31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Pernikahan, Socrates, dan Pertanyaan tentang Kebahagiaan

Buku Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya” memang tidak mendakwahkan agar seseorang menikah. Tapi sangat relevan dibaca oleh mereka yang sedang merencanakan atau telah menikah. Sebab, di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis atau lebih tepatnya falsafah pernikahan.

SAYA membayangkan buku Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya” ini dibaca oleh Socrates dengan raut wajah yang semringah dan berkata dalam ungkapan bahasa Jawa populer, kandani kok! (dibilangin kok!). Apa sebab? Karena Socrates pernah bilang, ”Bagaimanapun, menikahlah. Jika mendapatkan pasangan yang baik, engkau akan bahagia. Namun jika mendapatkan pasangan yang tidak baik, engkau akan menjadi filsuf.”

Ungkapan Socrates di atas ada yang menyebutnya sebagai satire. Tapi, sebenarnya dapat dirasionalisasi bahwa dengan berkeluarga, punya pasangan hidup yang diikat dalam tali pernikahan, akan terjadi interaksi yang tidak selalu linear ”damai”. Tapi penuh dinamika sebagai konsekuensi hidup bersama orang lain.

Maka, hal wajar jika kemudian muncul ”konflik”, riak-riak kecil percekcokan dalam keluarga. Dan, inilah seni pernikahan yang memantik seseorang untuk selalu berpikir tiada henti, layaknya seorang filsuf.

Mencoba bersetuju dengan Socrates, muncul pertanyaan, apakah tidak mungkin seseorang hidup bahagia bersama keluarganya sekaligus dia sebagai seorang filsuf?

Haidar Bagir, penulis buku Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya”, dapat melampaui pendapat Socrates. Dia tampak bahagia bersama keluarganya dan dalam arti yang sangat lentur layak disebut sebagai seorang filsuf atau setidaknya pemikir dan pengkaji filsafat, yang selalu berupaya mencari makna terdalam pada setiap objek realitas.

Buku Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya” memang tidak mendakwahkan agar seseorang menikah atau ”mati” saja. Tetapi sangat relevan dibaca oleh mereka yang sedang merencanakan atau telah menikah. Sebab, di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis atau lebih tepatnya falsafah pernikahan.

Di sini, saya lebih suka menyebut ”pernikahan” daripada diksi yang dipakai oleh Haidar Bagir, yaitu ”perkawinan”. Istilah ”kawin” atau ”perkawinan” di Indonesia kadang memiliki konotasi negatif. Orang kawin belum tentu menikah, tetapi orang yang menikah kemungkinan besar sudah menjalankan ”perkawinan”.

Baca Juga :  My Sweetest Coffee

Haidar Bagir membagikan pengalaman hidupnya dalam membangun keluarga yang harmonis dan penuh bahagia. Tidak hanya suka, tapi juga duka. Tidak hanya sukses, tapi juga kegagalan-kegagalannya, yang dibingkai dalam spektrum setidaknya empat perspektif: tasawuf, tafsir, psikologi, dan sedikit filsafat.

Sikap rendah hati Haidar Bagir patut dicontoh. Ketidaksempurnaannya sebagai kepala rumah tangga justru diakui sebagai bagian dari bumbu penyedap dalam mahligai rumah tangga.

”Buku yang berisi kiat-kiat praktis merawat kehidupan perkawinan ini sejatinya adalah kisah pembelajaran penulis, tentu termasuk di dalamnya kegagalan-kegagalan yang terjadi. Jadi, ketika pembaca membaca bagian tentang pentingnya bersikap ihsan (indah/sempurna) terhadap pasangan hidup, ada saat-saat penulis justru gagal bersikap demikian kepada istri penulis.

Demikian pula saat pembaca membaca kiat tentang pentingnya kesetaraan dalam kehidupan suami istri, itu sesungguhnya secara implisit mengandung pernyataan kegagalan penulis. Yakni, bahwa pada saat-saat tertentu, penulis tidak memperlakukan istri penulis dengan setara” (hal 23), tulis Haidar Bagir.

Haidar Bagir boleh dibilang ”paket komplet”. Dia sukses sebagai pengusaha, bos Mizan Group, intelektual publik, penulis prolifik, dan melalui buku ini, menahbiskan dirinya sebagai seorang kepala rumah tangga yang tidak hanya berhasil mendidik anak-anaknya. Tapi juga hendak menularkan aura positif kepada semua orang.

Haidar Bagir berupaya lebih mendekatkan diri kepada pembaca dengan menyebut ”anakku” di setiap penggalan paragraf. Sebuah gaya tulisan yang mengingatkan pada buku Ayyuhal Walad (Wahai Anak) karya Imam Al Ghazali.

Di antara tema menarik yang dibahas oleh Haidar Bagir dalam buku setebal 226 halaman ini tentang terminologi sakinah, mawadah, warahmah, yang sering disingkat samara atau samawa. Sakinah artinya bahagia. Mawadah berarti cinta kasih. Dan rahmah, oleh Haidar Bagir, diterjemahkan menjadi welas asih.

Baca Juga :  Merayakan Kritisisme Bulgakov di Hadapan Stalin

Antara mawadah dan rahmah memiliki makna yang berbeda. Mawadah adalah kecenderungan pada sesuatu karena kesempurnaannya. Dalam hal perkawinan, ini terkait dengan kemudaan, daya tarik seksual, dan kelebihan-kelebihan lain ketika pasangan masih berumur muda.

Sementara itu, rahmah adalah cinta kepada sesuatu meskipun (atau justru karena) sesuatu itu tidak sempurna. Hal ini ditafsirkan sebagai kecintaan yang ada di antara pasangan hidup yang menua, ketika semua kesempurnaan fisik itu sudah mulai berkurang (hal 53–55).

Upaya membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah tersebut perlu dibangun relasi yang sehat, tidak ada yang merasa diintimidasi, dominasi, dan hegemoni. Sebab, menurut Haidar Bagir, hubungan suami istri, meminjam pendapat Quraish Shihab, bukanlah hubungan kepemilikan satu atas yang lainnya. Bukan juga bentuk penyerahan diri seseorang kepada yang lain. Hubungan perkawinan adalah hubungan kemitraan (partnership).

Laki-laki atau suami yang pada umumnya secara fisik lebih kuat daripada perempuan (istrinya) tidak dimaksudnya untuk melegitimasi melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencederai pasangan. Laki-laki, yang dalam konteks pernikahan oleh Alquran disebut qawwamuna (QS Al Nisa’: 34), bermakna justru sebagai pelindung dan penanggung jawab.

Atas semua itu, muncul pertanyaan, apakah kebahagiaan atau untuk menjadi bahagia harus ditempuh melalui jenjang pernikahan? Bukankah terdapat sejumlah orang, bahkan ulama, yang secara sadar memilih sendiri alias tidak menikah? Ini tidak diurai oleh Haidar Bagir. (*)

Judul: Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya”

Penulis: Haidar Bagir

Penerbit: Mizan

Cetakan: I, Oktober 2023

Tebal: 226 halaman

*) Ali Usman, Peneliti Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

 

Buku Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya” memang tidak mendakwahkan agar seseorang menikah. Tapi sangat relevan dibaca oleh mereka yang sedang merencanakan atau telah menikah. Sebab, di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis atau lebih tepatnya falsafah pernikahan.

SAYA membayangkan buku Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya” ini dibaca oleh Socrates dengan raut wajah yang semringah dan berkata dalam ungkapan bahasa Jawa populer, kandani kok! (dibilangin kok!). Apa sebab? Karena Socrates pernah bilang, ”Bagaimanapun, menikahlah. Jika mendapatkan pasangan yang baik, engkau akan bahagia. Namun jika mendapatkan pasangan yang tidak baik, engkau akan menjadi filsuf.”

Ungkapan Socrates di atas ada yang menyebutnya sebagai satire. Tapi, sebenarnya dapat dirasionalisasi bahwa dengan berkeluarga, punya pasangan hidup yang diikat dalam tali pernikahan, akan terjadi interaksi yang tidak selalu linear ”damai”. Tapi penuh dinamika sebagai konsekuensi hidup bersama orang lain.

Maka, hal wajar jika kemudian muncul ”konflik”, riak-riak kecil percekcokan dalam keluarga. Dan, inilah seni pernikahan yang memantik seseorang untuk selalu berpikir tiada henti, layaknya seorang filsuf.

Mencoba bersetuju dengan Socrates, muncul pertanyaan, apakah tidak mungkin seseorang hidup bahagia bersama keluarganya sekaligus dia sebagai seorang filsuf?

Haidar Bagir, penulis buku Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya”, dapat melampaui pendapat Socrates. Dia tampak bahagia bersama keluarganya dan dalam arti yang sangat lentur layak disebut sebagai seorang filsuf atau setidaknya pemikir dan pengkaji filsafat, yang selalu berupaya mencari makna terdalam pada setiap objek realitas.

Buku Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya” memang tidak mendakwahkan agar seseorang menikah atau ”mati” saja. Tetapi sangat relevan dibaca oleh mereka yang sedang merencanakan atau telah menikah. Sebab, di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis atau lebih tepatnya falsafah pernikahan.

Di sini, saya lebih suka menyebut ”pernikahan” daripada diksi yang dipakai oleh Haidar Bagir, yaitu ”perkawinan”. Istilah ”kawin” atau ”perkawinan” di Indonesia kadang memiliki konotasi negatif. Orang kawin belum tentu menikah, tetapi orang yang menikah kemungkinan besar sudah menjalankan ”perkawinan”.

Baca Juga :  My Sweetest Coffee

Haidar Bagir membagikan pengalaman hidupnya dalam membangun keluarga yang harmonis dan penuh bahagia. Tidak hanya suka, tapi juga duka. Tidak hanya sukses, tapi juga kegagalan-kegagalannya, yang dibingkai dalam spektrum setidaknya empat perspektif: tasawuf, tafsir, psikologi, dan sedikit filsafat.

Sikap rendah hati Haidar Bagir patut dicontoh. Ketidaksempurnaannya sebagai kepala rumah tangga justru diakui sebagai bagian dari bumbu penyedap dalam mahligai rumah tangga.

”Buku yang berisi kiat-kiat praktis merawat kehidupan perkawinan ini sejatinya adalah kisah pembelajaran penulis, tentu termasuk di dalamnya kegagalan-kegagalan yang terjadi. Jadi, ketika pembaca membaca bagian tentang pentingnya bersikap ihsan (indah/sempurna) terhadap pasangan hidup, ada saat-saat penulis justru gagal bersikap demikian kepada istri penulis.

Demikian pula saat pembaca membaca kiat tentang pentingnya kesetaraan dalam kehidupan suami istri, itu sesungguhnya secara implisit mengandung pernyataan kegagalan penulis. Yakni, bahwa pada saat-saat tertentu, penulis tidak memperlakukan istri penulis dengan setara” (hal 23), tulis Haidar Bagir.

Haidar Bagir boleh dibilang ”paket komplet”. Dia sukses sebagai pengusaha, bos Mizan Group, intelektual publik, penulis prolifik, dan melalui buku ini, menahbiskan dirinya sebagai seorang kepala rumah tangga yang tidak hanya berhasil mendidik anak-anaknya. Tapi juga hendak menularkan aura positif kepada semua orang.

Haidar Bagir berupaya lebih mendekatkan diri kepada pembaca dengan menyebut ”anakku” di setiap penggalan paragraf. Sebuah gaya tulisan yang mengingatkan pada buku Ayyuhal Walad (Wahai Anak) karya Imam Al Ghazali.

Di antara tema menarik yang dibahas oleh Haidar Bagir dalam buku setebal 226 halaman ini tentang terminologi sakinah, mawadah, warahmah, yang sering disingkat samara atau samawa. Sakinah artinya bahagia. Mawadah berarti cinta kasih. Dan rahmah, oleh Haidar Bagir, diterjemahkan menjadi welas asih.

Baca Juga :  Merayakan Kritisisme Bulgakov di Hadapan Stalin

Antara mawadah dan rahmah memiliki makna yang berbeda. Mawadah adalah kecenderungan pada sesuatu karena kesempurnaannya. Dalam hal perkawinan, ini terkait dengan kemudaan, daya tarik seksual, dan kelebihan-kelebihan lain ketika pasangan masih berumur muda.

Sementara itu, rahmah adalah cinta kepada sesuatu meskipun (atau justru karena) sesuatu itu tidak sempurna. Hal ini ditafsirkan sebagai kecintaan yang ada di antara pasangan hidup yang menua, ketika semua kesempurnaan fisik itu sudah mulai berkurang (hal 53–55).

Upaya membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah tersebut perlu dibangun relasi yang sehat, tidak ada yang merasa diintimidasi, dominasi, dan hegemoni. Sebab, menurut Haidar Bagir, hubungan suami istri, meminjam pendapat Quraish Shihab, bukanlah hubungan kepemilikan satu atas yang lainnya. Bukan juga bentuk penyerahan diri seseorang kepada yang lain. Hubungan perkawinan adalah hubungan kemitraan (partnership).

Laki-laki atau suami yang pada umumnya secara fisik lebih kuat daripada perempuan (istrinya) tidak dimaksudnya untuk melegitimasi melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencederai pasangan. Laki-laki, yang dalam konteks pernikahan oleh Alquran disebut qawwamuna (QS Al Nisa’: 34), bermakna justru sebagai pelindung dan penanggung jawab.

Atas semua itu, muncul pertanyaan, apakah kebahagiaan atau untuk menjadi bahagia harus ditempuh melalui jenjang pernikahan? Bukankah terdapat sejumlah orang, bahkan ulama, yang secara sadar memilih sendiri alias tidak menikah? Ini tidak diurai oleh Haidar Bagir. (*)

Judul: Kisah Kita: Dari ”Sah” ke ”Selamanya”

Penulis: Haidar Bagir

Penerbit: Mizan

Cetakan: I, Oktober 2023

Tebal: 226 halaman

*) Ali Usman, Peneliti Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

 

Terpopuler

Artikel Terbaru