30.9 C
Jakarta
Sunday, January 5, 2025

Menyelamatkan Sawit Rakyat

SEJAK awal 1980-an, sawit menjadi primadona di mata semua pihak, baik
pengusaha, perusahaan negara, maupun masyarakat umum. Status sawit yang menjadi
komoditas perkebunan komersil ternyata terbukti mampu mencapai angka 17,8
miliar dolar AS atau setara Rp 231,4 triliun pada tahun 2020.

Angka tersebut merupakan
sumbangan sawit yang berasal dari lahan rakyat, belum dihitung dari angka yang
disumbangkan oleh perusahaan.

Melihat fakta ini, kemudian
dihubungkan dengan filosofi pemberdayaan lahan untuk kesejahteraan rakyat,
sawit menjadi salah satu tumbuhan produktif yang dapat diberdayakan untuk
memproduksi minyak nabati. Apabila dikelola dengan cara-cara yang
berkelanjutan, maka produktivitas tersebut tentunya akan menyokong seluruh
aspek, baik penerimaan negara, kesejahteraan masyarakat, maupun keberpihakan
terhadap konservasi lingkungan.

Pengelolaan ini tentu harus
diawali dengan memastikan legalitas lahan. Sebab, legalitas ini yang akan
menentukan sebuah lahan yang akan ditanami sawit tersebut, dibuka dan dikelola
secara clear and clean.

Problem ini yang hingga sekarang
belum dapat dituntaskan. Hingga saat ini masih banyak jejak permasalahan soal
legalitas lahan dan konflik sosial yang ditenggarai oleh masuknya perkebunan
sawit dalam kawasan hutan.

Penyebab dan Langkah Kebijakan

Masuknya lahan perkebunan sawit
ke dalam kawasan hutan disebabkan banyak faktor. Beberapa di antara penyebabnya
adalah buruknya tata kelola perizinan lahan, baik itu tidak efektifnya model
perizinan yang disebabkan oleh koordinasi lintas lembaga dalam menerbitkan dan
mengendalikan izin, maupun minimnya transparansi dalam operasionalisasinya.

Selain itu, okupasi tanah oleh
perusahaan sawit yang berlebihan mempersempit ruang kelola masyarakat terhadap
tanah. Akibatnya, tidak lagi atau sedikit lahan di kawasan areal penggunaan
lain (APL) yang tersisa untuk dikelola oleh masyarakat. Maka dari itu,
disamping peningkatkan produktivitas lahan, perlu ada upaya penjelasan terhadap
status kepemilikan lahan melalui evaluasi izin-izin yang sudah diterbitkan.

September 2018 menjadi momentum
pembenahan ini. Model pembenahan tersebut dituangkan dalam Instruksi Presiden
8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta
Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit). Inpres
ini bertujuan menata ulang perizinan perkebunan sawit untuk menciptakan
industri perkebunan sawit berkelanjutan, mencapai kepastian hukum, serta
menjaga lingkungan dan meningkatkan produktivitas sawit. Kebijakan ini disusul
dengan terbitnya Instruksi Presiden 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 dan Peraturan Presiden
44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
(Indonesian Sustainability Palm Oil/ISPO).

Baca Juga :  Blusukan di Pasar, Sugianto-Edy Pratowo Disambut Antusias Warga Kapuas

Kebijakan-kebijakan ini menjadi
paket kebijakan pemerintah untuk mewujudkan lahan sawit yang layak secara
ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Rentetan kebijakan ini dimulai dengan
pembenahan izin lahan sawit yang telah dikeluarkan pemerintah. Tujuannya, untuk
melihat luasan lahan yang telah memperoleh izin dengan luasan lahan sawit yang
dikelola oleh pelaku usaha.

Kemudian langkah ini dilanjutkan
dengan sikap pemerintah dengan menindaklanjuti perbedaan layer keduanya, apakah harus dilakukan pelepasan kawasan hutan
(PKH), tukar menukar kawasan hutan (TMKH), perhutanan sosial (PS), reforma
agraria (Tanah Obyek Reforma Agraria/TORA), atau penegakan hukum.

Akses Petani Swadaya

Apresiasi tentu harus disampaikan
untuk langkah pembenahan dan keberlanjutan yang dilakukan pemerintah. Tetapi
beberapa catatan tetap perlu disampaikan untuk pembenahan tata kelola sawit ke
depan.

 Catatan utama dari paket kebijakan ini
terletak kepada kemampuan petani swadaya untuk mengakses prosedur-prosedur
tersebut. Lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan tidak hanya dimiliki oleh
perusahaan, tetapi juga lahan yang dikuasai oleh petani swadaya. Fakta ini
tentunya akan menghambat semangat ISPO ataupun Rencana Aksi Nasional untuk
segera direalisasikan karena dasar operasi keduanya adalah legalitas lahan.

Maka dari itu, pelaku usaha,
terutama petani dintuntut untuk memiliki lahan yang legal. Apabila dirunut dari
periode awal izin sawit, petani terbatas pada akses legalisasi lahan. Peraturan
Menteri Pertanian 5/2019 tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian
mengharuskan pelaku usaha memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUO) dan Hak Guna
Usaha (HGU).

Keterbatasan akses tersebut
disebabkan oleh jalur birokrasi yang rumit, memakan waktu lama, serta cost finansial dan politik yang tinggi.
Dengan kata lain, petani berdiri sebagai pihak subordinat dibanding dengan
perusahaan yang telah mapan secara finansial, kelembagaan, ataupun relasi
politiknya.

Baca Juga :  Atasi Kekurangan Guru dengan GTT

Penguatan Political Will

Melihat minimnya potensi petani
swadaya untuk mengakses langkah prosedural semacam itu, maka diperlukan langkah
strategis pemerintah dalam mensinergikan lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk
bergerak di bidang perkebunan sawit. Beberapa lembaga itu di antaranya,
Kementerian Pertanian, Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit
(BPDP-KS), dan lembaga lain yang terkait.

Di sini pemerintah perlu keluar
dari kacamata struktural yang secara tidak langsung melimitasi pergerakan
pemerintah untuk mendampingi petani swadaya. Baik untuk menyelesaikan aspek
legal kepemilikan perkebunan maupun akses terhadap pendanaan untuk memperbaiki
kerangka aturan agar menjadi lebih progresif dan responsif.

Pemerintah juga perlu menekan desire (hasrat) untuk meningkatkan
pendapatan lokal dan mengedepankan aspek sinkronisasi dengan model tata kelola
sawit yang telah tersedia agar salah satu aspek sawit yang bekelanjutan pun
dapat terpenuhi.

Selain itu, Pemerintah juga perlu
memberikan tekanan kepada perusahaan perkebunan sawit untuk menjalankan
komitmen awalnya yang bersedia untuk mengalokasikan 20 persen luas lahan yang
dikuasainya kepada petani untuk dikelola.

Dengan begitu, petani yang
mulanya menggantungkan hidup kepada lahan hutan dengan cara yang ilegal bisa
dapat direduksi. Untuk mencegah terjadinya lahan yang ditelantarkan,
pengalokasian lahan tersebut dapat diprioritaskan kepada petani yang
benar-benar menyandarkan kehidupannya pada lahan yang berada dalam sengketa
namun memiliki kompentensi dan kemampuan mengelola lahan.

Sebagai tambahan, untuk
memperkuat penyelesaian ini, pemerintah harus membuka akses tentang tata kelola
lahan izin sawit yang sedang dijalankan oleh masyarakat luas. Dengan demikian
masyarakat dapat melihat, mengamati, dan ikut mengawasi penyelenggaraan tata kelola
ini. Dengan begitu, pembenahan tata kelola lahan sawit, terutama lahan sawit
milik rakyat dapat diselenggarakan dengan memenuhi aspek-aspek yang
berkelanjutan. ***

(Penulis adalah Peneliti HICON
Law & Policy Strategies)

SEJAK awal 1980-an, sawit menjadi primadona di mata semua pihak, baik
pengusaha, perusahaan negara, maupun masyarakat umum. Status sawit yang menjadi
komoditas perkebunan komersil ternyata terbukti mampu mencapai angka 17,8
miliar dolar AS atau setara Rp 231,4 triliun pada tahun 2020.

Angka tersebut merupakan
sumbangan sawit yang berasal dari lahan rakyat, belum dihitung dari angka yang
disumbangkan oleh perusahaan.

Melihat fakta ini, kemudian
dihubungkan dengan filosofi pemberdayaan lahan untuk kesejahteraan rakyat,
sawit menjadi salah satu tumbuhan produktif yang dapat diberdayakan untuk
memproduksi minyak nabati. Apabila dikelola dengan cara-cara yang
berkelanjutan, maka produktivitas tersebut tentunya akan menyokong seluruh
aspek, baik penerimaan negara, kesejahteraan masyarakat, maupun keberpihakan
terhadap konservasi lingkungan.

Pengelolaan ini tentu harus
diawali dengan memastikan legalitas lahan. Sebab, legalitas ini yang akan
menentukan sebuah lahan yang akan ditanami sawit tersebut, dibuka dan dikelola
secara clear and clean.

Problem ini yang hingga sekarang
belum dapat dituntaskan. Hingga saat ini masih banyak jejak permasalahan soal
legalitas lahan dan konflik sosial yang ditenggarai oleh masuknya perkebunan
sawit dalam kawasan hutan.

Penyebab dan Langkah Kebijakan

Masuknya lahan perkebunan sawit
ke dalam kawasan hutan disebabkan banyak faktor. Beberapa di antara penyebabnya
adalah buruknya tata kelola perizinan lahan, baik itu tidak efektifnya model
perizinan yang disebabkan oleh koordinasi lintas lembaga dalam menerbitkan dan
mengendalikan izin, maupun minimnya transparansi dalam operasionalisasinya.

Selain itu, okupasi tanah oleh
perusahaan sawit yang berlebihan mempersempit ruang kelola masyarakat terhadap
tanah. Akibatnya, tidak lagi atau sedikit lahan di kawasan areal penggunaan
lain (APL) yang tersisa untuk dikelola oleh masyarakat. Maka dari itu,
disamping peningkatkan produktivitas lahan, perlu ada upaya penjelasan terhadap
status kepemilikan lahan melalui evaluasi izin-izin yang sudah diterbitkan.

September 2018 menjadi momentum
pembenahan ini. Model pembenahan tersebut dituangkan dalam Instruksi Presiden
8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta
Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit). Inpres
ini bertujuan menata ulang perizinan perkebunan sawit untuk menciptakan
industri perkebunan sawit berkelanjutan, mencapai kepastian hukum, serta
menjaga lingkungan dan meningkatkan produktivitas sawit. Kebijakan ini disusul
dengan terbitnya Instruksi Presiden 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 dan Peraturan Presiden
44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
(Indonesian Sustainability Palm Oil/ISPO).

Baca Juga :  Blusukan di Pasar, Sugianto-Edy Pratowo Disambut Antusias Warga Kapuas

Kebijakan-kebijakan ini menjadi
paket kebijakan pemerintah untuk mewujudkan lahan sawit yang layak secara
ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Rentetan kebijakan ini dimulai dengan
pembenahan izin lahan sawit yang telah dikeluarkan pemerintah. Tujuannya, untuk
melihat luasan lahan yang telah memperoleh izin dengan luasan lahan sawit yang
dikelola oleh pelaku usaha.

Kemudian langkah ini dilanjutkan
dengan sikap pemerintah dengan menindaklanjuti perbedaan layer keduanya, apakah harus dilakukan pelepasan kawasan hutan
(PKH), tukar menukar kawasan hutan (TMKH), perhutanan sosial (PS), reforma
agraria (Tanah Obyek Reforma Agraria/TORA), atau penegakan hukum.

Akses Petani Swadaya

Apresiasi tentu harus disampaikan
untuk langkah pembenahan dan keberlanjutan yang dilakukan pemerintah. Tetapi
beberapa catatan tetap perlu disampaikan untuk pembenahan tata kelola sawit ke
depan.

 Catatan utama dari paket kebijakan ini
terletak kepada kemampuan petani swadaya untuk mengakses prosedur-prosedur
tersebut. Lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan tidak hanya dimiliki oleh
perusahaan, tetapi juga lahan yang dikuasai oleh petani swadaya. Fakta ini
tentunya akan menghambat semangat ISPO ataupun Rencana Aksi Nasional untuk
segera direalisasikan karena dasar operasi keduanya adalah legalitas lahan.

Maka dari itu, pelaku usaha,
terutama petani dintuntut untuk memiliki lahan yang legal. Apabila dirunut dari
periode awal izin sawit, petani terbatas pada akses legalisasi lahan. Peraturan
Menteri Pertanian 5/2019 tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian
mengharuskan pelaku usaha memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUO) dan Hak Guna
Usaha (HGU).

Keterbatasan akses tersebut
disebabkan oleh jalur birokrasi yang rumit, memakan waktu lama, serta cost finansial dan politik yang tinggi.
Dengan kata lain, petani berdiri sebagai pihak subordinat dibanding dengan
perusahaan yang telah mapan secara finansial, kelembagaan, ataupun relasi
politiknya.

Baca Juga :  Atasi Kekurangan Guru dengan GTT

Penguatan Political Will

Melihat minimnya potensi petani
swadaya untuk mengakses langkah prosedural semacam itu, maka diperlukan langkah
strategis pemerintah dalam mensinergikan lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk
bergerak di bidang perkebunan sawit. Beberapa lembaga itu di antaranya,
Kementerian Pertanian, Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit
(BPDP-KS), dan lembaga lain yang terkait.

Di sini pemerintah perlu keluar
dari kacamata struktural yang secara tidak langsung melimitasi pergerakan
pemerintah untuk mendampingi petani swadaya. Baik untuk menyelesaikan aspek
legal kepemilikan perkebunan maupun akses terhadap pendanaan untuk memperbaiki
kerangka aturan agar menjadi lebih progresif dan responsif.

Pemerintah juga perlu menekan desire (hasrat) untuk meningkatkan
pendapatan lokal dan mengedepankan aspek sinkronisasi dengan model tata kelola
sawit yang telah tersedia agar salah satu aspek sawit yang bekelanjutan pun
dapat terpenuhi.

Selain itu, Pemerintah juga perlu
memberikan tekanan kepada perusahaan perkebunan sawit untuk menjalankan
komitmen awalnya yang bersedia untuk mengalokasikan 20 persen luas lahan yang
dikuasainya kepada petani untuk dikelola.

Dengan begitu, petani yang
mulanya menggantungkan hidup kepada lahan hutan dengan cara yang ilegal bisa
dapat direduksi. Untuk mencegah terjadinya lahan yang ditelantarkan,
pengalokasian lahan tersebut dapat diprioritaskan kepada petani yang
benar-benar menyandarkan kehidupannya pada lahan yang berada dalam sengketa
namun memiliki kompentensi dan kemampuan mengelola lahan.

Sebagai tambahan, untuk
memperkuat penyelesaian ini, pemerintah harus membuka akses tentang tata kelola
lahan izin sawit yang sedang dijalankan oleh masyarakat luas. Dengan demikian
masyarakat dapat melihat, mengamati, dan ikut mengawasi penyelenggaraan tata kelola
ini. Dengan begitu, pembenahan tata kelola lahan sawit, terutama lahan sawit
milik rakyat dapat diselenggarakan dengan memenuhi aspek-aspek yang
berkelanjutan. ***

(Penulis adalah Peneliti HICON
Law & Policy Strategies)

Terpopuler

Artikel Terbaru