Site icon Prokalteng

Setan Sembunyi

setan-sembunyi

Surabaya tidak lagi hanya merah.
Tapi merah kehitaman. Pertanda wabah Covid-19 kian mengkhawatirkan.

Apalagi ada berita medsos yang
agak ngawur sebelumnya: Surabaya bisa seperti Wuhan. Padahal, Wuhan itu menjadi
Wuhan bukan karena seperti kondisi Surabaya.

Pokoknya minggu ini Surabaya lagi
apes. Dimulai oleh drama rebutan dua mobil sumbangan BNPB itu. Yang ditandai
dengan adegan marah-marah dan nangis-nangis wali kotanya itu.

Apakah keadaan Surabaya kini
mencekam?

Sama sekali tidak.

Saya lagi ter-lockdown di
Surabaya. Inilah yang terjadi kemarin. Pagi-pagi saya olahraga bersama klub
”Senam DI’s Way”. Tidak ada suasana mencekam itu.

Siang sedikit saya ke pabrik
irradiasi PT Ensterna Indonesia. Yang sedang melakukan komisioning –minggu
depan mulai uji coba. Covid belum selesai, pabrik ini sudah akan selesai. Alhamdulillah.
Perjalanan ke pabrik itu biasanya 25 menit. Selama PSPB berlaku. Lalu-lintas
sangat lancar.

Kemarin perjalanan ke ke pabrik
itu menjadi 50 menit. Sudah sangat padat. Sudah macet di beberapa titik.
Gencarnya berita bahwa Surabaya sudah ”merah hitam” kalah dengan keriuhan
berita ”new normal”.

Banyaknya berita ”new normal” di
televisi seperti sebuah pernyataan bahwa ”bahaya Covid-19 sudah selesai”. Pun
di Surabaya, pembicaraan ”merah hitam” tidak ada gemanya.

”New normal” sudah seperti
diterjemahkan ”kembali normal”.

Saya bersyukur membaca berita
Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, melakukan sidak ke bandara Semarang.

Di situ Ganjar digambarkan
marah-marah: penumpang pesawat berjubel –tanpa mengindahkan jaga jarak. Banyak
juga yang tidak pakai masker.

Mengikuti apa yang ditemukan
Ganjar di Semarang, itulah potret asli kita di mana-mana. Akhirnya ilmu
manajemen memang benar: the devil is in the details.

”Setan”-nya selalu bersembunyi
”di detail pelaksanaan”.

Teori boleh bagus. Konsepnya
hebat. Pidatonya luar biasa. Dengan tiga tahap itu pekerjaan dianggap seperti
sudah selesai. Beres.

Ternyata jauh panggang dari api.

Borok-boroknya selalu di
jepitan-jepitan pelaksanaan di lapangan.

Itulah sebabnya pemimpin yang
baik adalah yang menapak dari bawah. Merekalah yang tahu di mana setan-setan
bersembunyi.

Padahal begitu banyak pemimpin
yang merasa sudah bekerja kalau sudah memberi pengarahan.

Bagaimana di Jakarta?

”Sama, Abah…,” jawab ”Wanita
DI’s Way” tadi malam. ”Di bus TransJakarta berjubel,” tambahnyi.

Dia juga melihat di pasar-pasar
kian ramai. Juga kian abai pada protokol Covid-19. ”Wanita DI’s Way” itu (Baca:
Wanita DI’s Way) punya usul menarik.

”Baiknya pemerintah pusat dan
provinsi mengubah jam kerja,” ujarnyi. ”Kalau tidak, semua angkutan umum akan
sangat padat,” tambahnyi.

Tentu saya setuju dengan usul
seperti itu. Atau jangan-jangan justru sudah dilaksanakan. Seharusnya pegawai
negeri juga mulai diperkenalkan ke sistem ”orientasi hasil”.

Selama ”new normal” ini harusnya
jam kerja tidak begitu penting lagi.

Mau bekerja jam berapa pun
mestinya tidak masalah. Asal pekerjaan mereka beres. Pun target bisa dipenuhi.

Yang diperlukan hanya pengumuman.
Siapa, atau bagian apa, bisa ditemui jam berapa. Agar masyarakat yang
memerlukan layanan bisa menyesuaikan diri.

New normal kelihatannya sudah
seperti new year. Yang ditunggu tinggal berapa yang kena ledakan mercon.(Dahlan
Iskan)

 

Exit mobile version