Kembang Krisanku yang Tangguh
ILUSTRASI. (BUDIONO/JAWA POS)
Jo, di tempat seluas ini pandanganku menangkap sekitar lima gundukan tanah basah, mungkinkah mereka juga korban jiwa ledakan, sama sepertimu? Yang mana kuburmu? Aku bawa beberapa tangkai krisan putih dan nasi kepal. Oh, itu, aku cukup percaya diri untuk melangkah ke salah satu gundukan penuh bunga krisan.
Tepat. Selamat sore, Jo! Oh, namamu terukir kaku di papan nisan ini. Aku yakin kualitas kayu salibnya bagus, tapi tidak dengan kemampuan pengukirnya. Kalau kamu bisa melihatnya, mungkin kamu akan terkekeh sembari mengampelasnya dengan santai, lalu mengukir ulang sendiri namamu.
Seperti itulah. Seperti itu. Oh, kamu tahu, banjaran krisan warna-warni ini punya nama di setiap tangkainya. Nama-nama ini milik anak-anak kelas 6; dan yang sebelah situ, kalau tidak salah ingat, adalah milik anak-anak yang sudah lulus. Mereka datang, Jo. Mereka juga kehilangan.
Kali terakhir aku menatap kamu, binar sepasang mata itu masih terpancar cerah, secerah krisan kuning emas yang kamu tanam di depan unit kesehatan. Oh, lihat, matahari tampak lebih jelas bundarannya sore ini. Jo, jika kamu melihatnya, dari bibir ranummu itu pastilah terbit tawa disusul celetukan, ”Krisan oranye!”
Persis seperti waktu kita, bersama anak-anak kelas 6, sore-sore mengunjungi makam pahlawan (yang jaraknya sepelemparan batu dari tempatmu ini). Waktu itu, Jo, aku tidak habis pikir dari mana asalnya energimu mengatur 25 anak –membariskan mereka, merespons pertanyaan dan celotehan mereka, selalu mengingatkan setiap anak untuk mencatat hal-hal menarik yang ditemui selama berkeliling, serta memastikan mereka tidak mengutak-atik helm baja di atas pusara. Oh, lakumu yang demikian itu akan selalu kurindukan.
Sebenarnya, tunggu, aku duduk dulu. Kakiku kram berjongkok lama.
Jo, aku membawa buku agenda milikmu yang tertinggal di rumahku. Setelah hari itu kamu tidak sekali pun menghubungiku, bahkan untuk sekadar menanyakan buku ini. Kamu tahu, aku sempat berpikir kamu ogah mengontakku lagi setelah kejadian malam itu, dan sengaja meninggalkan buku ini untukku (sebab seingatku kamu bukanlah orang yang mudah lupa atau ceroboh meninggalkan barang, apalagi ini barang penting).
Setelah berpikir begitu, tanganku jadi gatal ingin membuka buku bersampul cokelat ini, tapi kutahan-tahan. Dan, aku kerap gelisah sendiri saking kepingin membaca isinya. Ditambah dengan kesulitanku menghubungi ponselmu, rasanya semakin tidak keruan. Maaf, aku jadi makin tidak sopan kepadamu, tapi, sekarang ini, di hadapanmu (bisa kita sebut begitu, kan?), mohon izinkan aku membacanya.
Jo, sejujurnya, aku berharap ada segumpal energi kembali menghidupi tubuhmu. Kubayangkan kamu berontak karena kesulitan bernapas di bawah sana, berhasil mendobrak peti, lekas mengorek-ngorek tanah sampai ke permukaan bumi.
Menatapku.
Aku akan sangat senang, dan kita bisa makan nasi kepal yang kubawa ini sama-sama. Aku bawa beberapa, cukup untuk kita. Lihat, aku mengisinya dengan ikan tuna kesukanmu, juga membalutnya dengan nori. Banyak nori.
Matahari semakin terbenam dan tempat ini jadi keunguan. Jo, tubuhku merasakan dingin dan lembapnya angin hujan, tapi toh kematianmu yang tragis (ya, aku menyebutnya demikian) ini lebih mempan merujak suhu tubuhku. Oh, kembang krisanku yang tangguh, jika kukatakan itu di depanmu saat ini, kamu pasti tertawa dan menyangkal. Selalu menyangkal bila dipuji. Seperti itulah. Seperti itu.
Sekarang, izinkan aku membuka buku agendamu ini secara acak sebagaimana yang sering kita lakukan terhadap Alkitab ketika membaca firman-yang-kita-anggap-ditujukan-kepada-kita-hari-itu. Oh, ada penomoran halaman di pojok kanan atas. Krayon. Pasti kamu membuatnya sendiri. Menggemaskan!
Halaman 40: ada daftar merek yang kukenali sebagai merek pakaian, sepatu, dan tas. Di bawah daftar itu, sampai halaman selanjutnya, tersusun rapi gambar orang-orangan tersenyum lebar. Di antara mereka ada yang mengenakan rok dengan atasan lengan panjang, ada pula yang bergaun cantik; dan di bawah kaki keduanya terdapat tulisan ”linen/katun”.
Ternyata begini caranya. Kamu tahu, Jo, selama satu semester lebih kita saling mengenal, aku terkadang punya dorongan untuk membahas selera berpakaianmu meski pada akhirnya tidak pernah kulakukan.
Tidak patut.
Akan tetapi, aku diam-diam membiarkan pikiranku sendiri membayangkan bagaimana kamu mengatur isi rumahmu; mengatur keuangamu setiap bulan; memanfaatkan waktu luangmu. Bagaimana rasanya bergabung di kelompok teatermu? Bagaimana rasanya menjadi pasangamu?
Baik, itu khayalan yang aneh dan (sekali lagi, ternyata) tidak patut. Maafkan aku.
Halaman 42: sebuah catatan harian.
Rabu, 25 November 2000 (01.40)
Tuhan, kepala saya penuh sekali. Saya mulai berpikir untuk melanjutkan studi, entah ke jenjang master atau sekadar kelas tanpa gelar. Jurusan yang muncul di pikiran saya bercabang ke dua arah. Pendidikan jelas menjadi cabang pertama, sebab secara profesional saya ingin tetap berkarier di dunia pendidikan.
Di situ, jenjang karier diukur dari gelar akademik, kemampuan saya mendidik, dan seluas apa jangkauan bidang yang bisa saya ampu. Kedua: dunia seni. Mengelola sebuah kegiatan seni merupakan aktivitas dia datang lagi PERGI PERGI PERGI PERGI PERGI PERGI! Tuhan dia di situ dia di situ tolong saya
P Dari dua cabang itulah saya mulai mengumpulkan referensi lokasi studi yang tepat. Meski terbaca telah mantap, ternyata masih juga berkecamuk di kepala saya soal prioritas keduanya.
Saya ingin belajar liberal arts, di sini sisi lain, saya masih memikirkan karier –belakangan, karena muncul tuntutan tempat kerja untuk melanjutkan studi pada bidang linier. Ini saya bicara apa? Apa jelas? Tidak, ya? Mungkin tidak.
Tuhan, tunjukkanlah kepada siapa saya perlu berbagi. Saya penat! Bertanya ke orang lain, rasanya mulai sia-sia. Jawaban dan saran mereka bisa terbaca dari dua mata ini. Mereka akan dominan dia mereka datang lagi pendidikan, tetapi, sedikit terbesit pula di kepala soal beberapa orang yang akan mendukung saya memilih liberal arts.
25 November? Oh, aku ingat: kamu terlambat ke sekolah karena mengurusi izin pertunjukan kelompok teatermu. Aku, yang waktu itu sedang duduk di bawah pohon ketapang, dapat dengan jelas melihatmu keluar dari ruang kepala yayasan.
Aku melambaikan tangan, lalu kamu berlari kecil menyusuri tepi lapangan menuju ke arahku. Sebuah botol minum besar terapit lengan kirimu.
Kamu duduk di sampingku sambil tertawa-tawa, ”Ini dua liter! Pas sekali untuk saya bawa ke mana-mana.”
Oh, tawaku pecah bagai balon ditusuk jarum; lantas kutoyor pelan bahu kananmu. Setelah itu, ceritamu tentang izin pertunjukan itu mengalir begitu saja.
”Pertunjukannya bakal dimainkan dua kali, Sabtu dan Minggu di minggu pertama Desember bulan depan. Kamu bisa hadir di malam yang mana, Res? Saya akan berjaga di meja tiket.”
Waktu itu, aku yakin, senyum seranum krisan merah serta sinaran tatapanmu hari itu tidak akan kujumpai bila kita bicara tentang upacara Hari Guru yang kamu lewatkan. Jadi, kutepislah niat untuk menceritakan apa pun tentang itu, dan berjanji kepadamu akan datang di Minggu malam.
Kututup buku ini sembari menghapus air mata. Kerianganmu yang meletup-letup menyaksikan tepuk tangan penonton seketika muncul terang benderang dalam ingatanku. Hangat.
Hangat sekali. Mengalahkan hangatnya nasi kepal di tangan kananku sekarang ini. Oh, Jo, krisan oranye itu terbenam sempurna; saatnya menyalakan senter di ponsel, dan kuharap kamu masih sedia (seolah-olah) duduk di hadapanku.
Kubuka halaman selanjutnya, tidak ada apa-apa selain coretan melingkar dari krayon warna-warni. Kamu menggambar wajah berbentuk kotak dengan bunga krisan kecil-kecil sebagai matanya.
Ada krisan oranye dan bibir tersenyum, krisan ungu dan berbibir cemberut, juga krisan kuning dan tangkai hijau (sepintas mirip garis aliran air mata di pipi) yang berdampingan dengan bibir datar. Selain itu, ada pula gambar tubuh-tubuh lucu nan mungil.
Mereka tampak sedang menari dengan gaun dari mahkota krisan terbalik –berwarna merah gelap dan merah jambu. Oh, ada satu tubuh besar sehalaman buku, di bagian dadanya yang terbelah mencuat batang-batang krisan tanpa bunga, hanya daun-daun lebar warna cokelat. Jo, apa yang sedang kamu pikirkan waktu menggambar ini semua?
Gambar dan coretan-coretan masih memenuhi buku sampai halaman 58. Di sini barulah kembali kutemukan sebuah catatan harian.
Siang tadi saya bertandang ke rumahnya. Orang yang sungguh pandai dan baik hati, juga manis! Senang rasanya bisa meminta bantuannya mengurai gagasan untuk esai aplikasi beasiswa yang sedang saya garap.
Kami mengobrol panjang. Rumahnya dekat dengan bukit; saya suka bukit! Ada banyak rumput liar di halaman rumahnya. Rumput-rumput dengan daun panjang dan segar.
Berbulu halus dan senang melukai kulit jari manusia. Hijaunya begitu agung! Ingin rasanya terlahir sebagai mereka. Lelaki itu, ia terbengong-bengong ketika saya bilang lebih ingin jadi rumput liar ketimbang tanaman krisan. Ah, krisan itu cantik dan kuat, tapi di rumahmu tak ada krisan, kan? Adanya rumput liar.
Menikmati waktu bersamanya membuat saya bahagia seharian ini. Tak penting lagi rasanya menengok ponsel demi mendapat kabar dari dia yang entah di mana. Oh, Tuhan, sebaiknya saya berhenti menyebut namanya di sini. Rasanya mungkin akan seperti ini jika dia kelak menikahi pacarnya.
Sakit, tapi bukan masalah besar sampai harus menyedot seluruh pikiran saya sekarang ini. Tuhan, saya betul-betul membutuhkan-Mu. Engkau telah memberi semua yang saya butuhkan, tapi…
Tunggu, aku tidak pernah tahu kamu menjalin hubungan spesial dengan orang lain. Sedikit pun kamu tidak pernah cerita dan, oh, iya, kita memang tidak pernah membahas soal itu. Aku lupa mengapa pembicaraan itu tidak pernah kita sentuh sama sekali. Barangkali kita memang tidak pernah ingin membicarakan itu?
Bermenung-menunglah aku menyusuri memori kebersamaan kita (ketika berdua saja). Jo, kenapa kamu menjalani hubungan yang begitu? Aku tahu itu bukan urusanku, tapi rasanya perutku tiba-tiba kena tonjokan. Nasi kepal yang sudah masuk perut seperti hendak naik sampai kerongkongan. Kubuka pelan-pelan halaman selanjutnya, tapi ternyata tanggal yang tertulis bukanlah tanggal esoknya.
Kamis, 21 Desember 2000 (15.00)
Saya mendadak kesal semalam. Entah karena apa. Kepala dan hati saya seperti diamuk sekumpulan balita yang menangis kencang, ditambah dengan datangnya hantaman gada besar yang entah dari mana. Sejenak kehilangan orientasi, saya diam.
Menatap fokus ke punggung dia yang sedang menyandarkan kepalanya di kaca jendela sambil sibuk menelepon. Saat itu saya betul-betul ingin menendang pantatnya. Kaca pecah, dan dia pun jatuh terjun bebas ke luar. Mati. Mati. Jika dia mati, tak ’kan ada yang bakal memilikinya.
Malam itu, malam itu, seluruhnya berhamburan ke luar. Ditambah dengan perut lapar, saya makin pusing. Akhirnya muntah. Oh, Tuhan, Natal-Mu di depan mata. Saya pikir Natal tahun ini mesti dirayakan dengan refleksi mendalam, sedalam-dalamnya! Terkhusus soal pelayanan dan pendidikan.
Tuhanku Sang Mutiara Hati, saya berharap bisa berjuang lebih baik lagi. Terima kasih atas seluruh pengorbanan-Mu. Tuhanku Yang Agung, saya rindu mama. Saya rindu sekali.
Mama, mama, semalam, semalam suntuk kemarin, setelah menangis berjam-jam, detak jantung saya terasa cepat cepat cepat cepat terus-menerus dan tubuh memar di beberapa bagian dan pikiran saya tak kunjung tenang.
Saya tahu saya sedang merasa tak baik, tapi saya bingung harus berbuat apa. Percuma cerita, mama, ia akan menyirami saya dengan analogi-analogi yang kadang tak sedikitpun sedikit pun tersambung dengan yang saya utarakan.
Selain urusan mengajar dan pelayanan, rasanya saya malas sekali bicara. Mama tahu, orang-orang terlalu mengganggu. Oh bahkan saya pun merasa terganggu oleh diri saya sendiri. Ingin rasanya mengubah diri menjadi debu. Kecil sekecil kecilnya. Jadi tumbuhan..
Saya lelah. Saya butuh pelukan tapi rasanya sesak di dekat orang-orang. Saya ingin ditemani sekaligus sumpek jika berkomunikasi dengan orang-orang. Mama, Sabtu sore saya akan datang ke Kapitan. Mawar putih seperti biasa, ya? Sampai jumpa!
Kepalaku mendadak pening, tapi udara yang terasa semakin dingin dan lembap ini tidak cukup mampu membuatku beranjak. Kurasakan panas perlahan muncul di pipiku, menjalar ke sekujur wajahku. Jo, kembang krisanku yang tangguh, 22 Desember malam kamu datang ke rumahku dan aku tahu kita seharusnya tidak, seharusnya, Jo, maafkan aku.
Esoknya, sepanjang perjalanan pulang ke Mangupura, bahkan di tengah pemberitaan teror bom gereja di sana sini yang seharusnya menjadi fokus kita semua, aku masih memberi ruang penuh bagimu dalam pikiranku.
Jo, baru pagi tadi kuterima dua surel baru, dan aku sungguh berharap salah satunya adalah balasan darimu. Namun, ternyata surel pertama berasal dari istriku di Otago (mengabari jadwal ujian tesisnya).
Dan, satunya lagi dari milis yayasan, berisi berita lengkap pengeboman GPIB Imanuel, GPPS Betlehem, dan Kuburan Kristen Kapitan beserta daftar nama korban jiwa. (*)
2021–2024
ILDA KARWAYU, Menulis puisi, fiksi, dan nonfiksi. Buku puisinya Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (GPU, 2020) masuk nomine Penghargaan Sastra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2022. Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram dan Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP).