27.3 C
Jakarta
Sunday, September 8, 2024

Melawan Tirani Kuasa Simbolik

MUNCULNYA serangkaian kontroversi publik tentang pengajuan guru besar di segelintir elite dan perdebatan tentang keabsahan nasab mengindikasikan masih kuatnya cengkeraman kuasa simbolik di tengah-tengah masyarakat.

Ternyata, berbagai gelar dan atribut simbolik masih menjadi ’’tuah” yang diburu oleh sebagian masyarakat kita yang ’’tergila-gila” dan terobsesi dengan glorifikasi, kemegahan, dan kejayaan diri. Pada ujungnya, semua itu hendak digunakan untuk meneguhkan status diri dalam sebuah skema stratifikasi sosial yang hierarkis, feodal, dan piramidal.

Itulah mengapa Rektor UII Jogjakarta Prof Fathul Wahid ST MSc PhD perlu mengeluarkan surat edaran tertanggal 18 Juli 2024. Isinya, perintah bagi seluruh jajarannya cukup menuliskan Fathul Wahid tanpa gelar pada korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum, selain ijazah dan transkrip nilai. Tujuannya untuk menguatkan iklim kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi yang dipimpinnya.

Mengikuti Weber (1968), terjadinya transformasi sosial dari masyarakat ”Paguyuban” (Gemeinschaft) ke masyarakat ”Patembayan” (Gesellschaft) yang modern dan rasional ternyata tidak serta-merta menghilangkan perburuan kuasa simbolik di masyarakat. Struktur dan nilai-nilai budaya memang telah bergeser ke arah rasional.

Namun, transformasi sosial ternyata tidak mereduksi nilai dan makna tentang kehormatan diri di masyarakat. Jika pada masa lampau kehormatan sosial ada pada gelar kebangsawanan yang ditentukan oleh garis keturunan, sekarang bergeser ke ranah akademik, rasional, dan birokratis.

Sudah sejak lama, para ilmuwan mengelompokkan manusia sebagai ”hewan simbolis” (animal symbolicum). Ernst Cassirer, misalnya, dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, The Philosophy of Symbolic Forms (1956), lebih suka menyebut manusia sebagai animal symbolicum ketimbang animal rationale (hewan berpikir).

Dengan kapasitas berpikirnya, manusia menggunakan tanda-tanda sebagai sarana memahami dunianya yang tidak mudah untuk dicerna. Manusia menciptakan bentuk-bentuk simbolik, memberi makna atasnya yang terefleksikan dalam bahasa, mitos, seni, agama, dan sains.

Berpindahnya stratifikasi sosial dari ranah informal (keluarga) dan nonformal (masyarakat) ke ranah yang lebih modern dan rasional (unit organisasi) menunjukkan ”kedapnya” masyarakat kita dari proses transformasi sosial ke arah yang lebih egaliter dan manusiawi.

Baca Juga :  Darurat KDRT, Masalah yang Terus Berulang

Alih-alih menjadi lebih egaliter, kuasa simbolik yang dulu terletak pada garis keturunan dan darah kebangsawanan kemudian bermetamorfosis menjadi fungsi (function) dan kecakapan hidup yang dapat menentukan kehormatan seseorang pada sebuah unit organisasi. Akibatnya, perburuan terhadap kuasa simbolik tetap marak di masyarakat sekalipun mereka sudah termodernkan.

Mestinya, kuasa simbolik digunakan sebagai media untuk menggempur perbedaan, menghormati kedirian atas dasar kemanusiaan (bukan status sosialnya), dan menegakkan keadilan atas sesama. Kenyataannya, minimal hingga kini, gagasan tentang egalitarianisme dan kehormatan diri berbasis kemanusiaan masih jauh panggang dari api.

Perburuan kuasa simbolik ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Bangsa-bangsa lain yang lebih maju juga pernah mengalami hal yang sama. Hanya, mereka telah melaluinya dengan baik dan menyelesaikannya berdasarkan mekanisme sosial yang bermartabat.

Di Inggris, misalnya, orang yang memiliki gelar ”Sir” dianggap lebih terhormat daripada yang tidak. Hanya, gelar tersebut tidak serta-merta menjadikannya sebagai manusia ”setengah dewa” yang dapat berbuat apa saja sesuai kehendaknya. Dia tetap seorang warga negara (citizen) biasa yang harus taat hukum dan patuh terhadap prinsip kewarganegaraan yang egaliter, demokratis, dan manusiawi.

Ekonomi-Politik Simbol

Oleh karena itu, sangat bisa dipahami jika dalam struktur masyarakat modern setiap orang tetap bergerak menuju puncak piramida sosial yang stratifikatif dan hierarkis itu. Sayangnya, tidak setiap orang menyadari bahwa tangga-tangga piramida itu mengapresiasi proses ”menjadi” (becoming) yang harus dilalui tahap demi tahap.

Banyak di antara kita yang menghendaki cara-cara instan yang cenderung mengabaikan meritokrasi yang sesungguhnya. Bagi yang berpikir oportunistis, kebutuhan ”naik kelas” atau naik pangkat dimaknai sebagai peluang untuk meraih keuntungan melalui fasilitasi proses yang lancung atau abal-abal.

Baca Juga :  Berpikir (Tidak) Merdeka di Kurikulum Merdeka

Maraknya jasa penyedia pembuatan artikel jurnal internasional bereputasi untuk kenaikan pangkat dan jabatan dosen mencerminkan hukum pasar supply-and-demand semacam ini. Penjual ijazah dan sertifikat juga tetap laris manis lantaran banyaknya permintaan dari masyarakat yang hendak mengubah nasib atau naik kelas secara instan.

Di kalangan pemuja nasab, selembar sertifikat nasab dapat mengubah nasabnya menjadi ”nasib.” Pendek kata, proses metamorfosis kuasa simbolik memungkinkan terciptanya profesi pialang yang melayani atau menyediakan jasa kebutuhan masyarakat.

Keluar dari (Cangkang) Formalisme

Mengatasi tirani kuasa simbolik semacam ini, tidak ada cara lain bagi bangsa ini kecuali keluar dari cangkang formalisme ke arah yang lebih meritokrasi, rasional, dan manusiawi. Selain itu, penghargaan atas kemegahan dan kejayaan seseorang harus berangkat dari prinsip-prinsip dasar kemanusiaan universal.

Bahwa setiap orang dihargai karena dia adalah seorang manusia, terlepas dari apa pun latar belakang primordial dan budayanya. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama dan sederajat di mata manusia lainnya dan di muka hukum. Stratifikasi sosial tidak boleh menjadi penghalang bagi penghargaan atas manusia lainnya.

Inilah sebenarnya spirit transformatif yang menjadi inti ajaran agama-agama kita (QS 49:13). Sayangnya, tidak sedikit umat beragama yang tetap melestarikan stratifikasi sosial untuk kepentingan ekonomi-politik jangka pendek. Mereka menggunakan parameter sosiologis untuk memberi penghormatan atas manusia lainnya.

Dominasi, hegemoni, dan eksploitasi kelas tertentu atas manusia lainnya cenderung dilahirkan dari cara pandang semacam ini. Hanya dengan cara kembali kepada spirit transformatif agama, kita dapat mencegah terjadinya –meminjam terminologi Presiden Soekarno– ”eksploitasi manusia oleh manusia lain” (l’exploitation de l’home par l’home). Semoga! (*)

*) MASDAR HILMY, Guru besar dan direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

 

MUNCULNYA serangkaian kontroversi publik tentang pengajuan guru besar di segelintir elite dan perdebatan tentang keabsahan nasab mengindikasikan masih kuatnya cengkeraman kuasa simbolik di tengah-tengah masyarakat.

Ternyata, berbagai gelar dan atribut simbolik masih menjadi ’’tuah” yang diburu oleh sebagian masyarakat kita yang ’’tergila-gila” dan terobsesi dengan glorifikasi, kemegahan, dan kejayaan diri. Pada ujungnya, semua itu hendak digunakan untuk meneguhkan status diri dalam sebuah skema stratifikasi sosial yang hierarkis, feodal, dan piramidal.

Itulah mengapa Rektor UII Jogjakarta Prof Fathul Wahid ST MSc PhD perlu mengeluarkan surat edaran tertanggal 18 Juli 2024. Isinya, perintah bagi seluruh jajarannya cukup menuliskan Fathul Wahid tanpa gelar pada korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum, selain ijazah dan transkrip nilai. Tujuannya untuk menguatkan iklim kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi yang dipimpinnya.

Mengikuti Weber (1968), terjadinya transformasi sosial dari masyarakat ”Paguyuban” (Gemeinschaft) ke masyarakat ”Patembayan” (Gesellschaft) yang modern dan rasional ternyata tidak serta-merta menghilangkan perburuan kuasa simbolik di masyarakat. Struktur dan nilai-nilai budaya memang telah bergeser ke arah rasional.

Namun, transformasi sosial ternyata tidak mereduksi nilai dan makna tentang kehormatan diri di masyarakat. Jika pada masa lampau kehormatan sosial ada pada gelar kebangsawanan yang ditentukan oleh garis keturunan, sekarang bergeser ke ranah akademik, rasional, dan birokratis.

Sudah sejak lama, para ilmuwan mengelompokkan manusia sebagai ”hewan simbolis” (animal symbolicum). Ernst Cassirer, misalnya, dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, The Philosophy of Symbolic Forms (1956), lebih suka menyebut manusia sebagai animal symbolicum ketimbang animal rationale (hewan berpikir).

Dengan kapasitas berpikirnya, manusia menggunakan tanda-tanda sebagai sarana memahami dunianya yang tidak mudah untuk dicerna. Manusia menciptakan bentuk-bentuk simbolik, memberi makna atasnya yang terefleksikan dalam bahasa, mitos, seni, agama, dan sains.

Berpindahnya stratifikasi sosial dari ranah informal (keluarga) dan nonformal (masyarakat) ke ranah yang lebih modern dan rasional (unit organisasi) menunjukkan ”kedapnya” masyarakat kita dari proses transformasi sosial ke arah yang lebih egaliter dan manusiawi.

Baca Juga :  Darurat KDRT, Masalah yang Terus Berulang

Alih-alih menjadi lebih egaliter, kuasa simbolik yang dulu terletak pada garis keturunan dan darah kebangsawanan kemudian bermetamorfosis menjadi fungsi (function) dan kecakapan hidup yang dapat menentukan kehormatan seseorang pada sebuah unit organisasi. Akibatnya, perburuan terhadap kuasa simbolik tetap marak di masyarakat sekalipun mereka sudah termodernkan.

Mestinya, kuasa simbolik digunakan sebagai media untuk menggempur perbedaan, menghormati kedirian atas dasar kemanusiaan (bukan status sosialnya), dan menegakkan keadilan atas sesama. Kenyataannya, minimal hingga kini, gagasan tentang egalitarianisme dan kehormatan diri berbasis kemanusiaan masih jauh panggang dari api.

Perburuan kuasa simbolik ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Bangsa-bangsa lain yang lebih maju juga pernah mengalami hal yang sama. Hanya, mereka telah melaluinya dengan baik dan menyelesaikannya berdasarkan mekanisme sosial yang bermartabat.

Di Inggris, misalnya, orang yang memiliki gelar ”Sir” dianggap lebih terhormat daripada yang tidak. Hanya, gelar tersebut tidak serta-merta menjadikannya sebagai manusia ”setengah dewa” yang dapat berbuat apa saja sesuai kehendaknya. Dia tetap seorang warga negara (citizen) biasa yang harus taat hukum dan patuh terhadap prinsip kewarganegaraan yang egaliter, demokratis, dan manusiawi.

Ekonomi-Politik Simbol

Oleh karena itu, sangat bisa dipahami jika dalam struktur masyarakat modern setiap orang tetap bergerak menuju puncak piramida sosial yang stratifikatif dan hierarkis itu. Sayangnya, tidak setiap orang menyadari bahwa tangga-tangga piramida itu mengapresiasi proses ”menjadi” (becoming) yang harus dilalui tahap demi tahap.

Banyak di antara kita yang menghendaki cara-cara instan yang cenderung mengabaikan meritokrasi yang sesungguhnya. Bagi yang berpikir oportunistis, kebutuhan ”naik kelas” atau naik pangkat dimaknai sebagai peluang untuk meraih keuntungan melalui fasilitasi proses yang lancung atau abal-abal.

Baca Juga :  Berpikir (Tidak) Merdeka di Kurikulum Merdeka

Maraknya jasa penyedia pembuatan artikel jurnal internasional bereputasi untuk kenaikan pangkat dan jabatan dosen mencerminkan hukum pasar supply-and-demand semacam ini. Penjual ijazah dan sertifikat juga tetap laris manis lantaran banyaknya permintaan dari masyarakat yang hendak mengubah nasib atau naik kelas secara instan.

Di kalangan pemuja nasab, selembar sertifikat nasab dapat mengubah nasabnya menjadi ”nasib.” Pendek kata, proses metamorfosis kuasa simbolik memungkinkan terciptanya profesi pialang yang melayani atau menyediakan jasa kebutuhan masyarakat.

Keluar dari (Cangkang) Formalisme

Mengatasi tirani kuasa simbolik semacam ini, tidak ada cara lain bagi bangsa ini kecuali keluar dari cangkang formalisme ke arah yang lebih meritokrasi, rasional, dan manusiawi. Selain itu, penghargaan atas kemegahan dan kejayaan seseorang harus berangkat dari prinsip-prinsip dasar kemanusiaan universal.

Bahwa setiap orang dihargai karena dia adalah seorang manusia, terlepas dari apa pun latar belakang primordial dan budayanya. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama dan sederajat di mata manusia lainnya dan di muka hukum. Stratifikasi sosial tidak boleh menjadi penghalang bagi penghargaan atas manusia lainnya.

Inilah sebenarnya spirit transformatif yang menjadi inti ajaran agama-agama kita (QS 49:13). Sayangnya, tidak sedikit umat beragama yang tetap melestarikan stratifikasi sosial untuk kepentingan ekonomi-politik jangka pendek. Mereka menggunakan parameter sosiologis untuk memberi penghormatan atas manusia lainnya.

Dominasi, hegemoni, dan eksploitasi kelas tertentu atas manusia lainnya cenderung dilahirkan dari cara pandang semacam ini. Hanya dengan cara kembali kepada spirit transformatif agama, kita dapat mencegah terjadinya –meminjam terminologi Presiden Soekarno– ”eksploitasi manusia oleh manusia lain” (l’exploitation de l’home par l’home). Semoga! (*)

*) MASDAR HILMY, Guru besar dan direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Terpopuler

Artikel Terbaru