Site icon Prokalteng

Narasi dan Komitmen Politik

Faizin

Faizin

DI kala memasuki tahun politik, kita sering mendengar janji manis berbagai program kerja kontestan politik. Bahkan, diumbar pula narasi propaganda untuk kepentingan satu golongan tertentu. Kondisi itu seolah menggambarkan narasi politik hanya dipahami sebagai olahan diksi yang tidak memiliki kontribusi terhadap pencapaian nilai-nilai politik yang hakiki.

Sayang, di berbagai peristiwa politik, narasi hanya dipandang sebagai alat untuk mencapai kekuasaan semata. Juga, menjadi sekadar alat untuk membangun citra positif demi meraih dukungan publik. Bahkan, narasi yang diproduksi itu cenderung sebatas pemulus atas strategi politik yang dilancarkan. Seolah narasi hanya sebatas perjuangan tekstual (pembicaraan/tulisan) agar satu isu diterima dan lainnya ditolak.

Lantas, apa sesungguhnya fungsi narasi dalam realitas politik semacam itu? Apakah narasi ini memang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sebuah peristiwa, sehingga narasi politik seolah bukan perwujudan perilaku yang harus terpenuhi dalam suatu peristiwa?

 

Narasi Tidak Hanya sebagai Agen Politik

Narasi dalam aspek kebahasaan dimaknai sebagai bentuk pengisahan terhadap peristiwa atau kejadian. Unsur terpenting dalam hal ini adalah perbuatan maupun tindakan yang terjadi dalam rangkaian waktu tertentu. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan narasi sebagai deskripsi suatu kejadian atau peristiwa.

Keraf (2007) mendefinisikan narasi sebagai wacana yang memiliki sasaran utama, yakni tindak dan tanduk sebuah peristiwa. Dengan begitu, narasi berhubungan dengan praktik sosial, budaya, kekuasaan, politik, dan ideologi.

ebagai praktik sosial, narasi berfungsi saling memengaruhi dengan aspek sosial. Dalam aspek kekuasaan, narasi itu menjadi alat untuk memengaruhi seseorang. Sedangkan narasi dalam aspek ideologi dan politik direpresentasikan sebagai bentuk pernyataan yang tidak hanya mencerminkan atau mempresentasikan, tapi juga harus mengonstruksi entitas.

Sehingga narasi tidak semata sebagai medium ideologi untuk memperebutkan kekuasaan. Dalam konteks ini, narasi memang sebagai agen politik. Tetapi, tidak hanya sebagai aparatus untuk memenangkan modal sosial (popularitas) semata.

Proses politik seharusnya dapat menarasikan berbagai konfliktual maupun perbedaan dalam bingkai keberadaban untuk menyokong visi politik yang terbaik. Sangat jelas bahwa narasi dalam politik ini tidak semata hanya sebagai perjuangan tekstual (pembicaraan/tulisan) untuk membuat hal-ihwal banyak diterima di ruang sosial. Akan tetapi, narasi seharusnya menjadi lumbung makna dalam peristiwa politik.

Sekaligus menjadi pabrik politik yang memproduksi aparatus untuk mengirimkan makna melalui tindakan maupun praktik positif sesuai tujuan politik nasional. Esensi tersebut jelas menggambarkan bahwa narasi tidak hanya pewacanaan diri sendiri untuk memenangkan modal sosial (popularitas) berupa expertition (otoritas sebagai ahli) yang menjadikan klaim kebenaran sendiri.

Jika kita kembalikan pada amanat UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pada Bab VI Pasal 10 diterangkan bahwa tujuan umum partai politik yakni mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sangat jelas bahwa segala bentuk upaya pelaksanaan politik itu bermuara pada kesejahteraan rakyat. Bukan golongan tertentu semata.

Dalam Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang kampanye pemilu pada Bab I Pasal 5 menyebut prinsip kampanye itu harus jujur, terbuka, dan dialogis. Dalam hal ini, dialogis merupakan bentuk kerangka pertarungan narasi politik yang harus bermuara terhadap pendidikan politik masyarakat yang bertanggung jawab.

Dengan demikian, narasi tidak menjadi agen ataupun aparatus modal sosial semata. Melainkan, sebentuk pewacanaan terhadap politik terbaik yang diwujudkan dengan berbagai realisasi program-program kemasyarakatan.

 

Spektrum Narasi

Narasi politik seharusnya menjadi polisi atas berbagai peristiwa politik yang asal-asalan sehingga kembali ke tatanan politik nasional untuk tetap dalam cita-cita utama, yakni menyejahterakan masyarakat. Selama ini, narasi politik hanya dijadikan sebagai skema tindak tutur (speech act) politik yang hadir sebagai ahli yang berorientasi terhadap sanjungan atau simpati publik.

Narasi politik selama ini bergeser menjadi perbincangan tekstualitas (lisan dan tulisan) yang hanya berimplikasi terhadap perebutan kekuasaan. Sehingga praktik maupun hasil dari narasi tersebut belum mendapat evaluasi maksimal. Nilai strategis narasi menjadi hilang manakala dalam prosesnya, kita hanya terhegemoni terhadap perebutan keberterimaan terhadap hal-ihwal sokongan golongan tertentu.

Shaul R. & Shenhav dalam penelitian berjudul Political Narratives and Political Reality menjelaskan, hubungan narasi politik dan realitas politik dapat berubah dalam perjalanannya. Perubahan itu merupakan bagian yang harus dimainkan oleh kontestan politik demi kesejahteraan, bukan kekuasaan.

Narasi politik harus dijadikan upaya untuk mewujudkan cita-cita mulia pelaksanaan politik yang menyejahterakan. Hal inilah yang akan membuat Indonesia menjadi negara mandiri tanpa intervensi Empire yang hanya akan menjadikan para aktor politik tersandera dalam dinamika perebutan kekuasaan.

Semoga dengan pemahaman proposisi narasi politik yang sesungguhnya ini dapat menjadikan para pelaku politik kita sadar bahwa berbagai cita-cita mulia seluruh kontestasi partai politik bermuara terhadap perilaku/aksi yang akan menyejahterakan masyarakat. (*)

 

*) FAIZIN, Dosen Prodi Bahasa Indonesia, Kepala Divisi Internasionalisasi Bahasa UMM

Exit mobile version