33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Capres Terpilih, Kementerian Kebudayaan Itu Perlu

SELESAI sudah masa kampanye calon presiden dan wakil presiden, kini tibalah saat warga Indonesia menentukan pilihan. Semua pasangan calon telah mencurahkan semua ide, gagasan, dan visi misi dalam semua bidang, termasuk kebudayaan.

Tidak ada satu pun pasangan yang tidak memberi perhatian kepada isu ini.

Sebagaimana pula yang terlihat dalam debat terakhir yang berlangsung Minggu (4/2) pekan lalu. Semua calon presiden juga sepakat bahwa kementerian khusus yang membidangi kebudayaan mutlak diperlukan.

Lantas seperti apa urgensi dari kementerian tersebut sepanjang sejarah bangsa Indonesia? Dan apa relevansinya dalam upaya pemajuan kebudayaan?

Ihwal Lembaga

Kebudayaan dalam Pergerakan Nasional Gagasan dalam membuat suatu lembaga tersendiri dalam menangani pemajuan kebudayaan bukanlah hal yang baru. Setidaknya wacana tersebut telah muncul sejak Kongres Kebudayaan 1918 di masa kolonial hingga masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Pada masa pergerakan, Kongres Kebudayaan yang digelar tidak bisa dilepaskan dari semangat menggeloranya nasionalisme. Tidak heran banyak tokoh pergerakan nasional yang ikut hadir, bahkan aktif berpartisipasi, di dalam kongres yang diselenggarakan di Solo tersebut.

Dr Cipto Mangunkusumo yang merupakan salah satu tokoh penting dalam pergerakan nasional mengusulkan perlunya didirikan sebuah lembaga khusus di bidang kebudayaan.

Selaras dengan pemikiran koleganya, Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, nasionalisme, menurut pentolan Indische Partij itu, tidak hanya merupakan gerakan politik saja. Melainkan sebuah gerakan kebudayaan.

Pada akhirnya semua peserta kongres menyetujui dengan bulat ide Cipto tersebut sehingga lahirlah lembaga Java-Instituut. Meski mengambil nama suatu kelompok etnis saja, bukan berarti perhatian institut ini hanya terbatas pada kebudayaan Jawa.

Baca Juga :  Anies Sampaikan Pesan Perubahan saat Kampanye Akbar di Madura

Upaya lembaga itu meluas, mulai dari memajukan kebudayaan Sunda, Madura, hingga Bali. Ketua dari lembaga ini, Professor Hussein Djajadiningrat, berperan penting dalam mengubah lembaga kebudayaan terbesar kala itu, Bataviaasch Genotschap van Kunsten en Wetenschappen, menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, urusan kebudayaan hampir selalu melekat kepada urusan pendidikan. Hanya pada era Demokrasi Terpimpin muncul wacana konkret untuk membentuk suatu kementerian khusus yang membidangi kebudayaan.

Gagasan tersebut digulirkan oleh Dewan Perancang Nasional yang dipimpin oleh Muhammad Yamin yang pernah menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan. Dewan ini merupakan cikal bakal dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Tata Kelola Lembaga Kebudayaan

Situasi ini rupanya juga menjadi perhatian dalam dua Kongres Kebudayaan Indonesia terakhir yang diselenggarakan pada 2018 dan 2023. Kongres tersebut berangkat dari amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Salah isu yang mengemuka masih sama, yakni tata kelola lembaga kebudayaan baik di tingkat nasional maupun daerah rupanya masih tetap menjadi masalah besar.

Kondisi tersebut ditunjukkan dalam Peraturan Presiden No 114 Tahun 2022 tentang strategi kebudayaan yang merupakan abstraksi dari isu-isu kebudayaan dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Di tingkat pusat, tata kelola kelembagaan bidang kebudayaan belum bisa terkoordinasi dengan baik karena urusan kebudayaan tersebar di lebih dari 20 kementerian maupun lembaga.

Baca Juga :  Kampanye di Bogor, Anies Janji Hadirkan Transportasi Umum yang Terjangkau

Tentu saja sebagai salah satu direktorat di bawah suatu kementerian, bidang kebudayaan tidak bisa begitu saja menentukan kebijakan kebudayaan yang melebihi wewenang dari kementerian induknya.

Situasi yang sama bahkan lebih memprihatinkan terjadi di daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Lebih dari 95 persen daerah menggabungkan urusan kebudayaan di bawah suatu dinas yang membidangi banyak urusan lainnya seperti pendidikan, pariwisata, pemuda, olahraga, hingga komunikasi.

Namun, dalam kasus daerah, juga muncul suatu preseden positif di mana terdapat beberapa daerah yang telah mampu mengoptimalkan potensi kebudayaannya dengan memiliki dinas kebudayaan tersendiri. Tentu saja hal positif di daerah dengan keberadaan suatu dinas kebudayaan bisa diikuti oleh pemerintah pusat.

Siapa pun presiden dan wakil presiden terpilih nanti seyogianya bisa melanjutkan apa yang telah diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan selama beberapa tahun belakangan. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan berikut beberapa aturan turunannya telah menjadi capaian penting.

Belum lagi dua kali penyelenggaraan Kongres Kebudayaan yang jauh lebih inklusif dan melibatkan banyak pihak dibandingkan sebelumnya tentu harus dipertahankan. Maka, keberadaan kementerian khusus bidang kebudayaan merupakan hal yang sangat strategis dalam mengurai kerumitan tata kelola kelembagaan bidang kebudayaan.

Serta ujung tombak perwujudan visi misi pemimpin bangsa ini ke depan sekaligus melanjutkan capaian-capaian sebelumnya. (*)

*) Adrian Perkasa, Project Manager The Intenational Convention of Asia Scholar 13, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

SELESAI sudah masa kampanye calon presiden dan wakil presiden, kini tibalah saat warga Indonesia menentukan pilihan. Semua pasangan calon telah mencurahkan semua ide, gagasan, dan visi misi dalam semua bidang, termasuk kebudayaan.

Tidak ada satu pun pasangan yang tidak memberi perhatian kepada isu ini.

Sebagaimana pula yang terlihat dalam debat terakhir yang berlangsung Minggu (4/2) pekan lalu. Semua calon presiden juga sepakat bahwa kementerian khusus yang membidangi kebudayaan mutlak diperlukan.

Lantas seperti apa urgensi dari kementerian tersebut sepanjang sejarah bangsa Indonesia? Dan apa relevansinya dalam upaya pemajuan kebudayaan?

Ihwal Lembaga

Kebudayaan dalam Pergerakan Nasional Gagasan dalam membuat suatu lembaga tersendiri dalam menangani pemajuan kebudayaan bukanlah hal yang baru. Setidaknya wacana tersebut telah muncul sejak Kongres Kebudayaan 1918 di masa kolonial hingga masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Pada masa pergerakan, Kongres Kebudayaan yang digelar tidak bisa dilepaskan dari semangat menggeloranya nasionalisme. Tidak heran banyak tokoh pergerakan nasional yang ikut hadir, bahkan aktif berpartisipasi, di dalam kongres yang diselenggarakan di Solo tersebut.

Dr Cipto Mangunkusumo yang merupakan salah satu tokoh penting dalam pergerakan nasional mengusulkan perlunya didirikan sebuah lembaga khusus di bidang kebudayaan.

Selaras dengan pemikiran koleganya, Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, nasionalisme, menurut pentolan Indische Partij itu, tidak hanya merupakan gerakan politik saja. Melainkan sebuah gerakan kebudayaan.

Pada akhirnya semua peserta kongres menyetujui dengan bulat ide Cipto tersebut sehingga lahirlah lembaga Java-Instituut. Meski mengambil nama suatu kelompok etnis saja, bukan berarti perhatian institut ini hanya terbatas pada kebudayaan Jawa.

Baca Juga :  Anies Sampaikan Pesan Perubahan saat Kampanye Akbar di Madura

Upaya lembaga itu meluas, mulai dari memajukan kebudayaan Sunda, Madura, hingga Bali. Ketua dari lembaga ini, Professor Hussein Djajadiningrat, berperan penting dalam mengubah lembaga kebudayaan terbesar kala itu, Bataviaasch Genotschap van Kunsten en Wetenschappen, menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, urusan kebudayaan hampir selalu melekat kepada urusan pendidikan. Hanya pada era Demokrasi Terpimpin muncul wacana konkret untuk membentuk suatu kementerian khusus yang membidangi kebudayaan.

Gagasan tersebut digulirkan oleh Dewan Perancang Nasional yang dipimpin oleh Muhammad Yamin yang pernah menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan. Dewan ini merupakan cikal bakal dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Tata Kelola Lembaga Kebudayaan

Situasi ini rupanya juga menjadi perhatian dalam dua Kongres Kebudayaan Indonesia terakhir yang diselenggarakan pada 2018 dan 2023. Kongres tersebut berangkat dari amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Salah isu yang mengemuka masih sama, yakni tata kelola lembaga kebudayaan baik di tingkat nasional maupun daerah rupanya masih tetap menjadi masalah besar.

Kondisi tersebut ditunjukkan dalam Peraturan Presiden No 114 Tahun 2022 tentang strategi kebudayaan yang merupakan abstraksi dari isu-isu kebudayaan dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Di tingkat pusat, tata kelola kelembagaan bidang kebudayaan belum bisa terkoordinasi dengan baik karena urusan kebudayaan tersebar di lebih dari 20 kementerian maupun lembaga.

Baca Juga :  Kampanye di Bogor, Anies Janji Hadirkan Transportasi Umum yang Terjangkau

Tentu saja sebagai salah satu direktorat di bawah suatu kementerian, bidang kebudayaan tidak bisa begitu saja menentukan kebijakan kebudayaan yang melebihi wewenang dari kementerian induknya.

Situasi yang sama bahkan lebih memprihatinkan terjadi di daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Lebih dari 95 persen daerah menggabungkan urusan kebudayaan di bawah suatu dinas yang membidangi banyak urusan lainnya seperti pendidikan, pariwisata, pemuda, olahraga, hingga komunikasi.

Namun, dalam kasus daerah, juga muncul suatu preseden positif di mana terdapat beberapa daerah yang telah mampu mengoptimalkan potensi kebudayaannya dengan memiliki dinas kebudayaan tersendiri. Tentu saja hal positif di daerah dengan keberadaan suatu dinas kebudayaan bisa diikuti oleh pemerintah pusat.

Siapa pun presiden dan wakil presiden terpilih nanti seyogianya bisa melanjutkan apa yang telah diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan selama beberapa tahun belakangan. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan berikut beberapa aturan turunannya telah menjadi capaian penting.

Belum lagi dua kali penyelenggaraan Kongres Kebudayaan yang jauh lebih inklusif dan melibatkan banyak pihak dibandingkan sebelumnya tentu harus dipertahankan. Maka, keberadaan kementerian khusus bidang kebudayaan merupakan hal yang sangat strategis dalam mengurai kerumitan tata kelola kelembagaan bidang kebudayaan.

Serta ujung tombak perwujudan visi misi pemimpin bangsa ini ke depan sekaligus melanjutkan capaian-capaian sebelumnya. (*)

*) Adrian Perkasa, Project Manager The Intenational Convention of Asia Scholar 13, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru