27.3 C
Jakarta
Wednesday, April 9, 2025

Durian Kemauan

Sebenarnya lebih aman nulis
durian daripada BBM. Durian tidak sensitif –meskipun saya harus membahas
revolusi di dalamnya: revolusi durian. 

Apalagi pembaca DI’s Way sudah
punya ide untuk melakukan revolusi itu. Cobalah baca lagi komentar Kamis lalu.

”Pohon-pohon durian tradisional
itu tidak harus ditebang,” tulis komentar itu, kurang lebih. ”Potong dahannya,
sambung dengan dahan durian unggul,” tambahnya.

Kelihatannya ia (dia?) itu ahli
durian. Tahu begitu mendalam soal cocok tanam durian. ”Komentar itu benar
sekali,” ujar Djohan Aping, pemilik perkebunan durian di Bangka.

Ahli durian di Trawas, Jatim,
juga punya pikiran yang sama. Pak Tirto, pengusaha kecap AAA Surabaya itu
memang punya kebun durian. Tidak seluas Djohan. Hanya untuk hobi.

Pak Tirto mengirimi saya 9 bibit
durian musang king. Juga menawari saya untuk mengubah beberapa pohon durian
saya yang tidak kunjung berbuah.

”Itu durian jenis apa?” tanyanya
saat melihat durian di kebun saya.

”Tidak tahu,” jawab saya.

”Mengapa tidak kunjung berbuah?”
tanyanya lagi.

”Tidak tahu.” 

”Terus mau diapakan pohon itu?”

”Tidak tahu.”

Ia pun paham. Saya tidak paham
durian. Ia tahu. Saya hanya pemakan durian. Maka ia menawari ini: akan
menancapkan dahan durian unggul di batang durian yang sudah ada itu.

Berarti, sebenarnya, tidak
terlalu sulit melakukan revolusi durian kita. Hanya saja diperlukan ilmunya.
Yakni bagaimana batang durian lama bisa di-top working dengan
durian unggul.

Tehnik top working itu juga
tidak terlalu berisiko. Gagal sekali pun durian lama tetap hidup. Demikian juga
bibit durian unggul yang ditempelkan ke pohon lama itu. Tetap bisa hidup
mandiri dan bisa ditanam di lokasi lain.

Memang pemilik pohon lama harus
membeli bibit durian unggul. Yang masih kecil. Masih di polibag.
Batang bibit unggul itu dilukai. Untuk ditempel di pohon durian lama –yang
juga dilukai. Lalu dibebat. 

Baca Juga :  Amanat Penderitaan Rakyat

Kalau bibit unggul tadi berhasil
menyatu dengan pohon lama berarti berhasil. Batang bagian bawah bibit unggul
pun sudah bisa dipotong.

Jangan dibuang. Siapa tahu dengan polibag yang
masih baik itu pokok bibit tersebut masih bisa trubus lagi.

Begitu bibit unggul yang menempel
di pohon lama tumbuh membesar, pohon lama bisa dipotong. Dibuang. 

Jadilah pokok durian lama itu
berpohon durian unggul. Yang bisa cepat besar.

Berarti jalan menuju revolusi itu
ada. Tinggal di mana harus belanja kemauan.

Tapi itu juga belum cukup.

Kan masih ada pembaca DI’s Way
yang meragukan kehebatan durian namlong dan super tembaga dari Bangka itu (Baca
DI’s Way: Super Tembaga).
Belum tentu sama-sama tembaganya sama enak pula rasanya.

”Sama-sama durian dari satu pohon
pun bisa beda rasanya,” komentar pembaca DI’s Way di hari yang sama.

”Itu benar sekali,” ujar Djohan
kepada saya kemarin. ”Sama-sama super tembaga rasanya juga bisa beda,” tambah
Djohan.

Ups… Menyesal saya telah
mempromosikannya.

Akankah saya harus merasa berdosa
lagi?

”Tidak pak. Itu jadi tantangan
kami di sini,” ujar Djohan. ”Bisa kita atasi,” tambahnya. 

Djohan sudah mendalami soal
membuat keseragaman rasa itu. Termasuk sudah mencari tahu mengapa rasa durian
musang king kok bisa seragam.

Semua itu tergantung di budi
dayanya. ”Durian kita itu pak, begitu tidak ada hujan satu bulan saja rasanya
sudah berubah,” ujar Djohan.

Demikian juga pemupukannya. Beda
pupuk sudah beda rasa.

”Karena itu di kebun saya nanti
akan menggunakan sistem pengairan drop,” ujar Djohan.

Dengan demikian tidak lagi
tergantung hujan.

Untuk itu Djohan harus membeli
teknologi pengairan air menetes itu. Yang mahal itu. Yang awalnya ditemukan
oleh Israel itu.

Berarti Djohan akan menggelar
pipa air di seluruh kebun duriannya yang 200 hektare itu. Harus ada pipa dari
pohon ke pohon. Seperti yang dilakukan keluarga Djarum untuk perkebunan tebunya
di Sumba Timur. 

Baca Juga :  Simulasi Pengamanan Kotak Suara Pilkada Diwarnai Aksi Pelumpuhan Perus

Pentingnya irigasi air menetes
itu tidak hanya untuk air. Juga untuk mengalirkan pupuk. Yang untuk durian,
pupuknya harus khusus: tidak mau pupuk kimia. Bahkan tidak mau pupuk kandang.
Kalau bisa pupuknya dari campuran sisa-sisa ikan yang dihancurkan.

Djohan memang sudah bertauhid di
bidang perkebunan. Pabrik smelter timahnya sudah ia tutup.

”Begitu menerima kalpataru dulu,
pabrik smelter saya tutup,” katanya. ”Saya tidak mau mencemari lingkungan.
Masak penerima kalpataru punya smelter timah,” katanya. 

Ternyata Djohan ini pemenang
Kalpataru tahun 2008. Itulah penghargaan tertinggi untuk orang yang berjasa di
bidang pemeliharaan lingkungan hidup. Ia tidak mengira. Ia tidak pernah merasa
berusaha mendapatkan kalpataru.

Djohan awalnya hanya mengagumi
Pulau Phuket. Di Thailand itu. Yang daya tarik wisatanya luar biasa. Padahal
Phuket itu dulunya tambang timah –seperti Bangka. 

Djohan lantas memelopori penanam
pohon di areal tambangnya. Berpuluh-puluh ribu pohon. Siapa tahu kelak bisa
jadi daerah wisata.

Itulah yang membuatnya menerima
Kalpataru.

Sekaligus membuat ia malu
memiliki pabrik smelter. Kebetulan pabrik kelapa sawitnya hampir jadi. Karyawan
pabrik smelter itu ia alihkan ke pabrik kelapa sawit.

Djohan kini juga menanam jeruk.
Sudah lebih 100 hektare.

Durian dan jeruk akan menjadi
masa depannya. Bukan lagi kelapa sawit.

”Saya sudah sarankan agar rakyat
jangan didorong terus tanam kelapa sawit,” ujarnya. ”Hasilnya sangat
minim.” 

Djohan pun memberi gambaran
konkret: sama-sama punya tanah satu hektare hasilnya begitu berbeda. Ditanami
sawit hanya mendapat Rp 10 juta. Ditanami jeruk bisa dapat Rp 100 juta.
Ditanami durian bisa dapat Rp 500 juta. ”Ibaratnya seperti itu,” ujar Djohan.

Peluang ternyata ada di
mana-mana. 

Kemauan yang masih tetap langka.
(Dahlan Iskan)

 

Sebenarnya lebih aman nulis
durian daripada BBM. Durian tidak sensitif –meskipun saya harus membahas
revolusi di dalamnya: revolusi durian. 

Apalagi pembaca DI’s Way sudah
punya ide untuk melakukan revolusi itu. Cobalah baca lagi komentar Kamis lalu.

”Pohon-pohon durian tradisional
itu tidak harus ditebang,” tulis komentar itu, kurang lebih. ”Potong dahannya,
sambung dengan dahan durian unggul,” tambahnya.

Kelihatannya ia (dia?) itu ahli
durian. Tahu begitu mendalam soal cocok tanam durian. ”Komentar itu benar
sekali,” ujar Djohan Aping, pemilik perkebunan durian di Bangka.

Ahli durian di Trawas, Jatim,
juga punya pikiran yang sama. Pak Tirto, pengusaha kecap AAA Surabaya itu
memang punya kebun durian. Tidak seluas Djohan. Hanya untuk hobi.

Pak Tirto mengirimi saya 9 bibit
durian musang king. Juga menawari saya untuk mengubah beberapa pohon durian
saya yang tidak kunjung berbuah.

”Itu durian jenis apa?” tanyanya
saat melihat durian di kebun saya.

”Tidak tahu,” jawab saya.

”Mengapa tidak kunjung berbuah?”
tanyanya lagi.

”Tidak tahu.” 

”Terus mau diapakan pohon itu?”

”Tidak tahu.”

Ia pun paham. Saya tidak paham
durian. Ia tahu. Saya hanya pemakan durian. Maka ia menawari ini: akan
menancapkan dahan durian unggul di batang durian yang sudah ada itu.

Berarti, sebenarnya, tidak
terlalu sulit melakukan revolusi durian kita. Hanya saja diperlukan ilmunya.
Yakni bagaimana batang durian lama bisa di-top working dengan
durian unggul.

Tehnik top working itu juga
tidak terlalu berisiko. Gagal sekali pun durian lama tetap hidup. Demikian juga
bibit durian unggul yang ditempelkan ke pohon lama itu. Tetap bisa hidup
mandiri dan bisa ditanam di lokasi lain.

Memang pemilik pohon lama harus
membeli bibit durian unggul. Yang masih kecil. Masih di polibag.
Batang bibit unggul itu dilukai. Untuk ditempel di pohon durian lama –yang
juga dilukai. Lalu dibebat. 

Baca Juga :  Amanat Penderitaan Rakyat

Kalau bibit unggul tadi berhasil
menyatu dengan pohon lama berarti berhasil. Batang bagian bawah bibit unggul
pun sudah bisa dipotong.

Jangan dibuang. Siapa tahu dengan polibag yang
masih baik itu pokok bibit tersebut masih bisa trubus lagi.

Begitu bibit unggul yang menempel
di pohon lama tumbuh membesar, pohon lama bisa dipotong. Dibuang. 

Jadilah pokok durian lama itu
berpohon durian unggul. Yang bisa cepat besar.

Berarti jalan menuju revolusi itu
ada. Tinggal di mana harus belanja kemauan.

Tapi itu juga belum cukup.

Kan masih ada pembaca DI’s Way
yang meragukan kehebatan durian namlong dan super tembaga dari Bangka itu (Baca
DI’s Way: Super Tembaga).
Belum tentu sama-sama tembaganya sama enak pula rasanya.

”Sama-sama durian dari satu pohon
pun bisa beda rasanya,” komentar pembaca DI’s Way di hari yang sama.

”Itu benar sekali,” ujar Djohan
kepada saya kemarin. ”Sama-sama super tembaga rasanya juga bisa beda,” tambah
Djohan.

Ups… Menyesal saya telah
mempromosikannya.

Akankah saya harus merasa berdosa
lagi?

”Tidak pak. Itu jadi tantangan
kami di sini,” ujar Djohan. ”Bisa kita atasi,” tambahnya. 

Djohan sudah mendalami soal
membuat keseragaman rasa itu. Termasuk sudah mencari tahu mengapa rasa durian
musang king kok bisa seragam.

Semua itu tergantung di budi
dayanya. ”Durian kita itu pak, begitu tidak ada hujan satu bulan saja rasanya
sudah berubah,” ujar Djohan.

Demikian juga pemupukannya. Beda
pupuk sudah beda rasa.

”Karena itu di kebun saya nanti
akan menggunakan sistem pengairan drop,” ujar Djohan.

Dengan demikian tidak lagi
tergantung hujan.

Untuk itu Djohan harus membeli
teknologi pengairan air menetes itu. Yang mahal itu. Yang awalnya ditemukan
oleh Israel itu.

Berarti Djohan akan menggelar
pipa air di seluruh kebun duriannya yang 200 hektare itu. Harus ada pipa dari
pohon ke pohon. Seperti yang dilakukan keluarga Djarum untuk perkebunan tebunya
di Sumba Timur. 

Baca Juga :  Simulasi Pengamanan Kotak Suara Pilkada Diwarnai Aksi Pelumpuhan Perus

Pentingnya irigasi air menetes
itu tidak hanya untuk air. Juga untuk mengalirkan pupuk. Yang untuk durian,
pupuknya harus khusus: tidak mau pupuk kimia. Bahkan tidak mau pupuk kandang.
Kalau bisa pupuknya dari campuran sisa-sisa ikan yang dihancurkan.

Djohan memang sudah bertauhid di
bidang perkebunan. Pabrik smelter timahnya sudah ia tutup.

”Begitu menerima kalpataru dulu,
pabrik smelter saya tutup,” katanya. ”Saya tidak mau mencemari lingkungan.
Masak penerima kalpataru punya smelter timah,” katanya. 

Ternyata Djohan ini pemenang
Kalpataru tahun 2008. Itulah penghargaan tertinggi untuk orang yang berjasa di
bidang pemeliharaan lingkungan hidup. Ia tidak mengira. Ia tidak pernah merasa
berusaha mendapatkan kalpataru.

Djohan awalnya hanya mengagumi
Pulau Phuket. Di Thailand itu. Yang daya tarik wisatanya luar biasa. Padahal
Phuket itu dulunya tambang timah –seperti Bangka. 

Djohan lantas memelopori penanam
pohon di areal tambangnya. Berpuluh-puluh ribu pohon. Siapa tahu kelak bisa
jadi daerah wisata.

Itulah yang membuatnya menerima
Kalpataru.

Sekaligus membuat ia malu
memiliki pabrik smelter. Kebetulan pabrik kelapa sawitnya hampir jadi. Karyawan
pabrik smelter itu ia alihkan ke pabrik kelapa sawit.

Djohan kini juga menanam jeruk.
Sudah lebih 100 hektare.

Durian dan jeruk akan menjadi
masa depannya. Bukan lagi kelapa sawit.

”Saya sudah sarankan agar rakyat
jangan didorong terus tanam kelapa sawit,” ujarnya. ”Hasilnya sangat
minim.” 

Djohan pun memberi gambaran
konkret: sama-sama punya tanah satu hektare hasilnya begitu berbeda. Ditanami
sawit hanya mendapat Rp 10 juta. Ditanami jeruk bisa dapat Rp 100 juta.
Ditanami durian bisa dapat Rp 500 juta. ”Ibaratnya seperti itu,” ujar Djohan.

Peluang ternyata ada di
mana-mana. 

Kemauan yang masih tetap langka.
(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru