29.5 C
Jakarta
Friday, March 28, 2025

Penghibur Acara Orang Mati

Oleh BAGUS DWI HANANTO

Begitu tiba di acara pemakaman, aku menangis sejadi-jadinya. Instruksi yang ditekankan kepada kami adalah bahwa siapa menangis paling baik dapat memperoleh bayaran yang menjanjikan. Indikator menangis yang baik dalam acara pemakaman yakni sejauh mana penghayatan yang kami tampilkan mampu merenggut perhatian pelayat lain.

SEBAGAI pelayat profesional, perkara menangis sudah bukan lagi tahap yang sulit dalam pekerjaan ini. Menangis sampai meraung-raung, sampai tangan kami menggapai-gapai ketiadaan supaya impresi yang kami hadirkan begitu mengena perasaan orang-orang sekitar. Begitulah tetek bengek yang mesti kami kuasai. Tangisan yang dibikin sealamiah mungkin mengafirmasi keberadaan si mati sebelum pada akhirnya menjelma abu.

Terhitung hari ini, aku sudah tujuh tahun menekuni profesi sebagai pelayat. Suatu hari, sehabis tak kuasa bekerja di perusahaan gelap yang manipulatif dan kerap menyiksa karyawannya secara keji, aku memilih menyerah dan meninggalkan Seoul. Begitu sampai kampung halaman, ibu sudah menyambutku dengan aneka makanan dan pelbagai acar. Sudah ada berbotol-botol minuman buat teman kami ngobrol.

”Ikut ibu saja. Tidak usah pikirkan masa lalumu di kota besar. Di sini juga tidak apa-apa,” buka ibu.

Aku langsung berpikir, berarti sudah ketok palu. Aku sadar tidak ada jalan selain melakoni pekerjaan yang ditawarkan ibu. Aku tidak perlu memikirkannya lebih lanjut ketika itu.

”Apa aku mampu, Bu?” tanyaku.

Ibuku mendecakkan lidah. ”Ketika ayahmu meninggal dulu, kau sering kubawa setiap kali aku bekerja. Kau tentu sudah hafal betul bagaimana kami bekerja. Aku rasa tidak perlu latihan dulu, tidakkah begitu?”

Aku menghela napas. Kuserobot sebotol minuman langsung menenggaknya begitu saja.

”Cobalah menangis,” kata ibu.

Aku memasang mimik sedih lantas tersedu.

Ibu mendesah. ”Kurang penghayatan. Perhatikan bagaimana ibumu melakukannya.

Ibu mendadak menampilkan air muka sengsara. Kadar kesengsaraan yang sudah dilatihnya dan juga sudah dijalaninya lantaran hidup kami dari mula memang sengsara; berpadu membentuk ekspresi yang mengagumkan. Lantas dia tersedu-sedu sembari mengiba. Diumpamakan meja makan yang kami hadapi adalah meja yang memajang foto si mati lengkap dengan dupa dan ria-ria kedukaan. Ibu memang pelayat profesional, pertunjukannya memukauku tanpa makan waktu lama.

Pekerjaan pertama yang kujalani membutuhkan paling tidak tujuh orang pelayat profesional sebab si mati kurang punya banyak teman. Yang akan menangisi kepergian si mati boleh jadi bisa dihitung jari bilamana mengecualikan para pelayat yang dipesan jasanya oleh orang dekat si mati.

Kami berangkat pagi sekali dengan mengenakan selengkap pakaian serbahitam. Satu di antara kami memakai kacamata hitam. Awalnya, kukira dengan memakai kacamata begitu orang tidak bisa mengetahui apa dia benar-benar berduka atau tidak. Namun, tebakanku meleset.

Paman satu ini masih bisa menampilkan duka yang menakjubkan kendati dia memakai kacamata hitam. Memang benar pengalaman membikin orang terbiasa dalam menjalani suatu pekerjaan.

Pekerjaan pertamaku waktu itu berjalan lancar. Meski aku bisa dibilang kurang begitu piawai dibanding para paman dan ibu-ibu dalam rombongan. Walau begitu, aku masih dilibatkan dalam pekerjaan di hari kedua dan hari terakhir. Lantas pekerjaan berikutnya juga kulakoni dengan serius. Sebab, semenjak dulu aku senantiasa serius melakoni pekerjaan.

Satu pekerjaan mewajibkan kami ikut sampai si mati dikremasi. Cuma tersisa segelintir tulang dan abu setelah si mati dikremasi. Keluarga kemudian akan membakar barang-barang berharga si mati. Dan semoga dia yang pergi meninggalkan kami lebih dulu tidak memiliki penyesalan tersisa di dunia.

Baca Juga :  Selepas Buhaji Pergi

”Dulu waktu ayahmu meninggal kami juga menangis,” tutur ibu. ”Namun, ibu tidak tahu pasti apa rombongan menangis secara tulus atau cuma pura-pura sebagaimana menjalani profesi pelayat. Makin ke sini makin dirimu tidak tahu apakah air mata dan air muka sedih yang kautampilkan ke orang-orang yang meninggal punya makna.”

”Kupikir akan sama saja, Bu. Cuma karena kita sudah terlatih. Menangis jadi kurang bermakna. Tapi, tentu saja ada sedikit-sedikit makna. Orang memesan jasa kita karena mereka takut kalau-kalau yang meninggalkan mereka tidak ada yang menangisi.”

***

Yang terbaik dari pekerjaan ini adalah tidak diperlukan hierarki seperti ketika aku bekerja di perusahaan di kota besar. Cukup bersedia atau tidak bersedia ikut. Dan mampukah dirimu berperan sebagai orang yang berduka. Meski, yang namanya duka sudah bukan hal baru bagi aku maupun ibu.

Dulu ibu harus sendirian membiayai kami yang masih kecil. Aku dan ketiga adikku. Bangun pagi hari, ikut mencari ikan bersama ibu-ibu kalau tidak ada orang yang butuh jasa pelayat profesional. Laut yang begitu dekat adalah berkah bagi keluarga kami yang miskin. Dan begitu aku mendapat secercah peruntungan bertahun-tahun kemudian dengan diterima kerja di Seoul, aku mesti kembali ke titik awal sehabis tak kuat bekerja di sana.

Ibu menerimaku. Ibu orang yang terlihat tegar dan tidak gampang menyerah. Adik-adikku masih kuliah saat itu. Begitu mendengar aku memilih pulang kampung gara-gara tak tahan bekerja di bawah tekanan perusahaan gelap, semangat yang mereka bangun pun berangsur luntur.

Satu di antara mereka memutuskan menyudahi belajar di perguruan tinggi dan sekarang bekerja di minimarket tak jauh dari rumah. Ibu dan aku marah mulanya. Namun, kalau dipikir-pikir, begitu adikku satu ini memutuskan sesuatu tak ada yang sanggup menggeser keputusannya.

”Terserah kau saja. Asal jangan mengeluh di depanku kalau pekerjaanmu kurang enak,” ucap ibu.

Ucapannya sedikit melukaiku, tetapi aku berpikir lebih jauh: bahwa ibu sudah dikecewakan sekali dengan aku yang memilih pulang, barangkali. Maka kecewa untuk yang kedua kali tentu saja membuat dia tidak sanggup menahan omongan.

***

”Segini bayaranmu kali ini,” ucap ibu. Kumasukkan dalam kantong tanpa menghitungnya. Kunyalakan sebatang rokok dan menyeka keringat di sekitar pelipisku. Hari ini terasa panas.

Nama si mati Han Dong-woo. Usianya baru 28. Uh, sayang betul mampus di usia masih muda. Lebih-lebih mati karena kegagalan cinta. Orang tuanya sangat sayang anak ini padahal, kudengar dari ibu.

Pada pemakaman si pemuda Dong-woo, kami ikut berjaga untuk menyongsong hari duka berikutnya. Kami ikut minum-minum bersama keluarga, makan yukgaejang, dilanjut dengan main go-stop semalam suntuk.

Gara-gara sebab matinya si pemuda, aku jadi sedikit-sedikit teringat kisah cintaku selama menekuni pekerjaan di kota besar. Rasanya getir kalau teringat di saat menghadiri pemakaman orang begini.

Kami kenal semasa di bangku kuliah. Aku menyukai sifatnya yang ceria. Kami berkencan sekali sepekan atau kalau tidak ada jadwal kuliah. Lulus kami menyewa apartemen tak jauh dari tempat kerja. Aku mendapat kerja di perusahaan yang namanya mentereng, tapi dikenal suka menyusahkan karyawan.

Baca Juga :  Bidadari Bunga Sepatu

Dia pun berhasil diterima di perusahaan yang bagus. Begitu aku tidak tahan bekerja di perusahaanku, tanpa memberi tahu lebih dulu dia tiba-tiba menghilang dari tempat kami tinggal. Dia tidak bisa lagi dikabari. Baru sebulan kemudian aku diberi tahu kawanku kalau dia akan melangsungkan pernikahan. Dilihat dari luar, boleh dikatakan kalau kisah cinta yang kujalani memang biasa-biasa saja. Walau demikian, tetap saja terasa menyakitkan.

Baiklah. Kadar sakit akibat gagal cinta pada setiap individu memang berlainan. Tak bisa diukur secara tepat setepat termometer atau meteran gas. Meski begitu, apa harus mengakhiri hidup gara-gara putus cinta? Sungguh kerugian besar kalau harus mengakhiri hidup lantaran perkara cinta.

***

Kali ini si kaya yang meninggal dunia. Anak-anak si kaya meminta ibu membawa rombongan pelayat guna memeriahkan acara pemakaman di hari pertama. Dari gerbang jangryesik-jang megah yang disewa keluarga itu, berjejer pelbagai karangan bunga besar-besar.

Orang kaya tak perlu mengkhawatirkan di mana mesti meletakkan bunga di rumah duka yang megah. Orang kaya cukup melempar segepok uang dan orang lain yang akan menjalankan segala hal soal pemakaman. Dan itu juga berlaku untuk urusan menghaturkan duka sedalam-dalamnya.

Anak-anak si kaya bersiap menampilkan duka dengan menyewa rombongan ibu yang gampang menampilkan duka ditinggal si mati. Sedangkan anak-anak si kaya tidak perlu repot-repot tampak sedemikian berduka. Biarlah itu diurus orang lain, pikir mereka mungkin.

Menggeluti profesi begini memang kadang menimbulkan perasaan bersalah. Di satu sisi seperti berlakon di atas panggung; pura-pura menitiskan air mata demi orang yang tidak kita kenal. Di sisi lain, agar bisa makan dan menabung demi hidup, pekerjaan begini mesti diambil. Toh, bila tidak, pasti ada orang lain yang juga memerankan pekerjaan demikian supaya menyambung hidup.

Karena minggu ini aku cuti libur dan meminta tiga hari tidak bekerja ke ibu, aku memilih pergi memancing. Ingatan terakhirku soal memancing adalah ikan besar yang berhasil ditangkap ayah bertahun-tahun lampau.

Hingga suatu sore aku bangun dari tidur. Telepon rumah berdering nyaring. Deringnya keras betul. Seperti tergesa-gesa ingin disambungkan ke telinga manusia untuk menyampaikan suatu kabar. Kuangkat telepon dan di ujung saluran terdengar suara paman dalam rombongan pelayat ibu.

Ibu masuk rumah sakit. Sebelum acara pemakaman hari kedua diadakan, dia jatuh dan tak sadarkan diri saat bersiap untuk menghaturkan duka.

Hari-hari tanpa ibu di rumah terasa ganjil. Aku pergi pulang dari rumah menuju rumah sakit. Adik-adikku yang lain juga pulang ke kampung kami.

 

***

Hari ini aku tidak bekerja. Juga untuk dua hari berikutnya. Aku memakai selengkap pakaian hitam untuk menampilkan bahwa diriku tengah berduka. Ibuku mengembuskan napas terakhir setelah dirawat tiga pekan. Aku menerima tamu, para tetangga dan juga teman kerja ibuku.

Rombongan pelayat profesional. Seperti ibu, aku tak tahu apa mereka nanti bakal menangis secara tulus atau sekadar pura-pura sebagaimana selama ini berjalan. Biarlah hal itu tetap rahasia. Setidaknya tangis mereka dan juga tangisku bisa jadi penghibur bagi mendiang ibuku. Aku harap ibu tenang di sana. (*)

BAGUS DWI HANANTO, Lahir dan tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Novelnya yang sudah terbit berjudul Si Konsultan Cinta & Anjing yang Bahagia (2019).

Oleh BAGUS DWI HANANTO

Begitu tiba di acara pemakaman, aku menangis sejadi-jadinya. Instruksi yang ditekankan kepada kami adalah bahwa siapa menangis paling baik dapat memperoleh bayaran yang menjanjikan. Indikator menangis yang baik dalam acara pemakaman yakni sejauh mana penghayatan yang kami tampilkan mampu merenggut perhatian pelayat lain.

SEBAGAI pelayat profesional, perkara menangis sudah bukan lagi tahap yang sulit dalam pekerjaan ini. Menangis sampai meraung-raung, sampai tangan kami menggapai-gapai ketiadaan supaya impresi yang kami hadirkan begitu mengena perasaan orang-orang sekitar. Begitulah tetek bengek yang mesti kami kuasai. Tangisan yang dibikin sealamiah mungkin mengafirmasi keberadaan si mati sebelum pada akhirnya menjelma abu.

Terhitung hari ini, aku sudah tujuh tahun menekuni profesi sebagai pelayat. Suatu hari, sehabis tak kuasa bekerja di perusahaan gelap yang manipulatif dan kerap menyiksa karyawannya secara keji, aku memilih menyerah dan meninggalkan Seoul. Begitu sampai kampung halaman, ibu sudah menyambutku dengan aneka makanan dan pelbagai acar. Sudah ada berbotol-botol minuman buat teman kami ngobrol.

”Ikut ibu saja. Tidak usah pikirkan masa lalumu di kota besar. Di sini juga tidak apa-apa,” buka ibu.

Aku langsung berpikir, berarti sudah ketok palu. Aku sadar tidak ada jalan selain melakoni pekerjaan yang ditawarkan ibu. Aku tidak perlu memikirkannya lebih lanjut ketika itu.

”Apa aku mampu, Bu?” tanyaku.

Ibuku mendecakkan lidah. ”Ketika ayahmu meninggal dulu, kau sering kubawa setiap kali aku bekerja. Kau tentu sudah hafal betul bagaimana kami bekerja. Aku rasa tidak perlu latihan dulu, tidakkah begitu?”

Aku menghela napas. Kuserobot sebotol minuman langsung menenggaknya begitu saja.

”Cobalah menangis,” kata ibu.

Aku memasang mimik sedih lantas tersedu.

Ibu mendesah. ”Kurang penghayatan. Perhatikan bagaimana ibumu melakukannya.

Ibu mendadak menampilkan air muka sengsara. Kadar kesengsaraan yang sudah dilatihnya dan juga sudah dijalaninya lantaran hidup kami dari mula memang sengsara; berpadu membentuk ekspresi yang mengagumkan. Lantas dia tersedu-sedu sembari mengiba. Diumpamakan meja makan yang kami hadapi adalah meja yang memajang foto si mati lengkap dengan dupa dan ria-ria kedukaan. Ibu memang pelayat profesional, pertunjukannya memukauku tanpa makan waktu lama.

Pekerjaan pertama yang kujalani membutuhkan paling tidak tujuh orang pelayat profesional sebab si mati kurang punya banyak teman. Yang akan menangisi kepergian si mati boleh jadi bisa dihitung jari bilamana mengecualikan para pelayat yang dipesan jasanya oleh orang dekat si mati.

Kami berangkat pagi sekali dengan mengenakan selengkap pakaian serbahitam. Satu di antara kami memakai kacamata hitam. Awalnya, kukira dengan memakai kacamata begitu orang tidak bisa mengetahui apa dia benar-benar berduka atau tidak. Namun, tebakanku meleset.

Paman satu ini masih bisa menampilkan duka yang menakjubkan kendati dia memakai kacamata hitam. Memang benar pengalaman membikin orang terbiasa dalam menjalani suatu pekerjaan.

Pekerjaan pertamaku waktu itu berjalan lancar. Meski aku bisa dibilang kurang begitu piawai dibanding para paman dan ibu-ibu dalam rombongan. Walau begitu, aku masih dilibatkan dalam pekerjaan di hari kedua dan hari terakhir. Lantas pekerjaan berikutnya juga kulakoni dengan serius. Sebab, semenjak dulu aku senantiasa serius melakoni pekerjaan.

Satu pekerjaan mewajibkan kami ikut sampai si mati dikremasi. Cuma tersisa segelintir tulang dan abu setelah si mati dikremasi. Keluarga kemudian akan membakar barang-barang berharga si mati. Dan semoga dia yang pergi meninggalkan kami lebih dulu tidak memiliki penyesalan tersisa di dunia.

Baca Juga :  Selepas Buhaji Pergi

”Dulu waktu ayahmu meninggal kami juga menangis,” tutur ibu. ”Namun, ibu tidak tahu pasti apa rombongan menangis secara tulus atau cuma pura-pura sebagaimana menjalani profesi pelayat. Makin ke sini makin dirimu tidak tahu apakah air mata dan air muka sedih yang kautampilkan ke orang-orang yang meninggal punya makna.”

”Kupikir akan sama saja, Bu. Cuma karena kita sudah terlatih. Menangis jadi kurang bermakna. Tapi, tentu saja ada sedikit-sedikit makna. Orang memesan jasa kita karena mereka takut kalau-kalau yang meninggalkan mereka tidak ada yang menangisi.”

***

Yang terbaik dari pekerjaan ini adalah tidak diperlukan hierarki seperti ketika aku bekerja di perusahaan di kota besar. Cukup bersedia atau tidak bersedia ikut. Dan mampukah dirimu berperan sebagai orang yang berduka. Meski, yang namanya duka sudah bukan hal baru bagi aku maupun ibu.

Dulu ibu harus sendirian membiayai kami yang masih kecil. Aku dan ketiga adikku. Bangun pagi hari, ikut mencari ikan bersama ibu-ibu kalau tidak ada orang yang butuh jasa pelayat profesional. Laut yang begitu dekat adalah berkah bagi keluarga kami yang miskin. Dan begitu aku mendapat secercah peruntungan bertahun-tahun kemudian dengan diterima kerja di Seoul, aku mesti kembali ke titik awal sehabis tak kuat bekerja di sana.

Ibu menerimaku. Ibu orang yang terlihat tegar dan tidak gampang menyerah. Adik-adikku masih kuliah saat itu. Begitu mendengar aku memilih pulang kampung gara-gara tak tahan bekerja di bawah tekanan perusahaan gelap, semangat yang mereka bangun pun berangsur luntur.

Satu di antara mereka memutuskan menyudahi belajar di perguruan tinggi dan sekarang bekerja di minimarket tak jauh dari rumah. Ibu dan aku marah mulanya. Namun, kalau dipikir-pikir, begitu adikku satu ini memutuskan sesuatu tak ada yang sanggup menggeser keputusannya.

”Terserah kau saja. Asal jangan mengeluh di depanku kalau pekerjaanmu kurang enak,” ucap ibu.

Ucapannya sedikit melukaiku, tetapi aku berpikir lebih jauh: bahwa ibu sudah dikecewakan sekali dengan aku yang memilih pulang, barangkali. Maka kecewa untuk yang kedua kali tentu saja membuat dia tidak sanggup menahan omongan.

***

”Segini bayaranmu kali ini,” ucap ibu. Kumasukkan dalam kantong tanpa menghitungnya. Kunyalakan sebatang rokok dan menyeka keringat di sekitar pelipisku. Hari ini terasa panas.

Nama si mati Han Dong-woo. Usianya baru 28. Uh, sayang betul mampus di usia masih muda. Lebih-lebih mati karena kegagalan cinta. Orang tuanya sangat sayang anak ini padahal, kudengar dari ibu.

Pada pemakaman si pemuda Dong-woo, kami ikut berjaga untuk menyongsong hari duka berikutnya. Kami ikut minum-minum bersama keluarga, makan yukgaejang, dilanjut dengan main go-stop semalam suntuk.

Gara-gara sebab matinya si pemuda, aku jadi sedikit-sedikit teringat kisah cintaku selama menekuni pekerjaan di kota besar. Rasanya getir kalau teringat di saat menghadiri pemakaman orang begini.

Kami kenal semasa di bangku kuliah. Aku menyukai sifatnya yang ceria. Kami berkencan sekali sepekan atau kalau tidak ada jadwal kuliah. Lulus kami menyewa apartemen tak jauh dari tempat kerja. Aku mendapat kerja di perusahaan yang namanya mentereng, tapi dikenal suka menyusahkan karyawan.

Baca Juga :  Bidadari Bunga Sepatu

Dia pun berhasil diterima di perusahaan yang bagus. Begitu aku tidak tahan bekerja di perusahaanku, tanpa memberi tahu lebih dulu dia tiba-tiba menghilang dari tempat kami tinggal. Dia tidak bisa lagi dikabari. Baru sebulan kemudian aku diberi tahu kawanku kalau dia akan melangsungkan pernikahan. Dilihat dari luar, boleh dikatakan kalau kisah cinta yang kujalani memang biasa-biasa saja. Walau demikian, tetap saja terasa menyakitkan.

Baiklah. Kadar sakit akibat gagal cinta pada setiap individu memang berlainan. Tak bisa diukur secara tepat setepat termometer atau meteran gas. Meski begitu, apa harus mengakhiri hidup gara-gara putus cinta? Sungguh kerugian besar kalau harus mengakhiri hidup lantaran perkara cinta.

***

Kali ini si kaya yang meninggal dunia. Anak-anak si kaya meminta ibu membawa rombongan pelayat guna memeriahkan acara pemakaman di hari pertama. Dari gerbang jangryesik-jang megah yang disewa keluarga itu, berjejer pelbagai karangan bunga besar-besar.

Orang kaya tak perlu mengkhawatirkan di mana mesti meletakkan bunga di rumah duka yang megah. Orang kaya cukup melempar segepok uang dan orang lain yang akan menjalankan segala hal soal pemakaman. Dan itu juga berlaku untuk urusan menghaturkan duka sedalam-dalamnya.

Anak-anak si kaya bersiap menampilkan duka dengan menyewa rombongan ibu yang gampang menampilkan duka ditinggal si mati. Sedangkan anak-anak si kaya tidak perlu repot-repot tampak sedemikian berduka. Biarlah itu diurus orang lain, pikir mereka mungkin.

Menggeluti profesi begini memang kadang menimbulkan perasaan bersalah. Di satu sisi seperti berlakon di atas panggung; pura-pura menitiskan air mata demi orang yang tidak kita kenal. Di sisi lain, agar bisa makan dan menabung demi hidup, pekerjaan begini mesti diambil. Toh, bila tidak, pasti ada orang lain yang juga memerankan pekerjaan demikian supaya menyambung hidup.

Karena minggu ini aku cuti libur dan meminta tiga hari tidak bekerja ke ibu, aku memilih pergi memancing. Ingatan terakhirku soal memancing adalah ikan besar yang berhasil ditangkap ayah bertahun-tahun lampau.

Hingga suatu sore aku bangun dari tidur. Telepon rumah berdering nyaring. Deringnya keras betul. Seperti tergesa-gesa ingin disambungkan ke telinga manusia untuk menyampaikan suatu kabar. Kuangkat telepon dan di ujung saluran terdengar suara paman dalam rombongan pelayat ibu.

Ibu masuk rumah sakit. Sebelum acara pemakaman hari kedua diadakan, dia jatuh dan tak sadarkan diri saat bersiap untuk menghaturkan duka.

Hari-hari tanpa ibu di rumah terasa ganjil. Aku pergi pulang dari rumah menuju rumah sakit. Adik-adikku yang lain juga pulang ke kampung kami.

 

***

Hari ini aku tidak bekerja. Juga untuk dua hari berikutnya. Aku memakai selengkap pakaian hitam untuk menampilkan bahwa diriku tengah berduka. Ibuku mengembuskan napas terakhir setelah dirawat tiga pekan. Aku menerima tamu, para tetangga dan juga teman kerja ibuku.

Rombongan pelayat profesional. Seperti ibu, aku tak tahu apa mereka nanti bakal menangis secara tulus atau sekadar pura-pura sebagaimana selama ini berjalan. Biarlah hal itu tetap rahasia. Setidaknya tangis mereka dan juga tangisku bisa jadi penghibur bagi mendiang ibuku. Aku harap ibu tenang di sana. (*)

BAGUS DWI HANANTO, Lahir dan tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Novelnya yang sudah terbit berjudul Si Konsultan Cinta & Anjing yang Bahagia (2019).

Terpopuler

Artikel Terbaru