26.7 C
Jakarta
Saturday, July 27, 2024
spot_img

Mereka Baru Kandidat dan Rayuan Pemilih Muda

SEBUAH pergeseran teknik dan strategi politik yang cukup mencolok bisa segera ditemukenali dalam medan kampanye Pemilu 2024 ini. Dengan mata amatir saja, publik bisa segera tahu bahwa ada beda besar antara kompetisi 2024 dan tahun-tahun sebelumnya, yakni upaya habis-habisan untuk merayu pemilih muda.

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendasarkan pesan-pesan kampanyenya lewat metafora sepak bola, mendatangi podcast dan dialog dengan basis anak muda, serta mengartikulasikan kritik-kritik melalui kosakata ’’kekinian’’ yang populer. Duet dua figur itu menipiskan image lama keduanya yang lekat dengan religiusitas dan mengubah citra diri dengan narasi-narasi segar, baru, dan akrab di telinga muda.

Setali tiga uang, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memoles citra diri yang rileks dan santai, dua resep yang sejauh ini efektif dalam mengurangi keseriusan, ketegangan, dan kesan angker dari figur Prabowo. Situasi pada 2024 memaksa pasangan itu melakukan lompatan besar dengan meninggalkan formula lama Prabowo yang sering diasosiasikan dengan ketegasan –juga image buruknya sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Dan, kemudian menyusun ulang retorika yang dipenuhi gimik dan trivia.

Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD telaten menggarap ranah media baru, semisal TikTok, Instagram, maupun Twitter, tiga medan utama yang menyedot perhatian anak muda. Ditambah dengan polesan busana kasual beserta aktivitas trivia semisal rutinitas joging, Ganjar-Mahfud ingin mendudukkan diri sebagai representasi kemudaan.

Perebutan untuk ’’menjadi’’ muda sesungguhnya logis belaka. Jumlah pemilu berkategori muda (17–40 tahun) mencapai 52 persen –sebuah angka jumbo yang memerlukan pendekatan sistematis. Pertimbangan itu memaksa kandidat untuk membangun mereknya yang baru, melakukan penyesuaian-penyesuaian, juga mengorbankan impresi lama yang sering diasosiasikan kepada mereka pada tahun-tahun politik sebelumnya.

Baca Juga :  Ganjar Pastikan Bangun SDM Merata Sampai Pelosok Desa di Papua

Meski demikian, merebut perhatian pemilih muda memerlukan kehati-hatian yang khusus: adakah banjir kampanye yang penuh trivia dan kosmetika kemudaan itu pada akhirnya menebang gagasan-gagasan dan visi besar? Apakah publik masih bisa mengenali substansi ide tanpa terlalu banyak disedot oleh distraksi kemasan?

Distraksi Politik

Sebuah laporan ilmiah memukau tentang fenomena pemilu dan pemilih muda ditulis Duncan McCargo (2021) yang menggarisbawahi kecenderungan-kecenderungan mengkhawatirkan. Dengan mendasarkan analisisnya pada generasi Z di Thailand, McCargo melihat inkonsistensi dan volatilitas yang tinggi pada gen Z dalam merespons isu-isu politik kontemporer. Sikap generasi muda sangat bertenaga, kritis, dan energik, tetapi tak memiliki stamina gerakan dan mudah padam.

Bahkan, pada konteks Thailand di mana demonstrasi jalanan adalah sebuah metode gerakan sehari-hari, generasi muda mereka sering melepas momentum penting untuk melancarkan kritik. Akibat langsung dari hal itu, semua dipanen baru-baru ini: pemilu Thailand melahirkan ulang kekuasaan oligarkis yang didominasi kelompok elite tua.

Pada titik ini, kita dapat melihat kesamaan ketika memandang kasus Indonesia. Generasi muda kita adalah aset yang sangat berharga dalam menggerakkan kritisisme sosial politik, tetapi menyimpan celah inkonsistensi dan distraksi politik. Berturut-turut skandal elite yang diungkap dan diramaikan lewat media sosial tampak berhasil memberi dampak, tetapi efeknya sering kali mudah menguap.

Hal-hal yang dulu dianggap tabu politik dapat menjadi percakapan dan debat yang ramai di tangan anak-anak muda media sosial. Tetapi, pada beberapa hari atau minggu kemudian, topik segera berganti dan pembahasan bergulir ke tema yang sama sekali lain.

Baca Juga :  SKY Minta Pemuda Katolik Jadi Penyejuk di Pemilu 2024

Konjungtur naik turun itu memperkuat kecemasan McCargo bahwa generasi muda adalah generasi yang sesungguhnya paling dikecewakan oleh politik elite: mereka dihitung sebagai suara yang besar dan banyak, tetapi dimanipulasi sedemikian rupa dengan narasi trivia sambil memanfaatkan inkonsistensi dan volatilitas perilaku politik mereka.

Dalam konteks ini, menjadi penting untuk menjaga agar kampanye dan narasi-narasi pro-kelompok muda tidak menciptakan distraksi politik bagi pemilih muda. Kecemasan tersebut beralasan terutama lantaran kita semakin hari semakin dikepung oleh diskusi dan percakapan yang tidak bermutu, dari soal joget kandidat, nama tim kampanye yang menyerupai tim olahraga atau drama, dan rutinitas lari pagi. Semuanya tak menghadirkan sebuah perdebatan yang sehat dan serius dalam meneropong rencana maupun ide kandidat untuk Indonesia ke depan.

Tentu saja di sini harus dipaparkan sebuah disclaimer bahwa kreativitas kampanye adalah penting. Tetapi, ia penting bukan semata-mata untuk menggusur bentuk kampanye yang konservatif dan monoton, melainkan justru bahwa kampanye kreatif menolong kandidat dalam mengirim pesan program yang dapat dicerna oleh macam-macam segmen pemilih, termasuk anak muda. Kegunaan ini, oleh karena itu, mustahil dicapai andai kandidat terlalu berfokus semata-mata pada kemasan.

Lagi pula, asumsi semacam itu juga terlampau berbahaya karena mendudukkan pemilih muda semata-mata sebagai objek yang mudah ditipu. Meremehkan daya nalar mereka tentu adalah perjudian yang berbahaya. Sebab, kita tak pernah tahu bagaimana anak zaman ini menghukum elite nun jauh di puncak kekuasaan sana. (*)

*) RENDY PAHRUN WADIPALAPA, Peneliti Politik, PhD dari University of Leeds, United Kingdom

SEBUAH pergeseran teknik dan strategi politik yang cukup mencolok bisa segera ditemukenali dalam medan kampanye Pemilu 2024 ini. Dengan mata amatir saja, publik bisa segera tahu bahwa ada beda besar antara kompetisi 2024 dan tahun-tahun sebelumnya, yakni upaya habis-habisan untuk merayu pemilih muda.

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mendasarkan pesan-pesan kampanyenya lewat metafora sepak bola, mendatangi podcast dan dialog dengan basis anak muda, serta mengartikulasikan kritik-kritik melalui kosakata ’’kekinian’’ yang populer. Duet dua figur itu menipiskan image lama keduanya yang lekat dengan religiusitas dan mengubah citra diri dengan narasi-narasi segar, baru, dan akrab di telinga muda.

Setali tiga uang, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memoles citra diri yang rileks dan santai, dua resep yang sejauh ini efektif dalam mengurangi keseriusan, ketegangan, dan kesan angker dari figur Prabowo. Situasi pada 2024 memaksa pasangan itu melakukan lompatan besar dengan meninggalkan formula lama Prabowo yang sering diasosiasikan dengan ketegasan –juga image buruknya sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Dan, kemudian menyusun ulang retorika yang dipenuhi gimik dan trivia.

Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD telaten menggarap ranah media baru, semisal TikTok, Instagram, maupun Twitter, tiga medan utama yang menyedot perhatian anak muda. Ditambah dengan polesan busana kasual beserta aktivitas trivia semisal rutinitas joging, Ganjar-Mahfud ingin mendudukkan diri sebagai representasi kemudaan.

Perebutan untuk ’’menjadi’’ muda sesungguhnya logis belaka. Jumlah pemilu berkategori muda (17–40 tahun) mencapai 52 persen –sebuah angka jumbo yang memerlukan pendekatan sistematis. Pertimbangan itu memaksa kandidat untuk membangun mereknya yang baru, melakukan penyesuaian-penyesuaian, juga mengorbankan impresi lama yang sering diasosiasikan kepada mereka pada tahun-tahun politik sebelumnya.

Baca Juga :  Ganjar Pastikan Bangun SDM Merata Sampai Pelosok Desa di Papua

Meski demikian, merebut perhatian pemilih muda memerlukan kehati-hatian yang khusus: adakah banjir kampanye yang penuh trivia dan kosmetika kemudaan itu pada akhirnya menebang gagasan-gagasan dan visi besar? Apakah publik masih bisa mengenali substansi ide tanpa terlalu banyak disedot oleh distraksi kemasan?

Distraksi Politik

Sebuah laporan ilmiah memukau tentang fenomena pemilu dan pemilih muda ditulis Duncan McCargo (2021) yang menggarisbawahi kecenderungan-kecenderungan mengkhawatirkan. Dengan mendasarkan analisisnya pada generasi Z di Thailand, McCargo melihat inkonsistensi dan volatilitas yang tinggi pada gen Z dalam merespons isu-isu politik kontemporer. Sikap generasi muda sangat bertenaga, kritis, dan energik, tetapi tak memiliki stamina gerakan dan mudah padam.

Bahkan, pada konteks Thailand di mana demonstrasi jalanan adalah sebuah metode gerakan sehari-hari, generasi muda mereka sering melepas momentum penting untuk melancarkan kritik. Akibat langsung dari hal itu, semua dipanen baru-baru ini: pemilu Thailand melahirkan ulang kekuasaan oligarkis yang didominasi kelompok elite tua.

Pada titik ini, kita dapat melihat kesamaan ketika memandang kasus Indonesia. Generasi muda kita adalah aset yang sangat berharga dalam menggerakkan kritisisme sosial politik, tetapi menyimpan celah inkonsistensi dan distraksi politik. Berturut-turut skandal elite yang diungkap dan diramaikan lewat media sosial tampak berhasil memberi dampak, tetapi efeknya sering kali mudah menguap.

Hal-hal yang dulu dianggap tabu politik dapat menjadi percakapan dan debat yang ramai di tangan anak-anak muda media sosial. Tetapi, pada beberapa hari atau minggu kemudian, topik segera berganti dan pembahasan bergulir ke tema yang sama sekali lain.

Baca Juga :  SKY Minta Pemuda Katolik Jadi Penyejuk di Pemilu 2024

Konjungtur naik turun itu memperkuat kecemasan McCargo bahwa generasi muda adalah generasi yang sesungguhnya paling dikecewakan oleh politik elite: mereka dihitung sebagai suara yang besar dan banyak, tetapi dimanipulasi sedemikian rupa dengan narasi trivia sambil memanfaatkan inkonsistensi dan volatilitas perilaku politik mereka.

Dalam konteks ini, menjadi penting untuk menjaga agar kampanye dan narasi-narasi pro-kelompok muda tidak menciptakan distraksi politik bagi pemilih muda. Kecemasan tersebut beralasan terutama lantaran kita semakin hari semakin dikepung oleh diskusi dan percakapan yang tidak bermutu, dari soal joget kandidat, nama tim kampanye yang menyerupai tim olahraga atau drama, dan rutinitas lari pagi. Semuanya tak menghadirkan sebuah perdebatan yang sehat dan serius dalam meneropong rencana maupun ide kandidat untuk Indonesia ke depan.

Tentu saja di sini harus dipaparkan sebuah disclaimer bahwa kreativitas kampanye adalah penting. Tetapi, ia penting bukan semata-mata untuk menggusur bentuk kampanye yang konservatif dan monoton, melainkan justru bahwa kampanye kreatif menolong kandidat dalam mengirim pesan program yang dapat dicerna oleh macam-macam segmen pemilih, termasuk anak muda. Kegunaan ini, oleh karena itu, mustahil dicapai andai kandidat terlalu berfokus semata-mata pada kemasan.

Lagi pula, asumsi semacam itu juga terlampau berbahaya karena mendudukkan pemilih muda semata-mata sebagai objek yang mudah ditipu. Meremehkan daya nalar mereka tentu adalah perjudian yang berbahaya. Sebab, kita tak pernah tahu bagaimana anak zaman ini menghukum elite nun jauh di puncak kekuasaan sana. (*)

*) RENDY PAHRUN WADIPALAPA, Peneliti Politik, PhD dari University of Leeds, United Kingdom

spot_img
spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru