33 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Pilihan Sulit

Kalau kita melihat angka-angka, Indonesia itu masih hebat.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Amitohu. Rahayu.
Teman saya di luar
negeri terus terheran-heran. Setengah tidak percaya. Dulunya mereka terheran
oleh tidak adanya COVID-19. Ketika negara lain sudah pada panik.

Sekarang mereka terheran karena tidak adanya
ledakan. Pertambahan jumlah penderitanya stabil di kisaran angka 115/hari.
Seperti disetel saja. Itu pun baru belakangan. Sampai kemarin.

Ketika jumlah penderita di Malaysia sudah
mencapai 3.200 lebih, Indonesia masih 1.790. Padahal penduduk kita 12 kali
lipat Malaysia.

Saya tidak bisa memberikan penjelasan kepada
teman-teman itu: mengapa. Sama dengan ketika COVID-19 belum juga masuk ke
Indonesia: mengapa.

Memang jumlah yang meninggal di Indonesia
termasuk tinggi: 170. Bandingkan dengan Malaysia yang 50 orang.

Demikian juga jumlah dokter yang meninggal di
Indonesia. Sudah 13 orang. Di Malaysia hanya satu dokter –itu pun pulang dari
Turki. Bukan tertular di garis depan pengabdian.

Saya sengaja tidak membandingkan dengan
Singapura –yang serbabaik itu. Juga tidak membandingkan dengan ‘kelompok
negara 100.000 ke atas’ seperti Amerika Serikat, Italia dan Spanyol. Pun tidak
membandingkan dengan ‘kelompok negara 10.000 ke atas’ seperti negara-negara
Eropa Barat.

Dilihat dari bagusnya angka-angka itu betul saja kalau ada yang
mengatakan Indonesia belum waktunya
 lockdown. Namun betul juga yang mengatakan harus segera lockdown –mumpung belum terlambat.

Yang jelas, sekarang ini, tanpa ledakan jumlah
penderita pun kualitas hidup kita sudah merosot. Dan akan terus merosot. Tujang
pijat, spa, salon, ojol, taksi, tukang parkir, dan seterusnya mulai
kelimpungan.

Saya perkirakan bahaya berikutnya akan datang:
meledaknya kasus kriminalitas. Sepeda motor harus dijaga. Ponsel jangan
dibiarkan.

Jangan bawa banyak uang kontan. Harus lebih
hati-hati.

Maka penetapan jam malam di beberapa daerah
sangatlah baik. Bukan hanya soal virus, tetapi juga soal kriminalitas.

Perlunya lockdown juga harus dilihat dari segi
keamanan itu. Konsekuensinya memang biaya.

Baca Juga :  Bansos Senilai Rp9 Miliar Lebih untuk 19 Ribu Lebih Warga Kobar

Rasanya kita akan sepakat kalau orang miskin
harus disantuni. Semua orang miskin digaji saja. Selama 3 bulan lockdown. Tidak peduli
mereka punya cicilan sepeda motor atau tidak.

Anggap saja ada 100 juta keluarga yang harus
digaji Rp 1,5juta/bulan. Nilainya tetap lebih kecil dibanding runtuhnya ekonomi
negara.

Semua proyek dibatalkan saja. Tidak apa-apa kan
tidak punya jembatan baru, gedung baru, jalan baru, sekolah baru, dan segala
macam yang baru –termasuk yang baru satu itu.

Sesekali negara menggaji rakyatnya. Gaji itu
larinya akan ke ekonomi juga. Ke daya beli. Uangnya muter.

Kalau semua orang miskin digaji negara akan
aman, ekonomi aman, politik aman, hukum aman, yang punya uang juga aman.

Kalaupun tidak ada lockdown, jaminkan
kepada rakyat, angka kriminalitas tidak naik. Juga tidak ada
perampokan-perampokan. Jangan sampai lolos dari virus tapi mati di tangan
perampok.

Terlepas akan ada lockdown atau tidak,
saya melihat ke masjid. Ke pentingnya masjid di zaman COVID-19 ini.

Masa seperti inilah yang akan membuat masjid
sangat strategis untuk menyelesaikan masalah sosial.

Kalau saja setiap masjid memiliki daftar orang
miskin di sekitarnya alangkah masjid bisa dipakai sentral penyelesaian masalah.
Masjid bisa menjadi jembatan antara yang kaya dan miskin.

Gereja mungkin juga bisa diperankan seperti
itu. Namun masjidlah yang umumnya berada langsung di tengah masyarakat miskin.

Namun ni memang memerlukan kepengurusan masjid
yang modern –cara berpikirnya.

Tentu negara juga punya database orang miskin.
Yang sudah sangat terperinci. By
name. By address.

Terserahlah.

Saya sungguh kagum dengan kerelaan banyak
masjid mengutamakan keselamatan umat manusia. “Sembilan puluh persen
masjid di NTB tidak menyelenggarakan salat Jumat,” ujar Gubernur NTB Dr
Zulkieflimansyah kepada saya tadi malam. “Hari ini mungkin 95
persen,” tambahnya.

Padahal NTB sempat yang paling dikhawatirkan.
Terutama Lombok. Yang mendapat gelar ‘Pulau Seribu Masjid’.

Baca Juga :  Jangan Ganggu Pekerja, Lakukan Aksi Secara Damai

Saya pun mendapat kiriman pidato Bupati Lombok
Timur Sukiman Azmy. Yang begitu tegas.

“Semua masjid harus ditutup. Yang
melanggar bawa ke kantor polisi,” katanya.

Ia tidak mau banyak berdebat soal alasan.
“Kurang berkah apa Masjidilharam di Makkah. Ditutup. Kurang hebat apa para
ulama di Al Azhar, Kairo, Mesir. Mereka telah berfatwa agar masjid
ditutup,” kata Sukiman Azmy.

Memang Masjid Agung Surabaya tetap melaksanakan
salat Jumat siang nanti. Namun SOP-nya begitu ketat. Baca
juga: Masjid Jarang

Ditambah rencana baru: agar masing-masing
membawa sandal/sepatu yang sudah dimasukkan kantong plastik ke dalam masjid.
Untuk diletakkan di sebelah masing-masing. Agar selesai salat tidak perlu
bergerombol di tempat sandal.

Gereja-gereja juga sudah meliburkan kebaktian
bersama di hari Minggu. Yang awalnya juga agak seret.

Saya sempat mendapat kiriman video seorang
pendeta yang mengajak umatnya jangan takut virus. Dengan alasan gereja itu
rumah Tuhan. Kematian itu di tangan Tuhan.

Bahkan pendeta itu turun dari panggung.
Berjalan menuju tempat duduk umat. “Jangan takut. Ayo kita pelukan,”
katanya dalam khotbahnya.

Lalu jemaat yang di depan itu berdiri. Melayani
pelukan sang pendeta.

“Ayo. Pelukan,” katanya lagi. Sambil
mengajak jemaat di sebelah yang pertama untuk juga pelukan.

Begitulah seterusnya. Sampai tiga jemaat diajak
pelukan.

Saya kenal pendeta itu. Saya pernah hadir di
salah satu khotbahnya. Namun saya tidak tega menegurnya via WA.

Saya pun mendengar seminggu kemudian kebaktian
di gereja itu sudah ditiadakan.

Di Israel juga ada problem serupa. Dari jemaah
Yahudi Ortodoks.

Di negara kecil itu sudah lebih 6.000 warganya
yang terkena COVID-19, meski yang meninggal hanya 33 orang.

Jadi, saya memilih lockdown atau tidak?

Saya memilih sulit menjawab pertanyaan
teman-teman di luar negeri.(***)

 

Kalau kita melihat angka-angka, Indonesia itu masih hebat.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Amitohu. Rahayu.
Teman saya di luar
negeri terus terheran-heran. Setengah tidak percaya. Dulunya mereka terheran
oleh tidak adanya COVID-19. Ketika negara lain sudah pada panik.

Sekarang mereka terheran karena tidak adanya
ledakan. Pertambahan jumlah penderitanya stabil di kisaran angka 115/hari.
Seperti disetel saja. Itu pun baru belakangan. Sampai kemarin.

Ketika jumlah penderita di Malaysia sudah
mencapai 3.200 lebih, Indonesia masih 1.790. Padahal penduduk kita 12 kali
lipat Malaysia.

Saya tidak bisa memberikan penjelasan kepada
teman-teman itu: mengapa. Sama dengan ketika COVID-19 belum juga masuk ke
Indonesia: mengapa.

Memang jumlah yang meninggal di Indonesia
termasuk tinggi: 170. Bandingkan dengan Malaysia yang 50 orang.

Demikian juga jumlah dokter yang meninggal di
Indonesia. Sudah 13 orang. Di Malaysia hanya satu dokter –itu pun pulang dari
Turki. Bukan tertular di garis depan pengabdian.

Saya sengaja tidak membandingkan dengan
Singapura –yang serbabaik itu. Juga tidak membandingkan dengan ‘kelompok
negara 100.000 ke atas’ seperti Amerika Serikat, Italia dan Spanyol. Pun tidak
membandingkan dengan ‘kelompok negara 10.000 ke atas’ seperti negara-negara
Eropa Barat.

Dilihat dari bagusnya angka-angka itu betul saja kalau ada yang
mengatakan Indonesia belum waktunya
 lockdown. Namun betul juga yang mengatakan harus segera lockdown –mumpung belum terlambat.

Yang jelas, sekarang ini, tanpa ledakan jumlah
penderita pun kualitas hidup kita sudah merosot. Dan akan terus merosot. Tujang
pijat, spa, salon, ojol, taksi, tukang parkir, dan seterusnya mulai
kelimpungan.

Saya perkirakan bahaya berikutnya akan datang:
meledaknya kasus kriminalitas. Sepeda motor harus dijaga. Ponsel jangan
dibiarkan.

Jangan bawa banyak uang kontan. Harus lebih
hati-hati.

Maka penetapan jam malam di beberapa daerah
sangatlah baik. Bukan hanya soal virus, tetapi juga soal kriminalitas.

Perlunya lockdown juga harus dilihat dari segi
keamanan itu. Konsekuensinya memang biaya.

Baca Juga :  Bansos Senilai Rp9 Miliar Lebih untuk 19 Ribu Lebih Warga Kobar

Rasanya kita akan sepakat kalau orang miskin
harus disantuni. Semua orang miskin digaji saja. Selama 3 bulan lockdown. Tidak peduli
mereka punya cicilan sepeda motor atau tidak.

Anggap saja ada 100 juta keluarga yang harus
digaji Rp 1,5juta/bulan. Nilainya tetap lebih kecil dibanding runtuhnya ekonomi
negara.

Semua proyek dibatalkan saja. Tidak apa-apa kan
tidak punya jembatan baru, gedung baru, jalan baru, sekolah baru, dan segala
macam yang baru –termasuk yang baru satu itu.

Sesekali negara menggaji rakyatnya. Gaji itu
larinya akan ke ekonomi juga. Ke daya beli. Uangnya muter.

Kalau semua orang miskin digaji negara akan
aman, ekonomi aman, politik aman, hukum aman, yang punya uang juga aman.

Kalaupun tidak ada lockdown, jaminkan
kepada rakyat, angka kriminalitas tidak naik. Juga tidak ada
perampokan-perampokan. Jangan sampai lolos dari virus tapi mati di tangan
perampok.

Terlepas akan ada lockdown atau tidak,
saya melihat ke masjid. Ke pentingnya masjid di zaman COVID-19 ini.

Masa seperti inilah yang akan membuat masjid
sangat strategis untuk menyelesaikan masalah sosial.

Kalau saja setiap masjid memiliki daftar orang
miskin di sekitarnya alangkah masjid bisa dipakai sentral penyelesaian masalah.
Masjid bisa menjadi jembatan antara yang kaya dan miskin.

Gereja mungkin juga bisa diperankan seperti
itu. Namun masjidlah yang umumnya berada langsung di tengah masyarakat miskin.

Namun ni memang memerlukan kepengurusan masjid
yang modern –cara berpikirnya.

Tentu negara juga punya database orang miskin.
Yang sudah sangat terperinci. By
name. By address.

Terserahlah.

Saya sungguh kagum dengan kerelaan banyak
masjid mengutamakan keselamatan umat manusia. “Sembilan puluh persen
masjid di NTB tidak menyelenggarakan salat Jumat,” ujar Gubernur NTB Dr
Zulkieflimansyah kepada saya tadi malam. “Hari ini mungkin 95
persen,” tambahnya.

Padahal NTB sempat yang paling dikhawatirkan.
Terutama Lombok. Yang mendapat gelar ‘Pulau Seribu Masjid’.

Baca Juga :  Jangan Ganggu Pekerja, Lakukan Aksi Secara Damai

Saya pun mendapat kiriman pidato Bupati Lombok
Timur Sukiman Azmy. Yang begitu tegas.

“Semua masjid harus ditutup. Yang
melanggar bawa ke kantor polisi,” katanya.

Ia tidak mau banyak berdebat soal alasan.
“Kurang berkah apa Masjidilharam di Makkah. Ditutup. Kurang hebat apa para
ulama di Al Azhar, Kairo, Mesir. Mereka telah berfatwa agar masjid
ditutup,” kata Sukiman Azmy.

Memang Masjid Agung Surabaya tetap melaksanakan
salat Jumat siang nanti. Namun SOP-nya begitu ketat. Baca
juga: Masjid Jarang

Ditambah rencana baru: agar masing-masing
membawa sandal/sepatu yang sudah dimasukkan kantong plastik ke dalam masjid.
Untuk diletakkan di sebelah masing-masing. Agar selesai salat tidak perlu
bergerombol di tempat sandal.

Gereja-gereja juga sudah meliburkan kebaktian
bersama di hari Minggu. Yang awalnya juga agak seret.

Saya sempat mendapat kiriman video seorang
pendeta yang mengajak umatnya jangan takut virus. Dengan alasan gereja itu
rumah Tuhan. Kematian itu di tangan Tuhan.

Bahkan pendeta itu turun dari panggung.
Berjalan menuju tempat duduk umat. “Jangan takut. Ayo kita pelukan,”
katanya dalam khotbahnya.

Lalu jemaat yang di depan itu berdiri. Melayani
pelukan sang pendeta.

“Ayo. Pelukan,” katanya lagi. Sambil
mengajak jemaat di sebelah yang pertama untuk juga pelukan.

Begitulah seterusnya. Sampai tiga jemaat diajak
pelukan.

Saya kenal pendeta itu. Saya pernah hadir di
salah satu khotbahnya. Namun saya tidak tega menegurnya via WA.

Saya pun mendengar seminggu kemudian kebaktian
di gereja itu sudah ditiadakan.

Di Israel juga ada problem serupa. Dari jemaah
Yahudi Ortodoks.

Di negara kecil itu sudah lebih 6.000 warganya
yang terkena COVID-19, meski yang meninggal hanya 33 orang.

Jadi, saya memilih lockdown atau tidak?

Saya memilih sulit menjawab pertanyaan
teman-teman di luar negeri.(***)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru