Lain kali kalau bikin kepanitiaan kelompencapir mbok yang pas. Kelompencapir, singkatan dari kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa, disaksikan banyak orang. Ini ngetop banget di zaman Pak Harto, istilah yang dipinjam lagi untuk kegiatan RT/RW Sastro-Jendro.
—
TUJUANNYA membicarakan segala sesuatu yang tak akan pernah selesai. Misalnya, apakah ngantuk itu seperti ketemu jodoh? Ngantuk tak bisa direncanakan. Apakah pertanyaan ”kapan nikah” bagi penyandang front pembela insomnia yang makin meluas sejatinya sami mawon dengan ”kapan kamu ngantuk”?
Segala sesuatu yang tak akan pernah selesai ini mahapenting untuk dikelompencapirkan. Barangkali lebih penting ketimbang ”hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l”, yang ternyata masih bisa diselesaikan secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Teramat penting, maka seksi konsumsi baiknya dipilih yang badannya segar. Narasumber yang datang dari jauh-jauh pas ditawari makan jadi semangat. Moderator jangan dipasrahkan ke tipe penyendiri. Sudah nyeri meriang pula. Sudah penyendiri pendiam pula. Penonton bubar. Bila tak bubar, pasti ngantuk. Bila tak menguap-nguap, pasti sok segar saja demi ndak enak sama Pak Bupati.
***
Begitulah pendapat Sastro. Hal yang tak akan pernah selesai terjadi di sini. Itulah perbedaan antara Sastro dan istrinya, Jendro. Jendro berpikir, tujuan kegiatan kelompencapir adalah memperbaiki warga RT/RW-nya sendiri. Orang yang kerempeng, yang tak suka buah dan sayur-mayur, kalau dijadikan seksi konsumsi pasti tergerak untuk makan buah dan sayur supaya tampak segar. Agar kalau nawari makan-minum narsum sepantas Ade Rai saat menawarkan alat-alat kebugaran, bukan jomplang seperti Pak Jokowi bila menawarkan peranti fitnes.
”Lho, kamu menghina presiden kita?” Sastro bersiap-siap melapor polisi. Lupa ia bahwa presiden bukanlah simbol negara sehingga kalau ada penghinaan kepadanya harus pribadi presiden itu sendiri yang melaporkan. Lebih fatal lagi, ia juga lupa bahwa penghinanya adalah istrinya sendiri.
Jendro geleng-geleng membanting sapu, ”Maksudku bukan begitu, Masssss…hadeuuuuh…Bukan aku menghina Pak Jokowi. Semua orang tahu di balik sosoknya yang kerempeng dan klemar-klemer, Pak Jokowi kukuh pendiriannya. Malah kudengar Ibu Mega sampai Pak Luhut pun sejatinya nggak mampu memegang ekor beliau.”
”Contohnya?”
”Ya, mungkin soal pemindahan ibu kota. Soal diteruskannya proyek kereta cepat Bandung–Jakarta yang sekarang mengambil dana dari APBN. Ya, nggak tahulah. Aku juga cuma dengar-dengar. Tapi, yakinlah aku, di balik tubuh kerontangnya Pak Jokowi teguh pada prinsip. Aku cuma bilang, beliau tidak pas kalau jadi bintang iklan alat kebugaran. Pasnya mungkin jadi pembicara untuk webinar, bagaimana memupuk kepribadian baja dalam diri manusia.”
”Terus, kenapa bapak-bapak rumah 54 A itu kamu dapuk jadi moderator. Semua orang tahu, dia itu menemui kurir yang dia butuh saja agak malu-malu. Orang-orang se-RT sini sampai capek mendengar anak-anak ekspedisi memanggil-manggil namanya di pagar 54 A. Orang itu tak kunjung keluar. Malu. Ini malah kamu jadikan moderator!”
”Tujuanku jelas! Setelah kelompencapir ini Pak Pri itu berubah menjadi manusia yang bergaul dengan tetangga. Begitu ada kurir cepat keluar. Kurir-kurir tak perlu sampai mengusik tetangga. Ini tujuanku. Dan itu terbukti. Lagian hadirin kelompencapir itu bertahan kan? Kursi-kursi sampai akhir acara masih penuh!”
”Mereka bertahan, tetapi pada ngantuk!”
”Mereka tak ngantuk. Tak satu pun foto-foto dokumentasi membuktikan ada yang menguap. Kalau lebih banyak foto tentang bapak-bapak, iya. Pak Cupu yang kutugasi jadi fotografer itu memang takut perempuan. Cuma, ya sudah baguslah, masih ada satu–dua ibu-ibu di album kelompencapir pekan lalu. Aku yakin di kelompencapir-kelompencapir mendatang akan mulai banyak dokumentasi foto ibu-ibu. Kudengar Pak Cupu sekarang mulai berani uluk salam ke ibu-ibu yang sedang menyapu halaman. Ada perubahan kan?”
”Ya, tapi orang-orang sebenarnya ngantuk. Mereka cuma pura-pura segar. Ndak enak sama Pak Bupati. Orang-orang tidak mendengar soal aborsi yang dibolehkan buat korban hasil perkosaan. Orang-orang tidak mendengar soal artis yang sepulang dari mancanegara kabur dari karantina Covid-19.”
Dan banyak lagi yang terlewat dari perhatian hadirin.
***
Hal-hal lain yang tak akan pernah selesai adalah perbedaan pendapat Sastro-Jendro tentang dipilihnya bunglon sebagai anjing penjaga kelompencapir. Hewan sejenis kadal itu dikalungi tulisan, ”Aku ini anjing penjaga lho.”
Kenapa buat peran anjing penjaga tidak langsung saja Jendro menugasi rottweiler… Atau sekalian pit bull?
Jangan. Menurut Jendro, anjing tak perlu mengaku bahwa dirinya anjing. Padahal, orang sekarang lebih percaya pengakuan daripada kenyataan. Pancasialis yang rendah hati mengaku belum Pancasilais tak dihargai. Sama sekali tak Pancasilais, tapi gembar-gembor bahwa dirinya Pancasilais, malah lebih aman.
Jendro malah mengusulkan agar bunglon berkalung pengakuan ”aku ini anjing penjaga lho” ditugasi mengawal puncak Festival Film Indonesia 10 November mendatang.
”Ndak usah!” tukas Sastro. ”Acara kesenian tidak akan pernah dihadiri berbagai gubernur, bupati, dan walkot seperti acara olahraga semisal PON Papua. Sebab, putra daerah pemenang Piala Citra nggak laku diajak selfie buat kampanye…” (*)