33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Through It All

PUKUL 22.00, mobil putih milik Genan melesat, membelah malam yang sunyi di Kota Bandung. Dengan rasa kantuk yang kian lama semakin mengerubungiku, Genan seketika memulai percakapan yang sungguh tidak membuatku nyaman.

“Udah aku bilang, aku ini gak mau nikah muda, Genan!”

Genan mengusap kasar wajahnya, terlihat sudah frustasi dengan perkataanku yang terkesan sangat memaksa. “Apanya yang muda sih, Lyn? Umur kamu dan aku udah cukup buat nikah, apa yang bikin kamu gak mau sih?”

“Nan, aku sama kamu udah pernah bahas ini ya. Kamu pun setuju sama alasan aku, sekarang kenapa kamu kayak nyudutin aku banget gini?” tanyaku marah kepada Genan.

Di hadapanku, aku tahu kalau Genan sedang menahan marah, jelas sekali. Sebenarnya, aku sangat takut dengan situasi seperti ini, aku takut orang tersabar yang pernah aku kenal ini sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.

“Ya terus kapan, Lyn? Tahun kemarin aku bisa maklumin kalo umur kamu emang masih umur-umur semangat kerja. Tapi makin ke sini, kamu tau gak kalo diri kamu ini, susah fokus ke dua pekerjaan? Kamu gak bisa bagi waktu antara kerjaan kamu sama aku, Lyn. Terus aku harus nunggu sampai kapan?”

Aku mengalihkan tatapanku, entah ke mana saja yang penting aku tidak bertatapan dengan seorang Genandra Nathaniel. Sungguh, topik pembicaraan seperti ini benar-benar membuatku muak. Aku yakin Genan pun juga merasakan hal itu, apalagi, tekanan dari orang tuanya. Ah, aku terkesan sangat jahat kalau seperti ini.

“Gak tau.”

Genan menatapku tidak percaya, sepertinya dia sudah kelewat frustasi dengan sikapku. Kulihat ia tengah mengacak-acak rambutnya sendiri, kemudian bangkit dari sofa. “Are you being serious right now? Tell me that it was a joke, that’s not even funny lol. Setelah semua yang aku tanyain, kamu cuma jawab gitu doang? Bercanda banget ya kita ini buat kamu Lyn.”

“Ya terus aku harus apa? Aku gak mau, masih mau dipaksa?”

Give me one reason why did you really want to chose that way.”

“Aku udah pernah bilang, gak usah pura-pura gak inget gitu.”

“Itu tahun lalu. Dan alasan itu udah gak berlaku buat sekarang, umur kita udah cukup, goals kamu udah terpenuhi semua bulan lalu, dan aku, udah ditanyain mulu kapan mau menikah. Bahkan sama keluarga kamu sendiri.”

Banyak sekali hal yang belum bisa aku perbaiki dan aku merasa kalau diriku yang seperti ini belum cocok untuk bersanding dengan Genan yang sangat sempurna. Ya, walaupun manusia tidak ada yang sempurna, akan tetapi di mataku Genan sudah cukup sempurna sebagai pria.

Berulang kali aku memaksa otakku berpikir, haruskah aku mengungkapkan alasan sebenarnya kepada Genan? Atau lebih baik tetap bungkam?

“Lyn? Answer me,” suara tegas milik Genan kembali mengintrupsi lamunanku.

“Gak ada, Nan. Aku cuma gak mau dan kalo kamu gak bisa terima, yaudah.”

Genan tersentak, aku pun sama. Aku tidak percaya kalau kalimat tidak menyenangkan seperti itu bisa keluar dari mulutku. Oh, kumohon, ada apa sih dengan diriku ini?

“Yaudah …? Do you want me to end up this? After almost 5 years we carrying each other?”

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

Enggak gitu, Nan.

Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang. Jujur, aku sangat tidak siap dengan hubungan yang harus berlanjut sampai ke jenjang tinggi seperti itu. Siap, akan tetapi tidak dalam waktu dekat. Sedangkan Genan, ia sangat ingin mempunyai status yang lebih daripada seorang ‘pacar laki-laki’. Aku tahu Genan mau menunggu sebentar lagi, tapi akibat perkataanku tadi, aku yakin ia semakin ragu denganku.

Ah, rasanya aku ingin menangis, sungguh.“Hey? Why are you keep –oh no, please no. Don’t cry Lyn oh my God.”

Terdengar kembali helaan napas dari Genan, “Lyn … nangis aja gapapa, tapi aku mau sambil ngomong, dengerin, ya?” aku mengangguk kecil setelah mendengar perkataan darinya.

“Lyn, kurang lebih 5 tahun, kita bareng. Susah seneng aku habisin sama kamu, kamu begitu juga, kan? Ya, intinya udah banyak banget hal yang kita laluin bareng-bareng. Udah banyak banget hal yang kamu tau tentang aku, begitu juga dengan aku.” Genan mengelus pelan rambut kepalaku, selagi melanjutkan pembicaraannya.

“Tapi ada satu lagi Lyn, yang harus kamu tau kalau setiap hubungan itu pasti ada tujuannya. Banyak banget tujuannya, tapi yang pasti terjadi cuma dua, antara putus dan nikah. Kamu juga pasti tau, di umur yang kayak kita gini udah gak pantes main-main sama suatu hubungan. We are not a kids who really like to play a long time that we have, right?

Aku pacarin kamu, pasti ada tujuan, dan kamu tau tujuan aku gak pernah ke arah yang buruk. Dari awal, aku pilih kamu dan percaya kamu buat bisa di sisi aku terus, tapi kayaknya, kamu gak mikir begitu, ya? Haha.”

No. Please no, Nan. That’s not the point….

Waktu itu, aku dan Ganen resmi berpisah, setelah 5 tahun berjuang bersama, kami pun akhirnya menyerah dengan keadaan. Semoga bagi para pembaca yang sedang mengalami hal ini, tolong jangan berkenti, ya. Cukup aku dan Ganen saja yang menyerahkan diri, kalian tidak boleh.

***

Kebahagiaan sederhana yang selalu ku syukuri setiap hari adalah di waktu penghunjung hari saat pulang dari kantor. Ditemani dengan semburat langit yang kemerahan juga matahari yang turun perlahan sebab perannya akan terganti oleh bulan.Dengan cepat aku segera masuk ke dalam lift yang akan membawaku menuju basement tempat parkiran berada. Beberapa menit kemudian pintu lift di hadapanku terbuka dan hal yang kuinginkan saat ini adalah kembali ke meja kerja. Aku ingin lembur sampai pagi buta.

“Baru pulang?” pertanyaan itu tiba-tiba datang dari laki-laki yang berada tepat di hadapanku. Berdiri tegap selagi menatapku dengan tatapan sendunya.

Aku hanya bisa mematung setelah secepat mungkin mengalihkan pandangan dan tidak menyadari pintu lift kembali ingin tertutup. Sebelum aku bisa menekan tombol terbuka aku melihat badannya yang dengan sergap menghalangi pintu lift kemudian tangannya menarikku keluar dengan cepat.

“Jangan suka melamun makanya.”

“Maaf, aku duluan.” dengan cepat aku segera memutar badan berusaha pergi tanpa ingin berlama-lama menghadapi dirinya. Sebelum dapat maju selangkah, tiba-tiba saja seseorang menghalangiku. Iya, laki-laki itu lagi.

Baca Juga :  Senja Wabah

Tidak banyak yang bisa kulakukan saat ini dan aku memilih untuk memperhatian wajahnya. Hal selanjutnya yang bisa aku lihat adalah muka laki-laki itu yang terlihat semakin tirus, bahkan rahangnya terukir jelas.

“Aku tau kamu gak akan datang, tapi tolong terima undangannya.” mataku menangkap benda tipis yang keluar dari dalam jasnya. Cukup lama aku menatap lekat amplop putih tersebut sebelum mengambil dan menyimpannya ke dalam tas.

Congrats Genandra, aku bakal datang.”

Butuh nyali besar juga bodoh luar biasa bagiku untuk mampu mengungkapkan kalimat barusan. Entah sampai kapan kakiku masih enggan melangkah maju, selain karena terhalang oleh Genandra, juga terhalang pikiran kalutku sedari tadi dan sesak di dadaku yang tiba-tiba datang semenit yang lalu rasanya betah berlama-lama.

Genandra mulai mengambil satu langkah lebih dekat ke arahku. Celaka, sejak kapan aku hapal kembali dengan wangi maskulinnya yang begitu memabukkan ini.

Genandra Nathaniel, parfum Tom Ford kamu ini buat aku jadi susah fokus.“Masih punya pikiran yang sama kayak setahun yang lalu?” “Tentang?” “Tentang belum mau menikah,” pertanyaan Genan membuatku mengangguk perlahan selagi menghembuskan napas kasar. Hati dia terbuat dari apa sampai tega menanyakan aku hal ini setelah tadi memberiku undangan pernikahan. Brengsek.

Pertengkaran satu tahun yang lalu kembali terlintas di pikiranku. Ada sesuatu yang rasanya tidak bisa lagi aku tahan dan entah dari mana laki-laki ini seakan mengerti. Hal berikutnya yang aku sadari adalah lengannya yang melingkar sempurna di punggungku, juga, telapak tangannya yang mengusap lembut kepalaku.

“Maaf, kemeja kamu jadi basah,” bahkan aku sangat benci dengan suara serak yang keluar begitu saja dari mulutku ini.

Ini mungkin terdengan konyol. Tapi aku masih ingin berlama-lama atau kalau bisa aku ingin waktu berhenti saat ini juga, cukup sampai air mataku terkuras habis atau sampai aku kembali yakin kalau keputusan untuk menyudahi semuanya setahun yang lalu masih tepat sampai detik ini.

“Itu undangan pernikahan Kak Johnny, bukan punya aku,” tubuhku menegang seketika. “Kamu pikir ngelupain semua tentang kita bisa secepat itu?”

Seharusnya aku senang dengan kalimat barusan tapi sekarang sesakku makin menjadi, air mataku tidak berhenti mengalir dan pelukannya terasa semakin erat. Aku semakin membenci ini semua. Aku semakin membenci dengan keraguan yang semakin tumbuh. “Aku mau pulang,” ucapku pelan dan Genan segera melepaskan pelukan eratnya dengan begitu saja.Perasaan kecewa yang entah dari mana ini tiba-tiba hadir.

Aku sebenarnya kenapa?

“Aku bakal tunggu,” langkah kakiku terhenti mendengar seruannya dari balik pundak. “Iya, aku bakal datang.”

“Aku bakal tungguin kamu. Aku bakal tungguin sampai hati dan pikiran kamu udah bisa nerima aku lagi, kapanpun itu. Aku gak butuh kita menikah, aku gak butuh itu semua. I just need you.”

“Genan ….”

When I’m on my darkest days, when I’m at my worst, even when I’m start to losing my faith again. I just need you by my side. And when all of this no longer feels new and suprising. I still believe that we can through it all.” (*)

(Dea Adelia PutriMAN 2 Kota MakassarIg : @d.adeeel_)

PUKUL 22.00, mobil putih milik Genan melesat, membelah malam yang sunyi di Kota Bandung. Dengan rasa kantuk yang kian lama semakin mengerubungiku, Genan seketika memulai percakapan yang sungguh tidak membuatku nyaman.

“Udah aku bilang, aku ini gak mau nikah muda, Genan!”

Genan mengusap kasar wajahnya, terlihat sudah frustasi dengan perkataanku yang terkesan sangat memaksa. “Apanya yang muda sih, Lyn? Umur kamu dan aku udah cukup buat nikah, apa yang bikin kamu gak mau sih?”

“Nan, aku sama kamu udah pernah bahas ini ya. Kamu pun setuju sama alasan aku, sekarang kenapa kamu kayak nyudutin aku banget gini?” tanyaku marah kepada Genan.

Di hadapanku, aku tahu kalau Genan sedang menahan marah, jelas sekali. Sebenarnya, aku sangat takut dengan situasi seperti ini, aku takut orang tersabar yang pernah aku kenal ini sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.

“Ya terus kapan, Lyn? Tahun kemarin aku bisa maklumin kalo umur kamu emang masih umur-umur semangat kerja. Tapi makin ke sini, kamu tau gak kalo diri kamu ini, susah fokus ke dua pekerjaan? Kamu gak bisa bagi waktu antara kerjaan kamu sama aku, Lyn. Terus aku harus nunggu sampai kapan?”

Aku mengalihkan tatapanku, entah ke mana saja yang penting aku tidak bertatapan dengan seorang Genandra Nathaniel. Sungguh, topik pembicaraan seperti ini benar-benar membuatku muak. Aku yakin Genan pun juga merasakan hal itu, apalagi, tekanan dari orang tuanya. Ah, aku terkesan sangat jahat kalau seperti ini.

“Gak tau.”

Genan menatapku tidak percaya, sepertinya dia sudah kelewat frustasi dengan sikapku. Kulihat ia tengah mengacak-acak rambutnya sendiri, kemudian bangkit dari sofa. “Are you being serious right now? Tell me that it was a joke, that’s not even funny lol. Setelah semua yang aku tanyain, kamu cuma jawab gitu doang? Bercanda banget ya kita ini buat kamu Lyn.”

“Ya terus aku harus apa? Aku gak mau, masih mau dipaksa?”

Give me one reason why did you really want to chose that way.”

“Aku udah pernah bilang, gak usah pura-pura gak inget gitu.”

“Itu tahun lalu. Dan alasan itu udah gak berlaku buat sekarang, umur kita udah cukup, goals kamu udah terpenuhi semua bulan lalu, dan aku, udah ditanyain mulu kapan mau menikah. Bahkan sama keluarga kamu sendiri.”

Banyak sekali hal yang belum bisa aku perbaiki dan aku merasa kalau diriku yang seperti ini belum cocok untuk bersanding dengan Genan yang sangat sempurna. Ya, walaupun manusia tidak ada yang sempurna, akan tetapi di mataku Genan sudah cukup sempurna sebagai pria.

Berulang kali aku memaksa otakku berpikir, haruskah aku mengungkapkan alasan sebenarnya kepada Genan? Atau lebih baik tetap bungkam?

“Lyn? Answer me,” suara tegas milik Genan kembali mengintrupsi lamunanku.

“Gak ada, Nan. Aku cuma gak mau dan kalo kamu gak bisa terima, yaudah.”

Genan tersentak, aku pun sama. Aku tidak percaya kalau kalimat tidak menyenangkan seperti itu bisa keluar dari mulutku. Oh, kumohon, ada apa sih dengan diriku ini?

“Yaudah …? Do you want me to end up this? After almost 5 years we carrying each other?”

Baca Juga :  Tentang Ketiak Kota yang tanpa Deodoran

Enggak gitu, Nan.

Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang. Jujur, aku sangat tidak siap dengan hubungan yang harus berlanjut sampai ke jenjang tinggi seperti itu. Siap, akan tetapi tidak dalam waktu dekat. Sedangkan Genan, ia sangat ingin mempunyai status yang lebih daripada seorang ‘pacar laki-laki’. Aku tahu Genan mau menunggu sebentar lagi, tapi akibat perkataanku tadi, aku yakin ia semakin ragu denganku.

Ah, rasanya aku ingin menangis, sungguh.“Hey? Why are you keep –oh no, please no. Don’t cry Lyn oh my God.”

Terdengar kembali helaan napas dari Genan, “Lyn … nangis aja gapapa, tapi aku mau sambil ngomong, dengerin, ya?” aku mengangguk kecil setelah mendengar perkataan darinya.

“Lyn, kurang lebih 5 tahun, kita bareng. Susah seneng aku habisin sama kamu, kamu begitu juga, kan? Ya, intinya udah banyak banget hal yang kita laluin bareng-bareng. Udah banyak banget hal yang kamu tau tentang aku, begitu juga dengan aku.” Genan mengelus pelan rambut kepalaku, selagi melanjutkan pembicaraannya.

“Tapi ada satu lagi Lyn, yang harus kamu tau kalau setiap hubungan itu pasti ada tujuannya. Banyak banget tujuannya, tapi yang pasti terjadi cuma dua, antara putus dan nikah. Kamu juga pasti tau, di umur yang kayak kita gini udah gak pantes main-main sama suatu hubungan. We are not a kids who really like to play a long time that we have, right?

Aku pacarin kamu, pasti ada tujuan, dan kamu tau tujuan aku gak pernah ke arah yang buruk. Dari awal, aku pilih kamu dan percaya kamu buat bisa di sisi aku terus, tapi kayaknya, kamu gak mikir begitu, ya? Haha.”

No. Please no, Nan. That’s not the point….

Waktu itu, aku dan Ganen resmi berpisah, setelah 5 tahun berjuang bersama, kami pun akhirnya menyerah dengan keadaan. Semoga bagi para pembaca yang sedang mengalami hal ini, tolong jangan berkenti, ya. Cukup aku dan Ganen saja yang menyerahkan diri, kalian tidak boleh.

***

Kebahagiaan sederhana yang selalu ku syukuri setiap hari adalah di waktu penghunjung hari saat pulang dari kantor. Ditemani dengan semburat langit yang kemerahan juga matahari yang turun perlahan sebab perannya akan terganti oleh bulan.Dengan cepat aku segera masuk ke dalam lift yang akan membawaku menuju basement tempat parkiran berada. Beberapa menit kemudian pintu lift di hadapanku terbuka dan hal yang kuinginkan saat ini adalah kembali ke meja kerja. Aku ingin lembur sampai pagi buta.

“Baru pulang?” pertanyaan itu tiba-tiba datang dari laki-laki yang berada tepat di hadapanku. Berdiri tegap selagi menatapku dengan tatapan sendunya.

Aku hanya bisa mematung setelah secepat mungkin mengalihkan pandangan dan tidak menyadari pintu lift kembali ingin tertutup. Sebelum aku bisa menekan tombol terbuka aku melihat badannya yang dengan sergap menghalangi pintu lift kemudian tangannya menarikku keluar dengan cepat.

“Jangan suka melamun makanya.”

“Maaf, aku duluan.” dengan cepat aku segera memutar badan berusaha pergi tanpa ingin berlama-lama menghadapi dirinya. Sebelum dapat maju selangkah, tiba-tiba saja seseorang menghalangiku. Iya, laki-laki itu lagi.

Baca Juga :  Senja Wabah

Tidak banyak yang bisa kulakukan saat ini dan aku memilih untuk memperhatian wajahnya. Hal selanjutnya yang bisa aku lihat adalah muka laki-laki itu yang terlihat semakin tirus, bahkan rahangnya terukir jelas.

“Aku tau kamu gak akan datang, tapi tolong terima undangannya.” mataku menangkap benda tipis yang keluar dari dalam jasnya. Cukup lama aku menatap lekat amplop putih tersebut sebelum mengambil dan menyimpannya ke dalam tas.

Congrats Genandra, aku bakal datang.”

Butuh nyali besar juga bodoh luar biasa bagiku untuk mampu mengungkapkan kalimat barusan. Entah sampai kapan kakiku masih enggan melangkah maju, selain karena terhalang oleh Genandra, juga terhalang pikiran kalutku sedari tadi dan sesak di dadaku yang tiba-tiba datang semenit yang lalu rasanya betah berlama-lama.

Genandra mulai mengambil satu langkah lebih dekat ke arahku. Celaka, sejak kapan aku hapal kembali dengan wangi maskulinnya yang begitu memabukkan ini.

Genandra Nathaniel, parfum Tom Ford kamu ini buat aku jadi susah fokus.“Masih punya pikiran yang sama kayak setahun yang lalu?” “Tentang?” “Tentang belum mau menikah,” pertanyaan Genan membuatku mengangguk perlahan selagi menghembuskan napas kasar. Hati dia terbuat dari apa sampai tega menanyakan aku hal ini setelah tadi memberiku undangan pernikahan. Brengsek.

Pertengkaran satu tahun yang lalu kembali terlintas di pikiranku. Ada sesuatu yang rasanya tidak bisa lagi aku tahan dan entah dari mana laki-laki ini seakan mengerti. Hal berikutnya yang aku sadari adalah lengannya yang melingkar sempurna di punggungku, juga, telapak tangannya yang mengusap lembut kepalaku.

“Maaf, kemeja kamu jadi basah,” bahkan aku sangat benci dengan suara serak yang keluar begitu saja dari mulutku ini.

Ini mungkin terdengan konyol. Tapi aku masih ingin berlama-lama atau kalau bisa aku ingin waktu berhenti saat ini juga, cukup sampai air mataku terkuras habis atau sampai aku kembali yakin kalau keputusan untuk menyudahi semuanya setahun yang lalu masih tepat sampai detik ini.

“Itu undangan pernikahan Kak Johnny, bukan punya aku,” tubuhku menegang seketika. “Kamu pikir ngelupain semua tentang kita bisa secepat itu?”

Seharusnya aku senang dengan kalimat barusan tapi sekarang sesakku makin menjadi, air mataku tidak berhenti mengalir dan pelukannya terasa semakin erat. Aku semakin membenci ini semua. Aku semakin membenci dengan keraguan yang semakin tumbuh. “Aku mau pulang,” ucapku pelan dan Genan segera melepaskan pelukan eratnya dengan begitu saja.Perasaan kecewa yang entah dari mana ini tiba-tiba hadir.

Aku sebenarnya kenapa?

“Aku bakal tunggu,” langkah kakiku terhenti mendengar seruannya dari balik pundak. “Iya, aku bakal datang.”

“Aku bakal tungguin kamu. Aku bakal tungguin sampai hati dan pikiran kamu udah bisa nerima aku lagi, kapanpun itu. Aku gak butuh kita menikah, aku gak butuh itu semua. I just need you.”

“Genan ….”

When I’m on my darkest days, when I’m at my worst, even when I’m start to losing my faith again. I just need you by my side. And when all of this no longer feels new and suprising. I still believe that we can through it all.” (*)

(Dea Adelia PutriMAN 2 Kota MakassarIg : @d.adeeel_)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru