Kromo tak pernah suka politik. Setelah membaca judul berita tentang kekacauan dalam sebuah aksi politik, dia segera meletakkan koran dan kacamatanya di atas meja, seolah ingin menjauh dari sebuah ancaman.
LANTAS, dalam beberapa detik kemudian, dia termenung dengan dahi berkeringat, ketika tiba-tiba dia mengingat keluarganya di masa lalu.
***
Ketika pasukan NICA datang dan mencoba merebut kembali wilayah koloninya di tahun 1947, Kromo ingat ayahnya dengan muka tirusnya tertawa menyambut gembira berita itu. Dia berteriak-teriak seperti anak kecil yang girang di dalam rumah. Sementara ibunya yang memperhatikan menjadi jengkel dan meminta ayahnya diam.
”Ssshh…jangan seperti itu.”
Ibunya punya suara halus seperti udara yang bersih di pagi hari, tapi pada saat tertentu mampu menjadi badai yang mencekam. Pada saat itu, ayahnya yang begitu mencintai istrinya terdiam beberapa saat. Ruangan lantas menjadi hening dan hanya dipenuhi wajah kikuk ayahnya dan muka ibunya yang tegas seperti padas.
Tapi itu tak lama, karena setelah itu, ayahnya berbalik ke kamar dan bergegas mengenakan jas warna krem dan kain cokelat tua bermotif sidomukti. Sepanjang berdandan, mulutnya berteriak memanggil Kromo yang tengah berdiri di teras.
”Mo, kita pergi. Cepat ganti baju!”
Melihat ayahnya begitu bersemangat, Kromo bergegas berganti baju. Dia tak ingin ayahnya marah jika geraknya lamban. Sedangkan dua kakaknya yang mengenakan baju khas pejuang mereka berdiri di sudut terpisah, menyaksikan dengan tatapan yang meremehkan.
Ayahnya tak mengajak mereka sebab keduanya adalah pejuang republik dan kakak sulungnya pernah terlibat dalam penculikan beberapa pejabat kepatihan Solo di tahun 1945, dan untungnya tidak dalam pemberontakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Madiun 1948 yang menghasilkan dendam turun-temurun karena tubuh-tubuh yang dicincang di jalanan dan dipendam dalam sumur-sumur tua.
Sepanjang waktu bertemu, mereka selalu berdebat soal itu. Ayahnya menyebut kakaknya itu sebagai anak sesat yang dikorbankan Muso. Di saat yang sama, ayahnya juga mengolok kematian Henk Sneevliet, gurunya Semaun yang dihukum mati oleh Jerman di tahun 1942. Tapi, kakaknya menyebut dirinya sebagai seorang patriot sejati untuk membantah itu.
”Harusnya kamu sadar siapa leluhurmu.” Ayahnya menentang waktu itu.
”Kaum feodal yang menyebabkan orang menderita,” kata kakaknya semakin sengit. ”Kamu menghina leluhurmu sendiri. Kamu pikir kamu anak siapa?” bentak ayahnya.
Tentu saja ibunya membela ayahnya. Dia adalah putri bangsawan. Ayahnya seorang bupati dari garis Solo dan tak akan pernah rela pikiran asing yang meruntuhkan Tzar di Rusia ikut menghancurkan leluhurnya. Kakaknya memang berani menentang ayahnya, tapi tidak terlalu pada ibunya.
Dia hanya mencoba meyakinkan ibunya dengan suara lebih pelan. ”Dunia sudah berubah, Bu. Semua yang rusak harus diperbaiki,” kata Prapto, kakaknya. Tapi, ketika ibunya hanya berdiri dan menatapnya, kakaknya pergi. Itu terjadi di tahun 1946 di bulan Januari, setelah lolos dari pengejaran dan kembali ke Jakarta.
***
Ayahnya sekali lagi memanggilnya untuk bergegas. Kromo mengatakan sudah siap. Sewaktu ayahnya sibuk dengan kegairahannya, ibunya duduk di kursi goyang di kamar tengah, hanya mengawasi dengan mata tak berkedip, seolah tengah berjaga dari mara bahaya. Sementara kakak sulungnya mencibir, kakak lainnya memprovokasinya dengan mengedipkan mata agar Kromo menolak.
Ayahnya yang mengetahui itu marah. Tubuhnya berdiri setengah doyong dengan tangan menuding sambil meneriaki mereka sebagai anak sundal. Mendengar itu, ibunya yang semula diam tersinggung. Dari kursinya dia menyela kemarahan suaminya.
”Jangan bicara kotor. Siapa sundal itu?”
”Diam, jangan bicara,” kata ayahnya berbisik pada Kromo dengan muka memerah, seolah dirinyalah yang akan melawan ibunya. ”Biarkan saja… Ibumu itu lebih berkuasa dari Ratu Wilhelmina. Kita pergi.” Ayahnya segera mendorongnya keluar rumah.
***
Sepanjang jalan, di bawah langit yang bercahaya dan panas, tangan ayahnya melambai pada konvoi truk militer yang lewat sambil menyanyikan Wilhelmus dengan sikap tegak.
Ayahnya adalah mantan pejabat di kantor Posts Telegraafend Telefoon Dienst di masa kolonial, sangat membenci setengah mati pada Jepang dan sekaligus republik yang baru berdiri. Setelah itu, kebenciannya beralih pada para pejuang muda, termasuk dua anaknya yang tak mendukungnya.
Baginya, pemerintah kolonial Belanda lebih berarti karena telah memberinya kedudukan. Usia ayahnya saat itu sudah mencapai enam puluh lima tahun dan itu membuat wataknya yang kaku semakin keras. Di pasar yang suram dan gelisah oleh bayang-bayang perang, ayahnya makan dengan lahap diliputi rasa bahagia.
”Makan daging babimu,” kata ayahnya ketika melihatnya menyingkirkannya ke pinggir piring.
”Ya sudah, sini biar Bapak yang makan,” lanjutnya sambil mencomot potongan tebal daging babi dari piring Kromo dan menggeser sisanya di piring yang lain.
”Mau daging orang Jepang?” tanya ayahnya. ”Rasanya kurang enak, tapi lebih enak dari daging pribumi.”
Mata Kromo membelalak mendengar ayahnya bicara seperti kanibal yang seolah pernah merasakan daging orang Jepang. Perutnya tiba-tiba merasa mual. Ayahnya melihatnya, kemudian tertawa.
Candaan simbolik itu membuatnya jijik. Semasa pendudukan Jepang, secara ajaib ayahnya bahkan tak pernah tersentuh oleh Si-Coo dan militer Jepang, meskipun mereka tahu dia satu-satunya mantan pejabat Posts Telegraafend Telefoon Dienst yang pribumi. Meskipun begitu, tetap saja dia membenci, bahkan keadaan yang aman itu dianggapnya sebagai kelemahan Jepang.
”Huek, dasar babi kate,” ayahnya mengumpat ketika sebuah mobil militer Jepang melewati rumahnya.
***
Kromo tak senekat dua kakaknya yang menentang ayahnya secara terbuka. Tapi, dia tak ingin mendukung siapa pun dan tak mau bergabung di antara mereka, bahkan Tentara Pelajar.
Dua kakaknya bergabung dengan para pejuang sejak awal dan menjadi bagian dari dua partai yang saling benci, tapi sepakat menentang ayahnya sebagai musuh bersama. Ayahnya seolah tak peduli dan tak pernah mau mengubah sikap dan pandangan hidupnya. Dia membenci pemerintahan Soekarno dan siapa saja yang ada di republik, termasuk anaknya sendiri.
”Kemerdekaan itu,” kata ayahnya, ”tergantung bagaimana manusia mendapatkan keuntungan dari kekuasaan yang didapatkan. Tidak peduli siapa yang memerintah, selama mereka berbagi kesenangan harus didukung. Karena itu berarti kemerdekaan sebagai manusia.
Rakyat kecil tetap saja orang kecil yang harus menerima keadaannya. Tidak akan pernah merdeka dan menjadi mangsa siapa yang berkuasa. Itu adalah hukum alam.”
Tapi, apa yang dia maksud sebenarnya adalah menerima kekuasaan koloni Belanda. Dia berharap semua perjanjian yang berlangsung bisa mengembalikan kekuasaan Ratu Wilhelmina yang dipujanya.
”Jangan pernah mengikuti mereka,” kata ayahnya. ”Prapto dan Pranala, pikirannya pendek.”
***
Ketika akhirnya Belanda benar-benar pergi, ayahnya menjadi murung dan sering duduk di teras rumah di setiap malam, di akhir tahun 1950 yang kelam. Hatinya terpukul.
Mulutnya tertutup rapat dengan riak rasa tembaga di antara lidah dan kerongkongannya, meratapi kekalahan Belanda dan dirinya sendiri. Pandangan matanya tajam menembus langit yang gelap, namun ia tak terhubung apa-apa kecuali rasa putus asa dalam bayang-bayang malam.
Tapi sebenarnya, pukulan yang paling menyakitkan datang dari dua anaknya sendiri yang menyebutnya sebagai pengkhianat. Salah satu kakaknya bicara keras saat itu, seperti lupa siapa yang dimakinya secara kasar. Selama dua bulan hatinya sakit oleh darah dagingnya.
”Kalian itu cuma kencingku!” teriak ayahnya murka. Suaranya bergetar menahan tangisan. Dan faktanya, ayahnya memang menangis.
***
Di bulan Desember, penderitaannya pun berakhir. Ibunya sendiri yang menemukannya mati gantung diri di teras saat pagi, dengan tali tampar berwarna cokelat yang kasar. Ketika tamparnya dilepas, lehernya terluka seperti digorok. Ayahnya menulis pesan di kertas dalam bahasa Belanda.
Isinya: ”Ik volg Vincent liever naar het hiernamaals dan een ongehoorzaam kind te ontmoeten.” Artinya: ”Lebih baik saya menyusul Vincent di alam baka daripada bertemu anak durhaka.”
Ibunya meraung, masuk kamar dan terluka. Meratapi suaminya hingga beberapa waktu. Kromo mengurus jasad ayahnya dengan beberapa pembantunya. Dua kakaknya pulang seminggu kemudian setelah mendapatkan kabar.
Wajah mereka menunjukkan duka, tapi sehari setelah itu, keduanya bertengkar karena berdebat tentang siapa yang lebih pantas mengurus republik. Ibunya melerai, menarik dan mendorong keduanya keluar rumah, dan menampar salah satunya.
”Dengarkan,” kata ibunya, ”sekarang kalian sudah lebih dari tiga puluh tahun. Jangan bicara politik di rumah. Bapakmu mati menderita karena kalian. Jika tak bisa diam dan menghormati bapakmu, kalian pergi dan jangan pernah menyentuh rumahku!”
Saat itu Kromo melihat mereka terdiam. Mata kakaknya menatap ibunya dengan berlinang, kemudian melihat Kromo yang berdiri tegang. Lalu dengan muka merah, keduanya pergi tanpa berpamitan.
Beberapa waktu kemudian, ibunya mendengar dua anaknya itu masuk penjara karena politik. Setelah semua kejadian itu, ibunya tak ingin melihat matahari. Dia mengurung dan murung di dalam kamar selama beberapa waktu, sebelum kemudian pergi menyusul suaminya. (*)
—
RANANG AJI SP, Penulis fiksi dan nonfiksi, saat ini tinggal di Magelang