Bawono Kumoro *)
EKSEKUSI pengembalian Rp13,2 triliun hasil tindak pidana korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) menjadi salah satu peristiwa paling penting dalam lanskap hukum dan politik ekonomi Indonesia saat ini.
Langkah Kejaksaan Agung itu merupakan bagian dari putusan pengadilan yang melibatkan sejumlah perusahaan besar di industri kelapa sawit, kasus yang sempat mengguncang publik sekitar tiga tahun lalu.
Waktu itu, perhatian masyarakat bukan hanya tertuju pada nilai kerugian negara yang fantastis, tetapi juga pada dampak langsung terhadap harga minyak goreng di dalam negeri.
Krisis tersebut menguji kepercayaan publik terhadap tata kelola ekonomi nasional — dan kini, penuntasan kasus ini menandai upaya negara untuk memulihkan kembali keadilan yang sempat terganggu.
Dalam konteks politik, eksekusi pengembalian uang negara ini membawa pesan yang lebih dalam. Slogan “no more untouchables” tampaknya menjadi pernyataan simbolik dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, bahwa tidak ada lagi kekuatan ekonomi atau jaringan bisnis yang kebal dari hukum.
Pesan ini sejalan dengan pernyataan Presiden dalam berbagai kesempatan: bahwa penegakan hukum ekonomi harus menembus batas pengaruh, kekuasaan, dan koneksi bisnis.
Bagi pemerintahan saat ini, kasus seperti ini tampaknya tidak dilihat semata-mata sebagai perkara hukum biasa, melainkan juga momentum untuk memulihkan moralitas pasar dan menegakkan etika bisnis.
Dalam pandangan politik ekonomi, langkah ini memberi sinyal bahwa pemerintah berkomitmen menciptakan iklim usaha yang bersih, berkeadilan, dan setara bagi semua pelaku ekonomi.
Kejelasan penyelesaian kasus ini sekaligus memperkuat persepsi publik bahwa Indonesia tengah memasuki era baru dalam penegakan hukum, di mana praktik corporate impunity—kebiasaan perusahaan besar lolos dari jerat hukum—tidak lagi mendapat tempat seperti di masa lalu.
Transparansi dan ketegasan menjadi pondasi baru bagi hubungan antara negara dan sektor swasta strategis.
Sepanjang satu tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, tren penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi juga menunjukkan penguatan yang konsisten.
Selain kasus CPO ini, aparat penegak hukum juga mulai menggulung kasus dugaan korupsi tata kelola di lingkungan kelompok usaha PT Pertamina (Persero) dengan nilai kerugian negara mencapai sekitar Rp285 triliun.
Jika langkah-langkah seperti ini terus berlanjut, publik akan melihat arah baru dalam pemberantasan korupsi yang tidak berhenti pada simbolisme, tetapi juga menyentuh akar persoalan struktural di sektor strategis nasional.
Pada akhirnya, keberanian pemerintah mengeksekusi putusan pengadilan dan mengembalikan uang negara bukan hanya menunjukkan keberhasilan hukum menegakkan keadilan, tetapi juga tanda bahwa negara tengah menegakkan kedaulatannya di bidang ekonomi.
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, law enforcement tidak lagi berdiri sendiri sebagai urusan lembaga hukum, tetapi menjadi bagian dari arsitektur besar keamanan nasional. Hukum yang kuat adalah fondasi negara yang aman. Dan dalam konteks ini, pengembalian Rp13 triliun bukan sekadar capaian hukum — melainkan bukti bahwa negara kembali berani menegakkan kedaulatan atas kekayaannya sendiri.
*) Peneliti Indikator Politik Indonesia.