Site icon Prokalteng

THR, dari Normatif ke Kesadaran Etis

AUGUSTINUS SIMANJUNTAK

PEMBERIAN tunjangan hari raya (THR) menjadi perhatian khusus pemerintah jelang Lebaran. Mengacu PP Nomor 14 Tahun 2024, pemerintah telah resmi mengumumkan bahwa THR dan gaji ke-13 bagi aparatur sipil negara (ASN) bakal cair 100 persen tahun ini. Selama empat tahun sebelumnya pemberian ini memang tidak penuh mengingat adanya dampak pandemi Covid-19.

THR bagi ASN (tanpa minimal masa kerja) akan diberikan paling cepat 10 hari kerja sebelum Lebaran. Bagaimana dengan pekerja swasta? Pemerintah telah menetapkan realisasi THR bagi buruh paling lambat H-7 sebelum Lebaran. Yaitu, buruh yang telah bekerja minimal satu bulan secara terus-menerus, termasuk buruh kontrak. Bedanya, realisasi THR bagi ASN bergantung kondisi keuangan negara sehingga pemerintah tak bisa dikenai sanksi bila tak memenuhi THR.

Sebaliknya, pengusaha yang tidak membayar THR dapat dikenai sanksi seperti teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha. Persamaannya, baik THR bagi ASN maupun buruh sama-sama berperan dalam menggerakkan roda perekonomian nasional.

Sebenarnya pengusaha berpeluang memberikan THR yang lebih besar kepada pekerjanya ketimbang THR yang diterima ASN. Sebab, profit yang dihasilkan pengusaha itu tanpa batas. Sayang, berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada 2023, masih terdapat 1.540 aduan terkait THR. Itu berarti masih ada oknum pengusaha yang berspirit no work no pay soal THR yang merupakan pendapatan non-upah. Akibatnya, THR dianggap pengusaha ini sebagai beban perusahaan yang perlu dihindari.

Paradigma ini jauh dari spirit pemotivasi plus pemberdaya pekerja untuk bekerja lebih keras. Spirit pemberdaya dan pemotivasi umumnya terdapat dalam kepemimpinan yang berkarakter melayani (servant leadership). Bagi servant leader, penghargaan seperti THR merupakan layanan untuk memperkuat relationship antara pengusaha dan pekerja, selain penyemangat kerja. THR memberikan kebahagiaan bagi buruh sekeluarga karena terbantu dalam merayakan hari besar keagamaan.

Michelle Obama pernah berkata, success is not about how much money you make, but about the difference you make in the lives of others. Jadi, ketidakrelaan oknum pengusaha dalam memberikan THR merupakan sebuah kegagalan dalam mengubah pekerja menjadi pemberi kegembiraan baginya (pemberi kinerja tinggi). Padahal, kegembiraan akibat kinerja tinggi seharusnya membuat THR menjadi kegembiraan lebih lanjut bagi pengusaha. Sebab, memberi itu suatu kebahagiaan.

Dilayani untuk Melayani

Lagi pula, norma THR hanyalah standar minimum bagi pengusaha. Pengusaha bisa saja menjalankan ketentuan THR secara progresif atau melampaui rumus pemerintah. Misalnya, jika hukum mengatur nilai THR sebesar satu bulan upah, maka secara progresif pengusaha bisa saja memberi lebih dari ketentuan hukum tersebut karena layanan kinerja pekerja juga progresif (melebihi perjanjian kerja).

Langkah progresif bukan berarti meniadakan hukum positif, melainkan menghidupi hukum positif dengan passion dan komitmen tinggi dari kedua pihak (pengusaha dan pekerja) dalam memajukan perusahaan. Kedua pihak diikat oleh relasi yang kuat berdasar tujuan dan perjuangan bersama. Karena itu, dalam pola servant leadership, pengusaha lebih menekankan persuasi plus pemberian motivasi dalam menaikkan kinerja pekerja ketimbang perintah memaksa atau normatif.

THR merupakan salah satu bentuk persuasi tersebut. THR bukanlah pemberian biasa, melainkan momen istimewa karena diberikan di saat hari raya keagamaan. THR juga memiliki aksiologi kemanusiaan bahwa pengusaha mengasihi semua pekerjanya yang sudah bekerja keras selama ini. Jadi, THR bukan lagi kewajiban normatif, melainkan kesadaran etis pengusaha kepada seluruh pekerjanya.

Dengan begitu, pengusaha berkata: Kami memperoleh keuntungan yang besar karena kami telah terlebih dulu melayani pekerja dengan membayar upah dan THR yang terbaik. Seluruh potensi pekerja telah dimaksimalkan pengusaha lewat layanan pelatihan, keteladanan, pembinaan, dan dorongan untuk senantiasa memberikan produktivitas terbaik. Pengusaha berpola servant leadership tidak bakal menempatkan pekerjanya sekadar menjalankan tugas-tugas normatif dan monoton.

Sedangkan dari sudut pandang buruh, buruh berkewajiban etis untuk memberikan prestasi kerja yang bisa saja melampaui harapan perusahaan demi kemajuan perusahaan. Dengan demikian, pekerja berkata: Kami mendapat upah dan THR yang terbaik dari perusahaan karena kami telah bekerja loyal dan progresif serta sukses menghasilkan kualitas kerja yang terbaik.

Perkataan ini merupakan hasil dari praktik servant leadership di perusahaan. Sebab, salah satu ciri servant leadership ialah komitmen dan kemampuan untuk memberdayakan pekerja. Ia mampu mendorong pertumbuhan pribadi dan profesionalitas pada orang-orang yang dipimpinnya.

Dari segi karakter, pengusaha berpola servant leadership umumnya banyak menghasilkan pekerja yang berjiwa pelayan berkualitas di masyarakat/ konsumen. Lahirnya pelayanan berkualitas tinggi di masyarakat merupakan bukti bahwa pengusaha merupakan sosok yang mudah memberi layanan transformasional kepada pekerjanya, termasuk layanan THR. Dilayani untuk melayani!

Martin Luther King Jr pernah berkata: Everybody can be great because anybody can serve. Perusahaan bisa bertumbuh pesat karena semua pekerjanya hidup berkualitas dan sejahtera (dilayani pengusaha), dan pekerja semangat memberikan prestasi terbaiknya (melayani konsumen). Dengan demikian, di setiap hari Lebaran, kedua pihak sama-sama merasakan kegembiraan. (*)

*) AUGUSTINUS SIMANJUNTAK, Dosen Program Business Management Universitas Kristen Petra Surabaya

Exit mobile version