Oleh ARIANTO ADIPURWANTO
—
Dencor terpesona pada ilmu Nabi Ibrahim. Ia mendengar kisah itu dari mulut anak-anak suatu hari yang berbagi aneka kisah nabi di pekarangan di samping rumahnya. Dencor menguping kisah itu dan tanpa diketahui oleh siapa pun, ia diam-diam ingin menemukan ilmu apa yang dimiliki nabi itu sampai bisa tak tersentuh api.
KAKI Dencor bengkok dan berbentuk tidak normal sejak ia lahir ke dunia. Menurut cerita para warga—yakni mereka yang menyaksikan bagaimana ia lahir—kaki Dencor sampai bengkok begitu karena tangan belian yang telah menariknya dengan sangat keras dan kasar dari perut ibunya.
Sebagian warga lain—yang tidak ikut menyaksikan bagaimana Dencor dilahirkan—lebih percaya bahwa Dencor bisa berkaki bengkok begitu karena kakek Dencor pernah berjanji menyembelih sapi di kali keramat dekat kampung mereka, bertahun-tahun lalu, sewaktu nenek Dencor mengalami sakit berupa luka bernanah di seluruh tubuhnya.
Perdebatan tentang kaki Dencor ini sering terjadi dan berujung pada para warga akan mengasihani Dencor, seakan kepincangan yang Dencor alami adalah kesialan terbesar yang ia alami dalam hidupnya. Mereka menyayangkan Dencor tak dibawa ke rumah seorang tukang urut tua dari kampung sebelah yang bisa menyempurnakan kembali tulang-tulang yang remuk sekalipun.
Padahal, bagi Dencor sendiri, ia tidak begitu ambil pusing pada kakinya itu. Justru ia merasa yakin kakinya yang bengkok membuat ia memiliki sejumlah kelebihan yang tak sembarang orang bisa miliki.
Ia kerap menunjukkan dengan bangga kaki kanannya—betisnya bengkok melengkung, telapak kakinya pun menekuk secara berlebihan sampai kakinya terlihat—menurut penglihatan para warga—seperti pelepah kelapa yang pernah dihantam petir.
Dencor tahu perihal pelepah kelapa bekas hantaman petir. Ia kerap melihatnya di gantung di rumah-rumah. Menurut ibunya, pelepah kelapa itu dapat berguna sebagai penangkal petir.
”Berarti kaki saya berguna untuk menangkal bencana dan segala kesialan,” katanya.
Cerita lain adalah kesaksian seorang pemuda yang tidur di rumah Dencor. Tengah malam, pemuda itu terbangun di berugak tempat ia berbaring karena ia mendengar lolongan anjing di dekatnya. Begitu ia melihat ke arah kebun, ia melihat seorang ibu menggandeng tangan seorang anak. Keduanya seperti tampak kebingungan, seperti tengah mencari tempat untuk berhenti dan menginap.
”Jangan di sini, ini rumah manusia,” kata si ibu.
Si pemuda melihat ibu dan anak itu berjalan menjauh. Pemuda itu tidak tahu apa yang membuat ia dapat melihat ibu dan anak itu. Baginya, anak dan ibu itu membawa cahaya sendiri yang menguar dari tubuh mereka dan berguna untuk mereka melihat jalan yang mereka tempuh.
Cerita pemuda itu membantu menjelaskan kepada para warga alasan di balik seringnya orang-orang dengan aneka penyakit mendatangi Dencor dan meminta obat. Dencor pada mulanya menjelaskan bahwa ia tak bisa apa-apa, lalu setelah beberapa kali kunjungan, ia tahu bagaimana cara mengobati orang-orang itu; cara mengobati yang ia temukan sendiri, nyaris dalam kebingungannya.
Keyakinan bahwa dia bukan orang sembaranganlah yang membuatnya sangat yakin bahwa anak-anak yang bercerita di dekat rumahnya tentang ilmu Nabi Ibrahim tidak terjadi secara kebetulan.
Ia yakin anak-anak itu adalah suruhan dari Neneq yang hendak memberi petunjuk padanya untuk menemukan ilmu itu. Dencor juga yakin suatu saat ia akan berhasil menemukan ilmu itu karena sudah ditakdirkan untuk ia miliki.
Beberapa kali kesempatan, ia menyampaikan tujuannya hendak menemukan ilmu itu. Beberapa orang yang mendengar kisah itu tentu saja merasa Dencor sudah kelewat gila.
Para warga juga tahu, dari cerita yang entah bagaimana mereka dengarkan pada satu dua obrolan, perihal seorang nabi di masa lalu yang berhasil selamat dari api yang sangat besar. Namun, para warga yakin kelebihan itu hanya didapatkan jauh di masa lalu, tidak dalam kehidupan seorang warga di kampung terpencil dekat hutan di masa sekarang ini.
Dencor telah lama terpisah dari orang tuanya dan hidup bersama seorang pemabuk yang ia bantu menemukan gayas-gayas untuk sedaq minum tuak. Sejak mendengar kisah Nabi Ibrahim itu, ia mulai sering mengunjungi ibunya.
Ia meminta ibunya bercerita tentang aneka peristiwa yang terjadi selama dirinya di kandung. Sang ibu yang diharapkan menceritakan aneka kelebihan hanya menceritakan serangkaian kesusahan demi kesusahan. Ia menceritakan bagaimana ia hampir mati hanyut di sungai karena memaksa diri pergi ke desa mencari beras untuk dimakan.
Ibunya bercerita bagaimana ia kesakitan selama berhari-hari seorang diri dan suaminya, ayah Dencor, tidak kunjung kembali, menghabiskan waktu di luar sana, berkeliling dari satu tempat perjudian ke tempat perjudian yang lain.
Ayah Dencor mati jatuh dari pohon enau persis saat Dencor baru bisa merangkak. Ibu Dencor berlari meninggalkan Dencor merangkak-rangkak di halaman begitu mengetahui dari teriakan warga di arah sungai bahwa suaminya telah jatuh dari pohon enau.
Sebelumnya, saat ayah Dencor pergi ke sungai memikul sejumlah kekelok, ibu Dencor yang geram ditinggalkan terus setiap hari berteriak penuh amarah, ”Mudahan kamu mati jatuh, remuk kepalamu!” Dan, apa yang ia katakan langsung menjadi kenyataan hanya beberapa saat kemudian.
Dencor tertawa mendengar cerita itu. Ia begitu girang. Cerita itu membuatnya yakin bahwa dirinya memang tak lahir dari perempuan sembarangan. Ia yakin ibunya sakti karena kata-katanya sangat manjur, dan ia yakin kemampuannya mengobati orang-orang sakit yang datang padanya ia terima dari ibunya sendiri. Maka, setelah itu, ia betul-betul bersemangat untuk mencari ilmu Nabi Ibrahim, yang ia percaya berada di suatu tempat dan menunggu kedatangannya.
Ibunya sangat menyesal pada cerita panjang lebarnya malam itu ketika besok paginya dan besoknya lagi Dencor benar-benar tidak dilihat oleh siapa pun di mana pun. Dencor menghilang.
Tak seorang pun mengetahui ke mana gerangan ia pergi. Orang-orang bersaksi malam itu mendengar lolongan anjing dan suara langkah kaki. Dencor diyakini berjalan ke selatan, berjalan ke hutan.
Pada malam-malam tertentu, mereka melihat seperti nyala suluh di hutan dan nyala itu berpindah-pindah. Dencor pasti tengah melakukan perjalanan. Gamelan dikerahkan dan dibawa ke arah hutan. Nama Dencor dipanggil-panggil. Anak-anak yang penasaran ikut pula dan nama Dencor yang dilengkingkan oleh mulut mereka terdengar aneh seperti sebuah lelucon.
Ibu Dencor ikut pula mencari dan ia menyampaikan kembali kesusahan-kesusahan yang ia alami selama ia mengandung dan melahirkan Dencor. Laki-laki pemabuk yang dibantu Dencor juga ikut melakukan pencarian dan sepanjang jalan ia meratap karena tanpa Dencor ia tidak akan dapat makan gayas lagi.
Memasuki hari ketiga, mereka berhasil menemukan Dencor di tengah hutan, berdiri di bawah sebuah pohon yang sangat besar. Tabuhan gamelan dikeraskan dan teriakan-teriakan juga semakin riuh. Para warga cepat menangkap Dencor yang mereka yakini jika tidak cepat ditangkap Dencor akan dengan mudah terbang, melesat jauh seperti burung.
Dencor diajak pulang, ia melangkah dengan terpincang-pincang, semakin terpincang dibanding sebelumnya. Gamelan tetap ditabuh, kali ini bukan untuk membuat makhluk halus yang memegangi Dencor melepaskan pegangan mereka dan menari—seperti yang mereka yakini—tetapi untuk melepas lelah mereka. Dencor berjalan di tengah, dikerumuni anak-anak. Ia seperti seorang pengantin.
”Ke mana epe pergi?” tanya salah seorang anak padanya.
Dencor melihat anak itu, dan anak-anak di sekitarnya adalah anak-anak yang telah secara kebetulan menceritakan kisah nabi di dekat rumahnya.
”Saya cari ilmu Nabi Ibrahim,” jawab Dencor, jujur.
Para warga merasa yakin Dencor masih setengah linglung karena baru saja berpindah dari dunia jin. Namun, anak-anak tetap menanyai Dencor tanpa peduli larangan para orang tua mereka.
”Epe berhasil temukan?” tanya anak yang lain.
Dencor terdiam sebentar sebelum mengangguk. Dan ia menambahkan, ”Nanti kalau ada kebakaran besar saya buktikan!”
Anak-anak itu menjadi kegirangan. Terang-terangan salah seorang dari mereka bertanya, ”Kapan? Kapan ada kebakaran besar?”
Dencor tidak menjawab, tetapi dari raut wajahnya ia seperti mengharapkan akan ada kebakaran tak lama lagi. (*)
22 September 2022
Catatan kaki
Belian: Dukun
Epe: Kamu (sopan)
Gayas: Larva kumbang berupa ulat putih yang hidup di dalam tanah
Kekelok: Tabung dari bambu yang biasa digunakan untuk menampung air nira
Neneq: Tuhan
Sedaq: Makanan pelengkap
—
ARIANTO ADIPURWANTO, Lahir di Selebung, Lombok Utara, 1993. Buku terbarunya berjudul Iblis Tanah Suci (Diva Press, 2024). Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB.