Site icon Prokalteng

Evolusi Dongeng: Dari Verbal ke Budaya Visual

ILUSTRASI. (BAGUS/JAWA POS)

Sebelum mengenal tulisan, metode utama untuk menyebarluaskan informasi di masa lalu adalah menggunakan komunikasi verbal. Dalam praktiknya, komunikasi verbal sering kali lekat dengan tradisi lisan di ritual-ritual upacara tradisional, mantra, legenda, praktik agraris, sampai musik, syair, seni pertunjukan, sastra, dan dongeng.

DONGENG bukan sekadar sarana hiburan, tetapi juga mengemban peran penting sebagai penjaga pintu gerbang warisan budaya bangsa. Narasi dalam dongeng sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang mencerminkan keragaman budaya Indonesia sehingga tiap individu dapat terhubung dengan akar tradisi nenek moyangnya.

Sedemikian penting peran dongeng bagi Indonesia, maka setiap 28 November diperingati sebagai Hari Dongeng Nasional. Selama berabad-abad, dongeng berfungsi sebagai media untuk menyampaikan berbagai pengetahuan lokal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya untuk membangun memori kolektif tentang pengalaman menjadi manusia Indonesia. Kekuatan dongeng verbal terletak pada kemampuannya untuk melibatkan berbagai indra, memungkinkan adanya umpan balik secara langsung, mengakomodasi penggunaan bahasa daerah dan dialek yang berbeda, serta mengasah imajinasi pendengarnya dalam menginterpretasi cerita.

Percepatan teknologi informasi dan globalisasi membuat evolusi dongeng tak terelakkan. Kegiatan mendongeng dalam masyarakat kontemporer saat ini didominasi oleh komunikasi visual, mulai cerita bergambar, komik, sampai film dan video animasi. Pada dasarnya, sejak masa prasejarah, manusia sudah berkomunikasi secara visual melalui lukisan gua, hieroglif, dan piktogram. Narasi visual tersebut adalah bentuk komunikasi pra tulisan yang mengandalkan gambar, simbol, dan elemen visual untuk menyampaikan pesan yang menyerupai bentuk objek sebenarnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, simbol-simbol sederhana tersebut berubah menjadi bermacam-macam visual yang rumit, canggih, dan dinamis.

Adalah Suyadi, atau lebih dikenal sebagai Pak Raden: tokoh rekaan dari serial tahun 1980-an ”Si Unyil”. Pak Raden digambarkan sebagai pria Jawa berkumis tebal menukik ke atas, mengenakan beskap hitam dan belangkon, tak lupa sebuah tongkat di tangannya. Pak Suyadi adalah salah satu tokoh penting di balik promosi dan pelestarian dongeng di Indonesia. Pak Suyadi adalah seorang pendongeng dengan latar belakang pendidikan seni rupa di Institut Teknologi Bandung tahun 1952–1960 dan animasi di Les Cineastes Associes dan Les Films Martin-Boschet Perancis tahun 1961–1964. Sepanjang hayat Pak Suyadi mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan literasi anak melalui dongeng dan seni rupa. Karya-karyanya mencakup berbagai kisah dongeng dan ilustrasi yang semuanya berakar pada budaya Indonesia seperti Pedagang Peci Kecurian (1971), Gua Terlarang (1972), Seribu Kucing untuk Kakek (1974), Timun Mas (1975), ilustrator buku pelajaran bahasa Indonesia tingkat sekolah dasar (1975), 210 Tahun HC Andersen (1970–1980), Suti sebuah buku pengenalan wayang kulit dan wayang orang untuk anak-anak (2001), Petruk Jadi Raja (2008), Art Book Gambar Dongeng (2013), dan pameran sketsa Noir et Blanc (Hitam dan Putih) di Bentara Budaya Jakarta 2013. Klimaksnya, ketika Pak Suyadi menjadi art director sekaligus pemeran tokoh antagonis ”Pak Raden” dalam serial sandiwara boneka Si Unyil yang tayang ratusan episode sepanjang tahun 1980 sampai 1990-an. Meski serial itu sudah tidak tayang lagi, tokoh ”Si Unyil” dan ”Pak Raden” masih menjadi legenda sampai hari ini. Ciri khas karya Pak Suyadi tampak pada penggunaan garis yang tegas dengan sedikit bayangan untuk menciptakan gambar datar, tetapi tetap menonjolkan kesan kedinamisan gerak tokoh. Latar belakang ceritanya selalu mengusung budaya pedesaan Indonesia, baik dari lanskap, pakaian, maupun unsur feodal dan dialognya.

Hari Dongeng Nasional yang diperingati bertepatan dengan hari ulang tahun Pak Suyadi bukan tidak sengaja. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan kesadaran literasi masyarakat sekaligus merayakan jasa Pak Suyadi dalam melestarikan dongeng Indonesia. Komitmen Pak Suyadi mempromosikan dongeng melalui berbagai media membawa dampak positif bagi keberlangsungan warisan budaya karena karya-karyanya yang adaptif dan relevan dengan kebutuhan zaman. Latar belakang pendidikan seni rupa dan animasi yang dimiliki Pak Suyadi membawa dongeng ke level yang berbeda.

Keunggulan komunikasi visual adalah aksesibilitas yang luas, tidak seperti dongeng verbal yang terbatas secara linguistik dan geografis. Konsep yang rumit bisa disederhanakan menggunakan metafora visual sehingga pesan lebih mudah diterima. Penyajian visual yang didukung audio dan animasi mampu mereduksi sifat monoton informasi. Penelitian neurosains menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk visual yang sebagian besar otaknya diperuntukkan memproses informasi visual. Karena itu, pesan-pesan yang disampaikan secara visual cenderung melekat lebih lama dalam ingatan dibandingkan teks atau lisan saja.

Evolusi adalah hal yang wajar, mencerminkan dinamika masyarakat dalam merespons inovasi teknologi. Meski demikian, perlu disikapi secara bijak bahwa keduanya menawarkan pengalaman indrawi yang berbeda dengan kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Dongeng verbal cenderung menggunakan imajinasi, sedangkan dongeng visual tidak banyak memberi ruang imajinasi karena sajian visual cerita yang lebih konkret. Proses produksi dongeng verbal menjadi visual dikhawatirkan dapat mendistorsi otentisitas nilai-nilai budaya asli karena kebutuhan komersialisasi. Karena itu, menjadi penting untuk dapat menemukan keseimbangan antara dongeng verbal dan visual sehingga warisan budaya Indonesia dalam dongeng tidak punah dan tetap relevan. (*)

Exit mobile version