Puisi-puisi Muhaimin Nurrizqy bernarasi tentang keadaan sekitar yang compang-camping. Negara dituding sebagai aktor utama.
LAURENSON dan Swingewood dalam The Sociology of Literature (1972) mengamati tiga perspektif dasar yang memengaruhi penulis dan karya. Masing-masing adalah sastra sebagai dokumen sosial, sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, serta sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial-budaya.
Perspektif ini dapat pula digunakan pada kumpulan puisi Selamat Malam, Kawan! karya Muhaimin Nurrizqy. Dari tiga perspektif itu, ulasan ini menggunakan perspektif pertama dan kedua.
Ironi Sosial
Patah hati, asam lambung, kemiskinan, miras oplosan, psikotropika, dan seks bebas adalah motif utama seluruh puisi dan dijahit dengan makian-makian banal. Alih-alih bernarasi tentang dunia yang babak belur dari sudut pandang aku-liris, penyair memilih menumpangkan narasi tentang keadaan sekitar yang compang-camping melalui penamaan tokoh di dunia yang hancur lebur. Misalnya pada puisi Ulang Tahun:
cukimay berdoa supaya cepat mendapat kerja,
segera dipertemukan dengan jodoh,
dan lekas hidup tenteram.
Cukimay merupakan tokoh yang tengah merayakan ulang tahun ke-27, namun sukacitanya dianulir nafsu industrialisasi negara yang bahkan menyerobot kehidupan masyarakat hingga ke ruang personal-metafisis. doa itu melayang ke angkasa, tapi distop asap dari pabrik batu bara doa-doa untuk meminta kesembuhan
sudah macet total di langit.
…
potonglah kue itu, cukimay.
makan sepotong.
sisanya,
berikan ke doa-doa
yang kembali pulang,
karena tak kunjung didengar tuhan.
Strategi penamaan tokoh di puisi Cukimay dapat mewakili keadaan di mana umpatan mustahil tidak terucapkan. Sementara ironi mengental:
pemerintah bilang kematian
ialah takdir tuhan,
bukan dari asap batu bara.
Pada bagian ini, penyair secara gamblang menyeret ”pemerintah” sebagai tokoh antagonis yang, karena nafsu industrialisasi, menumbalkan masa depan ratusan pemuda. Upaya penyair menyeret pemerintah atau negara dengan segala sumber dayanya dalam ruang kausalitas dapat ditemukan hampir pada seluruh puisi. Misalnya pula pada puisi Selamat Malam, Kawan!:
ketika pagi menyergap dan menuduh kita bersekongkol
dengan pikiran yang melenceng dari kebiasaan polisi.
Imaji pada penggalan puisi tersebut mempertebal adanya upaya pemaksaan aktif oleh negara dengan sumber daya keamanan yang dimilikinya dan berujung pada kehendak:
negara menyuruh kita bersopan santun
Kiranya, negara justru merupakan aktor utama penyebab dunia menjadi babak belur. Lihatlah pada puisi Liang Telinga yang ironis:
awas kepala!
pintu keadilan lebih rendah dari yang anda pikirkan.
Stoikisme
Nuansa stoikisme (aliran filsafat yang mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam, mengendalikan diri, dan mencapai kebahagiaan) sulit diabaikan. Alih-alih berusaha mengendalikan aspek-aspek transendental, penyair memusatkan narasi pada aspek-aspek riil dalam kendali tokoh.
Pola inilah yang memunculkan upaya-fenomena menjalani hari-hari yang ironis dan pola ini menyublim dengan strategi memersonifikasikan kata makian melalui tokoh seperti Cukimay, Pan & Tek, Kimak, dan Kal & Era. Dalam leksikon bahasa daerah di Indonesia, penyebutan alat kelamin kerap berlaku transformatif sebagai sarana ungkap bagi makian atau umpatan. Sedikit di antaranya bersumber dari peristiwa kolektif yang menyejarah.
Kata pantek berasal dari bahasa Minang yang berarti kelamin wanita, sama artinya dengan kimak yang berasal dari kata pukimak (Melayu) dan cukimay (Maluku). Sementara kalera dalam catatan Gusti Asnan (Loan Words dan Kreativitas Berbahasa Urang Awak, 2020) berasal dari penyakit kolera yang pernah mewabah.
Ketekunan penyair menggunakan kata-kata makian secara personifikasi tersebut menggeser peranti psikologis-metafisis bahwa doa dan harapan yang merupakan kebutuhan rohani manusia bahkan mengalami substitusi dengan kata makian. Misalnya pada puisi Ulang Tahun di atas dan puisi Cinta dan Ganja sebagai satu-satunya puisi soliter:
dan rasanya, ”sungguh pantek!”
katanya.
”seperti cinta. tapi ya sudahlah,
mau bagaimana lagi”
Tokoh Kapindiang dalam puisi itu berupaya ”menghindari cinta” dengan mengumpulkan remah-remah ganja di karpet yang tercampur ”berhelai jembut kekasihnya”. Kata ”pantek” di dalamnya memperjelas fungsi substitutif makian.
Pada dasarnya, stoikisme mementingkan daya kontrol sebagai dasar bersikap atas respons peristiwa, oleh penyair nuansa itu diniscayakan melalui solidaritas yang kuat. Misalnya pada puisi Selamat Malam, Kawan! yang diambil sebagai judul buku:
tenang saja, njing, hidup ini akan senantiasa senang. selama lukakau lukakita. (*)
—
ILHAMDI PUTRA, Bergiat di ruang riset sastra dan humaniora Lab. Pauh 9. Lahir dan besar di Padang, Sumatera Barat.
—
Judul : Selamat Malam, Kawan!
Penulis : Muhaimin Nurrizqy
Penerbit : Teroka Press
Tahun terbit : Mei 2024 (cetakan pertama)
Jumlah halaman : vi + 74
ISBN : 978-623-93669-7-1