Drone ini ukurannya hampir
sebesar pesawat tempur. Panjang sayapnya hampir 20 meter. Hanya bobotnya yang
ringan: 2,5 ton.

Perang modern sudah dimulai.
Ketepatan sasaran sudah begitu pasti. Tentara sudah digantikan artificial
intelligence
.

Drone itu dikendalikan dari jarak
ribuan kilometer. Remote control-nya ada di
dua wilayah: padang Nevada dan Virginia.

Entahlah dunia lebih aman atau
lebih kacau.(Dahlan Iskan)

 

Exit mobile version