26.5 C
Jakarta
Thursday, October 23, 2025

Santri, Pesantren dan Masa Depan Peradaban Indonesia

Oleh: Prof. Dr. Imam Subchi, MA *)

Cendekiawan muslim sekaliber Gus Dur mengatakan bahwa pondok pesantren memiliki ciri khasnya secara otonom yang mendiferensiasikan entitas kelembagaan ini dengan entitassosial lainnya. Hal tersebut karena ditengarai pondok pesantren secara sistemik masih menjaga nilai kultural yang masih terawat dengan baik di tengah pergumulan dinamika sosio-politik domestik (Abdurrahman Wahid, 1974).

Sejak awal, pondok pesantren menjadi faktor simbolik atas kehadiran figur kiai dan santri. Keduanya, tidak bisa dinafikan dalam percakapan keagamaan, karena sebagai entitas sosial, keduanya saling menjaga kohesi keagamaan di satu pihak, dan kohesi kebangsaan di pihak yang lain.

Teritorial pesantren yang terletak di Jombang sangat kentara terhadap pondok pesantren yang populer di kalangan muslim, bukan hanya yang berasal dari Jawa, melainkan dari luar Pulau Jawa juga banyak yang menempuh pendidikan ke pesantren-pesantren tersebut, seperti Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, dan Rejoso.

Dalam bahasa lain, kehadiran dua entitas – kiai dan santri, menjadikan posisi Indonesia semakin berbeda dari entitas yang lainnya. Secara historis, bahkan saat Indonesia belum memeroleh kemerdekaan secara de facto dan de jure, entitas seperti kiai dan santri memiliki peranan yang sangat signifikan dalam percaturan kemerdekaan tersebut.

 

 

Tak ayal, jika Indonesia melalui pemerintah dewasa ini memberikan privilese terhadap para santri dengan adanya Hari Santri Nasional yang secara reguler dirayakan pada bulan Oktober.

Akibatnya, saat ini perspektif publik terhadap kiai dan santri serta pondok pesantren semakin inklusif. Sebab, sebelumnya, santri dan pondok pesantren seringkali diasosiasikan pada second line position dalam interaksi sosial di Indonesia.

Padahal, pondok pesantren telah melahirkan para cendekiawan muslim, presiden, wakil presiden, akademisi, dan para birokrat sebagai aktor negara. Secara umum, kiai sebagai pemegang tampuk kekuasaan di pesantren memiliki legitimasi yang relatif besar, karena keilmuan, kompetensi, kapasitas, dan kapabilitasnya di bidang keagamaan.

Pada saat yang sama, sedari awal sebelum Indonesia berdiri dan jika kita mengkaji kitab kuning tentu saja akan menemukan para ulama yang bukan sekadar memiliki kemampuan di sektor tertentu (ukhrawi) semata, melainkan memiliki kemampuan di sektor yang lainnya (keduniaan).

Dengan demikian, karisma kiai sangat dihormati oleh para santri dan para penduduk. Karisma yang dimilikinya bukan hanya berasal dari kemampuannya semata, melainkan memeroleh dukungan dari Sang Pencipta karena seringkali membangun interaksi sebagai seorang hamba yang taat terhadap Allah Swt., pemegang otoritas tertinggi kosmos.

Atas dasar tersebut, sebagian besar santri dan penduduk berupaya memeroleh keberkahan atas jalinan interaksi tersebut. Karena itu, dalam konteks Indonesia – banyak para santri dan penduduk yang sowan untuk silaturahmi terhadap kiai untuk ‘ngalap berkah’.

Baca Juga :  Tindak Lanjuti Arahan Presiden, Kemenag Segera Audit Bangunan Pesantren

Hal ini sangat diyakini secara konsisten oleh para santri dan kiai bahwa keberkahan dari kiai sangat besar sekali. Bahkan, meminjam istilah K.H Ahmad Bahauddin Nursalim atau populer disebut sebagai figur Gus Baha dalam diskursusnya bahwa seseorang tidak boleh melawan kiai, karena akan kualat.

 

Sentralnya posisi kiai di pondok pesantren, membuatnya semakin menjadi aktor tunggal – yang bisa menciptakan prinsip sami’na wa atho’na. Akibatnya, para santri dan masyarakat cenderung akan mendengar apa yang telahdisampaikan oleh para kiai.

Hal ini bisa ditemukan dari pergumulan para kiai yang menjadi aktor utama dalam kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, di tengah pergumulan tersebut – dewasa ini masih saja ada masyarakat yang menilai relasi sosial kiai, santri, dan pesantren hanya sebatas masyarakat biasa.

Dalam hal ini, persepsi ini tentu saja timbul karena aktor penilainya belum pernah menjadi seorang santri yang ekstensif.

Kemudian, keunikan relasi sosial tersebut yang tumbuh sampai saat ini menjadi objek penelitian yang telah dilakukan oleh para sarjana, seperti Martin van Bruinessen, Clifford Geertz, Robert Jay, K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur, dan para sarjana lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh para sarjana tersebut karena pesantren sebagai medium utama untuk menambah khazanah pengetahuan memiliki karakteristik yang berbeda dan memiliki peranan yang besar.

Saat ini, secara mutakhir pondok pesantren mengalami transformasi sekaligus menunjukkan perubahan, terutama dalam memodifikasi kurikulum pendidikan yang lebih mengutamakan perpaduan antara nilai-nilai kultural dan modernitas. Dengan kata lain, pondok pesantren sangat adaptif terhadap peradaban modern.

Sebab, stereotipe yang berkembang di ruang publik terhadap pesantren sangat beragam sekali, terutama mengarah kepada hal ihwal yang tradisionalis semata. Namun, setelah proses transformasi berjalan secara gradual, pondok pesantren mengalami perluasan – baik secara letak geografis, kurikulum, dan para santri.

Secara faktual, awalnya kiai hanya memiliki pondok pesanten yang sekadar memiliki para santri. Meski demikian, perkembangan pendidikan kontemporer menjadikan pondok pesantren semakin berubah dan menciptakan tumbuhnya pendidikan pesantren di mana-mana sekaligus tumbuhnya sekolah-sekolah modern yang dikelola oleh para kiai.

Pergeseran ini mengafirmasi bahwa telah terjadi transformasi di dunia pesantren. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nurcholis Madjid bahwa pesantren telah melakukan akomodasi atau penyesuaian terhadap sistem penjenjangan, kurikulum yang secara jelas, dan sistem klasikal (Nurcholis Madjid, 1997).

Dalam hal ini, perspektif Cak Nur tersebut juga menampilkan bahwa kiai sebagai pemimpin utama merupakan cerminan seorang pemimpin.

Baca Juga :  Bupati Serahkan Bantuan Rp150 Juta untuk Ponpes Darul Falah

Biasanya, perilaku para kiai akan dipraktikkan oleh para santri dalam interaksi sosial, terlebih secara otoritas keagamaan juga didukung dengan adanya prinsip saling menghormati satu sama lainnya, terlebih terhadap para kiai.

Di samping itu, legitimasi tersebut juga terafirmasi daristatement dari Menteri Agama yang sedang dipimpin oleh Nasaruddin Umar sekaligus meneguhkan prinsip Asta Protas dan Asta Cita pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Terlebih Menteri Agama mengatakan secara eksplisit tentang keberadaan pesantren yang menanamkan nilai seperti moralitas, kesopanan, menciptakan risalah tentang sosio-budaya sekaligus bisa dikonversi terhadap keimanan seseorang, dalam konteks ini ialah santri.

Kesopanan para santri ini mencerminkan suatu nilai yang luhur terhadap kiai atau guru yang telah memberikan pemahaman keilmuan keagamaan dan keduniaan.

Sehingga, dalam persepsi Menteri Agama hal tersebut bisa menjadi fondasi utama yang bisa melahirkan cita-cita untuk menciptakan manusia yang adil dan beradab.

Atas dasar tersebut, kehadiran pesantren sebagai medium utama bagi para santri juga melatih kepemimpinan para santri yang akan memimpin bangsa Indonesia kedepan. Hal ini relevan terhadap prospek Allah Swt., yang menciptakan manusia untuk dijadikan sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi.

Dengan kata lain, sebelum menjadi khalifah (pemimpin) tentu saja memerlukan pembekalan sedari awal, melalui pendidikan pesantren diharapkan tercipta pemimpin yang memegang nilai-nilai religiusitas. Oleh karena itu, kemampuan para kiai dan santri dalam tata kelola pendidikan tersebut berhasil beradaptasi dan meningkatkan kemampuan para santri.

 

Seiring meningkatnya kemampuan para santri ini berimplikasi terhadap kemampuan ekonomisnya untuk melakukan aktivitas usaha, bahkansetelah lulus dari pondok pesantren.

Tak hanya itu, aktivitas ekonomi tersebut bisa menghasilkan kemandirian para santri dan pondok pesantren dan kegiatan ini selaras dengan perspektif dari Menteri Agama yang mendedahkan secara eksplisit, dimana ada pesantren – sudah tentu akan melahirkan kemandirian.

Kemandirian ini sangat penting, terlebih sebagai seorang manusia yang diciptakan sebagaiseorang pemimpin. Hal ini terekam secara eksplisit bahwa para kiai di pondok pesantren memberikan pelatihan kepada para santri yang sedang menimba ilmu, termasuk aktivitas para santri saat ini merambah ke sektor perekonomian seperti berjualan pakaian (sarung, baju, peci), dan berdagang.

Selain itu, pemerintah juga tampak memberikan keleluasaan kepada para santri untuk menempuh pendidikan melalui program beasiswa yang tersedia. Jadi, masa depan Indonesia akan semakin gemilang dengan keberadaan para kiai dan santri yang secara inheren menjunjung nilai dan norma.

*) Prof. Dr. Imam Subchi, MA, Dosen S3 Sejarah PeradabanIslam, Wakil Rektor II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Oleh: Prof. Dr. Imam Subchi, MA *)

Cendekiawan muslim sekaliber Gus Dur mengatakan bahwa pondok pesantren memiliki ciri khasnya secara otonom yang mendiferensiasikan entitas kelembagaan ini dengan entitassosial lainnya. Hal tersebut karena ditengarai pondok pesantren secara sistemik masih menjaga nilai kultural yang masih terawat dengan baik di tengah pergumulan dinamika sosio-politik domestik (Abdurrahman Wahid, 1974).

Sejak awal, pondok pesantren menjadi faktor simbolik atas kehadiran figur kiai dan santri. Keduanya, tidak bisa dinafikan dalam percakapan keagamaan, karena sebagai entitas sosial, keduanya saling menjaga kohesi keagamaan di satu pihak, dan kohesi kebangsaan di pihak yang lain.

Teritorial pesantren yang terletak di Jombang sangat kentara terhadap pondok pesantren yang populer di kalangan muslim, bukan hanya yang berasal dari Jawa, melainkan dari luar Pulau Jawa juga banyak yang menempuh pendidikan ke pesantren-pesantren tersebut, seperti Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, dan Rejoso.

Dalam bahasa lain, kehadiran dua entitas – kiai dan santri, menjadikan posisi Indonesia semakin berbeda dari entitas yang lainnya. Secara historis, bahkan saat Indonesia belum memeroleh kemerdekaan secara de facto dan de jure, entitas seperti kiai dan santri memiliki peranan yang sangat signifikan dalam percaturan kemerdekaan tersebut.

 

 

Tak ayal, jika Indonesia melalui pemerintah dewasa ini memberikan privilese terhadap para santri dengan adanya Hari Santri Nasional yang secara reguler dirayakan pada bulan Oktober.

Akibatnya, saat ini perspektif publik terhadap kiai dan santri serta pondok pesantren semakin inklusif. Sebab, sebelumnya, santri dan pondok pesantren seringkali diasosiasikan pada second line position dalam interaksi sosial di Indonesia.

Padahal, pondok pesantren telah melahirkan para cendekiawan muslim, presiden, wakil presiden, akademisi, dan para birokrat sebagai aktor negara. Secara umum, kiai sebagai pemegang tampuk kekuasaan di pesantren memiliki legitimasi yang relatif besar, karena keilmuan, kompetensi, kapasitas, dan kapabilitasnya di bidang keagamaan.

Pada saat yang sama, sedari awal sebelum Indonesia berdiri dan jika kita mengkaji kitab kuning tentu saja akan menemukan para ulama yang bukan sekadar memiliki kemampuan di sektor tertentu (ukhrawi) semata, melainkan memiliki kemampuan di sektor yang lainnya (keduniaan).

Dengan demikian, karisma kiai sangat dihormati oleh para santri dan para penduduk. Karisma yang dimilikinya bukan hanya berasal dari kemampuannya semata, melainkan memeroleh dukungan dari Sang Pencipta karena seringkali membangun interaksi sebagai seorang hamba yang taat terhadap Allah Swt., pemegang otoritas tertinggi kosmos.

Atas dasar tersebut, sebagian besar santri dan penduduk berupaya memeroleh keberkahan atas jalinan interaksi tersebut. Karena itu, dalam konteks Indonesia – banyak para santri dan penduduk yang sowan untuk silaturahmi terhadap kiai untuk ‘ngalap berkah’.

Baca Juga :  Tindak Lanjuti Arahan Presiden, Kemenag Segera Audit Bangunan Pesantren

Hal ini sangat diyakini secara konsisten oleh para santri dan kiai bahwa keberkahan dari kiai sangat besar sekali. Bahkan, meminjam istilah K.H Ahmad Bahauddin Nursalim atau populer disebut sebagai figur Gus Baha dalam diskursusnya bahwa seseorang tidak boleh melawan kiai, karena akan kualat.

 

Sentralnya posisi kiai di pondok pesantren, membuatnya semakin menjadi aktor tunggal – yang bisa menciptakan prinsip sami’na wa atho’na. Akibatnya, para santri dan masyarakat cenderung akan mendengar apa yang telahdisampaikan oleh para kiai.

Hal ini bisa ditemukan dari pergumulan para kiai yang menjadi aktor utama dalam kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, di tengah pergumulan tersebut – dewasa ini masih saja ada masyarakat yang menilai relasi sosial kiai, santri, dan pesantren hanya sebatas masyarakat biasa.

Dalam hal ini, persepsi ini tentu saja timbul karena aktor penilainya belum pernah menjadi seorang santri yang ekstensif.

Kemudian, keunikan relasi sosial tersebut yang tumbuh sampai saat ini menjadi objek penelitian yang telah dilakukan oleh para sarjana, seperti Martin van Bruinessen, Clifford Geertz, Robert Jay, K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur, dan para sarjana lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh para sarjana tersebut karena pesantren sebagai medium utama untuk menambah khazanah pengetahuan memiliki karakteristik yang berbeda dan memiliki peranan yang besar.

Saat ini, secara mutakhir pondok pesantren mengalami transformasi sekaligus menunjukkan perubahan, terutama dalam memodifikasi kurikulum pendidikan yang lebih mengutamakan perpaduan antara nilai-nilai kultural dan modernitas. Dengan kata lain, pondok pesantren sangat adaptif terhadap peradaban modern.

Sebab, stereotipe yang berkembang di ruang publik terhadap pesantren sangat beragam sekali, terutama mengarah kepada hal ihwal yang tradisionalis semata. Namun, setelah proses transformasi berjalan secara gradual, pondok pesantren mengalami perluasan – baik secara letak geografis, kurikulum, dan para santri.

Secara faktual, awalnya kiai hanya memiliki pondok pesanten yang sekadar memiliki para santri. Meski demikian, perkembangan pendidikan kontemporer menjadikan pondok pesantren semakin berubah dan menciptakan tumbuhnya pendidikan pesantren di mana-mana sekaligus tumbuhnya sekolah-sekolah modern yang dikelola oleh para kiai.

Pergeseran ini mengafirmasi bahwa telah terjadi transformasi di dunia pesantren. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nurcholis Madjid bahwa pesantren telah melakukan akomodasi atau penyesuaian terhadap sistem penjenjangan, kurikulum yang secara jelas, dan sistem klasikal (Nurcholis Madjid, 1997).

Dalam hal ini, perspektif Cak Nur tersebut juga menampilkan bahwa kiai sebagai pemimpin utama merupakan cerminan seorang pemimpin.

Baca Juga :  Bupati Serahkan Bantuan Rp150 Juta untuk Ponpes Darul Falah

Biasanya, perilaku para kiai akan dipraktikkan oleh para santri dalam interaksi sosial, terlebih secara otoritas keagamaan juga didukung dengan adanya prinsip saling menghormati satu sama lainnya, terlebih terhadap para kiai.

Di samping itu, legitimasi tersebut juga terafirmasi daristatement dari Menteri Agama yang sedang dipimpin oleh Nasaruddin Umar sekaligus meneguhkan prinsip Asta Protas dan Asta Cita pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Terlebih Menteri Agama mengatakan secara eksplisit tentang keberadaan pesantren yang menanamkan nilai seperti moralitas, kesopanan, menciptakan risalah tentang sosio-budaya sekaligus bisa dikonversi terhadap keimanan seseorang, dalam konteks ini ialah santri.

Kesopanan para santri ini mencerminkan suatu nilai yang luhur terhadap kiai atau guru yang telah memberikan pemahaman keilmuan keagamaan dan keduniaan.

Sehingga, dalam persepsi Menteri Agama hal tersebut bisa menjadi fondasi utama yang bisa melahirkan cita-cita untuk menciptakan manusia yang adil dan beradab.

Atas dasar tersebut, kehadiran pesantren sebagai medium utama bagi para santri juga melatih kepemimpinan para santri yang akan memimpin bangsa Indonesia kedepan. Hal ini relevan terhadap prospek Allah Swt., yang menciptakan manusia untuk dijadikan sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi.

Dengan kata lain, sebelum menjadi khalifah (pemimpin) tentu saja memerlukan pembekalan sedari awal, melalui pendidikan pesantren diharapkan tercipta pemimpin yang memegang nilai-nilai religiusitas. Oleh karena itu, kemampuan para kiai dan santri dalam tata kelola pendidikan tersebut berhasil beradaptasi dan meningkatkan kemampuan para santri.

 

Seiring meningkatnya kemampuan para santri ini berimplikasi terhadap kemampuan ekonomisnya untuk melakukan aktivitas usaha, bahkansetelah lulus dari pondok pesantren.

Tak hanya itu, aktivitas ekonomi tersebut bisa menghasilkan kemandirian para santri dan pondok pesantren dan kegiatan ini selaras dengan perspektif dari Menteri Agama yang mendedahkan secara eksplisit, dimana ada pesantren – sudah tentu akan melahirkan kemandirian.

Kemandirian ini sangat penting, terlebih sebagai seorang manusia yang diciptakan sebagaiseorang pemimpin. Hal ini terekam secara eksplisit bahwa para kiai di pondok pesantren memberikan pelatihan kepada para santri yang sedang menimba ilmu, termasuk aktivitas para santri saat ini merambah ke sektor perekonomian seperti berjualan pakaian (sarung, baju, peci), dan berdagang.

Selain itu, pemerintah juga tampak memberikan keleluasaan kepada para santri untuk menempuh pendidikan melalui program beasiswa yang tersedia. Jadi, masa depan Indonesia akan semakin gemilang dengan keberadaan para kiai dan santri yang secara inheren menjunjung nilai dan norma.

*) Prof. Dr. Imam Subchi, MA, Dosen S3 Sejarah PeradabanIslam, Wakil Rektor II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terpopuler

Artikel Terbaru