Site icon Prokalteng

Pemuda dan Rasa Tanah Air

Fadly Rahman

Setiap bangsa memiliki sebutan alternatif terhadap negeri kelahiran atau tanah leluhurnya. Di dunia Barat, istilah yang lazim digunakan adalah homeland, motherland, atau fatherland. Di dunia Timur seperti Tiongkok ada sebutan zǔguómǔqīn (tanah para leluhur) dan di India disebut maatrbhoomi (negeri ibu pertiwi).

Di Indonesia, istilah yang banyak digunakan dan berbeda dengan sebutan di kebanyakan negara lain adalah ’’tanah air’’ –selain ibu pertiwi dan Nusantara. Bukti historis penggunaan tanah air dapat dibaca dalam ikrar pertama Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: ’’Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Air Indonesia.’’

Afinitas Kebangsaan

Pasca kemerdekaan, tanah air merupakan bagian dari konsep wawasan Nusantara Indonesia yang terdiri atas daratan dan lautan. Penggunaan tanah air banyak dituangkan dalam lagu-lagu kebangsaan sebagai wahana membangkitkan rasa cinta orang Indonesia terhadap negeri kelahirannya. Salah satunya lagu Tanah Airku karya Saridjah Bintang Sudibyo alias Ibu Sud:

Tanah Airku, tidak kulupakan//Kan terkenang, selama hidupku//Biarpun saya pergi jauh//Tidak kan hilang dari kalbu//Tanahku yang kucintai Engkau, kuhargai.

Sumardi dalam biografi Sarijah Bintang Sudibyo (1985) mengisahkan, lagu itu diciptakan Ibu Sud untuk mengabadikan semangat kebangsaan para pemuda ketika peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda. Tanah Airku mengungkapkan suara hati bangsa Indonesia terhadap tanah airnya. Bukan hanya yang di Indonesia, melainkan juga mereka yang berdiaspora ke mancanegara.

Berbeda dengan kondisi sekarang ketika banyak warga Indonesia yang bepergian ke mancanegara dengan menggunakan –meminjam istilah Martin Aleida dalam Tanah Air yang Hilang (2017)– ’’paspor mewah’’. Pada masa lalu, mereka yang kebanyakan dari kalangan pemuda berdiaspora ke mancanegara dengan diselimuti kisah suka dan duka.

Pada masa pergerakan nasional awal abad ke-20, beberapa pemuda pergi ke Belanda untuk menempuh studi. Salah satunya Abdoel Rivai, aktivis dan jurnalis yang menempuh studi kedokteran di Belanda dan Belgia sejak 1889 hingga 1907 (orang Indonesia pertama yang lulus studi dokter di Eropa). Selain studi, dia aktif terlibat dalam pergerakan nasional.

Rivai juga menjadi redaktur surat kabar Bintang Hindia yang terbit perdana di Amsterdam pada 1902. Dalam tulisannya, dia kerap menggunakan istilah ’’bangsa Hindia’’ untuk menekankan identitas masyarakat bumiputra yang lantas mengilhami munculnya istilah ’’bangsa Indonesia’’ yang di antaranya dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 1928.

Ikatan kuat terhadap Hindia pula yang mendorong Rivai pulang ke tanah airnya pada 1911 setamat studi dokternya. Dia turut mendukung pergerakan nasional Indische Partij dan bekerja sebagai redaktur di surat kabar Bintang Timoer, corongnya dalam mengkritik pemerintah kolonial.

Melalui surat kabar itu, dia banyak mengisahkan pengalamannya selama di Belanda. Salah satu artikelnya dalam Bintang Timoer (3 Oktober 1927) yang berjudul Perhimpunan Indonesia sebagai Kumpulan Nasional menyinggung acara selamatan dengan jamuan makan siang khas Indonesia yang diadakan perhimpunan orang Indonesia di Den Haag dan Leiden.

Dalam jamuan yang diadakan ketika ujian sidang promosi Mr Soepomo di Universitas Leiden tersebut, dia mengutarakan makanan yang disajikan: ’’…nationaal betul-betul! Sate, bakmi, ayam soto, ayam panggang, nasi goreng disediakan buat tetamu.’’

Menghargai Tanah Air

Hubungan makanan dengan rasa kebangsaan juga terasa dalam kisah para intelektual muda Indonesia yang tidak bisa pulang ke Indonesia pasca-1965. Mereka –meminjam istilah almarhum Gus Dur–klayaban di negeri orang akibat tragedi ideologi politik Indonesia. Mereka yang diskrining tidak loyal terhadap rezim negara yang dipimpin Soeharto itu dicabut kewarganegaraannya dan tidak bisa kembali ke tanah air.

Kisah Sobron Aidit yang menjadi eksil di Paris sejak 1981 hingga wafatnya pada 2007 menarik untuk ditafakuri. Sekalipun kehilangan tanah airnya, dia tetap menghargai dan tidak bisa melupakannya. Untuk menghidupkan rasa cinta tanah airnya, dia membuka restoran di Paris pada 14 Desember 1982 yang dinamakan Restaurant Indonesia.

Dalam buku Melawan dengan Restoran (2007) yang ditulis Sobron Aidit dan Budi Kurniawan, Sobron mengatakan dalam asanya yang menyiratkan kegetiran tentang maksudnya membuka Restoran Indonesia: ’’Semua ini kami lakukan demi melangsungkan kehidupan di pengasingan selama belum bisa mudik ke tanah air. Hati, jiwa, dan perasaan kami tetap di tanah air.’’

Sosok Rivai dan Sobron mewakili semangat intelektual muda pada masa hidupnya yang berupaya menemukan serta menjaga jati diri mereka sebagai orang Indonesia.

Dari kisah keduanya, Sumpah Pemuda kiranya tidak cukup hanya sebuah tonggak sejarah. Sumpah Pemuda sejatinya sejarah yang terus berproses sebagai perkembangan pemikiran progresif kaum muda dalam menjaga rasa cinta terhadap tanah air. (*)

FADLY RAHMAN , Dosen di departemen sejarah dan filologi Universitas Padjadjaran

Exit mobile version