27.3 C
Jakarta
Sunday, September 8, 2024

Asian Value di Antara Demokrasi dan Politik Dinasti

DALAM percakapan di ruang publik, normalisasi politik dinasti di negara demokrasi seperti Indonesia telah menambah daftar panjang catatan kondisi demokrasi yang mengkhawatirkan. Mengaminkan dinasti politik yang dianggap sebagai ”Asian value” yang harus diterima dan diadopsi pada sistem demokrasi di Indonesia adalah pengkhianatan intelektual serta cita-cita reformasi.

Apalagi menggunakan argumen hak asasi manusia (HAM) untuk melanggengkan politik dinasti sebagai warisan dari kebudayaan feodalistis yang seharusnya telah kita lepaskan sebagai negara modern. Bersembunyi pada argumen HAM tidak menghilangkan substansi bahwa politik dinasti mendistorsi HAM pada masyarakat yang lebih luas.

Asian Journal of Comparative Politics menguraikan beberapa definisi tentang konsep politik dinasti. Secara umum, politik dinasti dapat diartikan sebagai situasi di mana sebuah keluarga memiliki beberapa anggotanya yang menduduki posisi terpilih dan memiliki pengaruh signifikan dalam politik di tingkat lokal, regional, atau nasional.

Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, terdapat 60 kasus politik dinasti (11 persen) selama era pilkada langsung antara 2005–2014. Jumlah itu meningkat secara signifikan menjadi 117 kasus (21,5 persen) selama periode 2015–2018 dan terus bertambah hingga mencapai 175 kasus (32 persen) pada 2020.

Kondisi tersebut menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Tren peningkatan kasus politik dinasti akhirnya mencapai puncaknya pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024 ini.

Senada dengan catatan tersebut, Yoes Kenawas dalam artikelnya yang berjudul The Irony of Indonesia’s democracy: The Rise of Dynastic Politics in the Post-Suharto Era mengungkapkan bahwa dinasti politik di Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat antara tahun 2010 dan 2018, hanya dalam satu siklus pemilihan.

Studi ini berpendapat bahwa penyebab utama dari pertumbuhan pesat dinasti politik di Indonesia erat kaitannya dengan perubahan institusional bertahap setelah transisi demokrasi pada 1998. Dalam proses ini, terjadi simbiosis parasitik.

Simbiosis Parasitik

Simbiosis parasitik adalah hubungan antara dua organisme di mana satu organisme (parasit) mendapatkan keuntungan dari organisme lain (inang) yang dirugikan oleh interaksi tersebut.

Baca Juga :  Cendekiawan Plin-plan

Dalam konteks politik dinasti, simbiosis parasitik mengacu pada situasi di mana dinasti politik (parasit) mendapatkan keuntungan dan mempertahankan kekuasaan mereka melalui eksploitasi struktur institusional dan sumber daya negara.

Sementara masyarakat dan sistem demokrasi (inang) mengalami kerugian akibat praktik-praktik ini. Dinasti politik memanfaatkan kelemahan dan celah dalam sistem hukum dan demokrasi untuk memperkuat serta memperpanjang kekuasaan mereka. Sering kali dengan mengorbankan keadilan, transparansi, dan meritokrasi dalam proses politik.

Politik dinasti yang oleh sebagian orang dianggap sebagai Asian value jelas memiliki konsekuensi mengganggu efektivitas pemerintahan sehingga sulit terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance) dan menjadi salah satu sumber perusak pilar-pilar demokrasi. Kondisi ini tergambar dalam laporan The Economist, yang merilis indeks demokrasi tahun 2022 di mana Indonesia ditempatkan pada peringkat ke-54 dari 167 negara dengan skor 6,71 dan memiliki status ”flawed democracy”.

Skor ini jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia yang mendapatkan skor 7,24 dan Timor Leste dengan skor 7,06. Indeks demokrasi The Economist mengukur keadaan demokrasi di berbagai negara berdasar lima kategori: proses pemilihan dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, serta budaya politik.

Ketimpangan Sosial

Politik dinasti juga memperparah ketimpangan sosial. Dalam masyarakat yang sudah terbelah oleh kesenjangan ekonomi, politik dinasti hanya akan memperlebar jurang antara kelompok elite dan rakyat biasa.

Mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan akan semakin terpinggirkan dan sulit mendapatkan akses terhadap peluang yang sama. Ketimpangan ini tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga menimbulkan ketidakpuasan dan potensi konflik.

Konsentrasi kekuasaan dalam satu keluarga atau kelompok tertentu juga akan menciptakan iklim yang tidak sehat bagi akuntabilitas dan transparansi. Nepotisme dan patronase menjadi hal yang umum karena loyalitas kepada kelompok sendiri sering kali mengalahkan kepentingan publik. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2023 menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-115 yang mengalami penurunan dari tahun 2022 dengan peringkat ke-110 dari 180 negara, dengan skor stagnan di angka 34.

Baca Juga :  Serukan Penyelamatan Demokrasi, Aksi Kamisan di Kalteng Konsisten Digelar

Dibandingkan dengan skor negara tetangga seperti Singapura yang memiliki skor IPK 83, diikuti Malaysia dengan skor 50 dan Timor Leste 43, kondisi Indonesia jelas mengkhawatirkan.

Mengakhiri atau mempersempit ruang untuk dinasti politik perlu dilakukan dan menjadikannya sebagai satu gelombang gerakan dengan pendekatan yang komprehensif. Selain pendidikan dan perubahan budaya politik yang perlu terus dilakukan, reformasi kebijakan oleh institusi pemerintah dan partai politik juga wajib dilakukan.

Pembatasan masa jabatan dan regulasi antinepotisme sebagaimana Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 mengenai Pilkada yang telah dihapus dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi perlu kembali dihidupkan.

Pasal ini melarang individu dengan hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana untuk mencalonkan diri; contohnya adalah ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu. Mereka hanya diperbolehkan maju setelah melewati masa jeda satu kali masa jabatan.

Korupsi yang tumbuh subur, etika meritokratik yang dikesampingkan, serta perilaku nepotisme dan patronase kekuasaan yang telah menjadi pemandangan biasa telah merusak tatanan nilai sosial yang suatu saat dapat terkapitalisasi menjadi konflik, krisis politik, dan ekonomi.

Oleh karenanya, politik dinasti tak seharusnya bersemai di tengah sistem demokrasi yang menuntut transparansi dan kesetaraan. Demokrasi harus kembali pada rohnya di mana setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama, keadilan yang dapat diakses bersama, dan kebijakan yang hadir untuk semua. (*)

*) SURYA DARMA, Mahasiswa Magister Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Founder Hattamuda Institute

DALAM percakapan di ruang publik, normalisasi politik dinasti di negara demokrasi seperti Indonesia telah menambah daftar panjang catatan kondisi demokrasi yang mengkhawatirkan. Mengaminkan dinasti politik yang dianggap sebagai ”Asian value” yang harus diterima dan diadopsi pada sistem demokrasi di Indonesia adalah pengkhianatan intelektual serta cita-cita reformasi.

Apalagi menggunakan argumen hak asasi manusia (HAM) untuk melanggengkan politik dinasti sebagai warisan dari kebudayaan feodalistis yang seharusnya telah kita lepaskan sebagai negara modern. Bersembunyi pada argumen HAM tidak menghilangkan substansi bahwa politik dinasti mendistorsi HAM pada masyarakat yang lebih luas.

Asian Journal of Comparative Politics menguraikan beberapa definisi tentang konsep politik dinasti. Secara umum, politik dinasti dapat diartikan sebagai situasi di mana sebuah keluarga memiliki beberapa anggotanya yang menduduki posisi terpilih dan memiliki pengaruh signifikan dalam politik di tingkat lokal, regional, atau nasional.

Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, terdapat 60 kasus politik dinasti (11 persen) selama era pilkada langsung antara 2005–2014. Jumlah itu meningkat secara signifikan menjadi 117 kasus (21,5 persen) selama periode 2015–2018 dan terus bertambah hingga mencapai 175 kasus (32 persen) pada 2020.

Kondisi tersebut menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Tren peningkatan kasus politik dinasti akhirnya mencapai puncaknya pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024 ini.

Senada dengan catatan tersebut, Yoes Kenawas dalam artikelnya yang berjudul The Irony of Indonesia’s democracy: The Rise of Dynastic Politics in the Post-Suharto Era mengungkapkan bahwa dinasti politik di Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat antara tahun 2010 dan 2018, hanya dalam satu siklus pemilihan.

Studi ini berpendapat bahwa penyebab utama dari pertumbuhan pesat dinasti politik di Indonesia erat kaitannya dengan perubahan institusional bertahap setelah transisi demokrasi pada 1998. Dalam proses ini, terjadi simbiosis parasitik.

Simbiosis Parasitik

Simbiosis parasitik adalah hubungan antara dua organisme di mana satu organisme (parasit) mendapatkan keuntungan dari organisme lain (inang) yang dirugikan oleh interaksi tersebut.

Baca Juga :  Cendekiawan Plin-plan

Dalam konteks politik dinasti, simbiosis parasitik mengacu pada situasi di mana dinasti politik (parasit) mendapatkan keuntungan dan mempertahankan kekuasaan mereka melalui eksploitasi struktur institusional dan sumber daya negara.

Sementara masyarakat dan sistem demokrasi (inang) mengalami kerugian akibat praktik-praktik ini. Dinasti politik memanfaatkan kelemahan dan celah dalam sistem hukum dan demokrasi untuk memperkuat serta memperpanjang kekuasaan mereka. Sering kali dengan mengorbankan keadilan, transparansi, dan meritokrasi dalam proses politik.

Politik dinasti yang oleh sebagian orang dianggap sebagai Asian value jelas memiliki konsekuensi mengganggu efektivitas pemerintahan sehingga sulit terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance) dan menjadi salah satu sumber perusak pilar-pilar demokrasi. Kondisi ini tergambar dalam laporan The Economist, yang merilis indeks demokrasi tahun 2022 di mana Indonesia ditempatkan pada peringkat ke-54 dari 167 negara dengan skor 6,71 dan memiliki status ”flawed democracy”.

Skor ini jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia yang mendapatkan skor 7,24 dan Timor Leste dengan skor 7,06. Indeks demokrasi The Economist mengukur keadaan demokrasi di berbagai negara berdasar lima kategori: proses pemilihan dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, serta budaya politik.

Ketimpangan Sosial

Politik dinasti juga memperparah ketimpangan sosial. Dalam masyarakat yang sudah terbelah oleh kesenjangan ekonomi, politik dinasti hanya akan memperlebar jurang antara kelompok elite dan rakyat biasa.

Mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan akan semakin terpinggirkan dan sulit mendapatkan akses terhadap peluang yang sama. Ketimpangan ini tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga menimbulkan ketidakpuasan dan potensi konflik.

Konsentrasi kekuasaan dalam satu keluarga atau kelompok tertentu juga akan menciptakan iklim yang tidak sehat bagi akuntabilitas dan transparansi. Nepotisme dan patronase menjadi hal yang umum karena loyalitas kepada kelompok sendiri sering kali mengalahkan kepentingan publik. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2023 menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-115 yang mengalami penurunan dari tahun 2022 dengan peringkat ke-110 dari 180 negara, dengan skor stagnan di angka 34.

Baca Juga :  Serukan Penyelamatan Demokrasi, Aksi Kamisan di Kalteng Konsisten Digelar

Dibandingkan dengan skor negara tetangga seperti Singapura yang memiliki skor IPK 83, diikuti Malaysia dengan skor 50 dan Timor Leste 43, kondisi Indonesia jelas mengkhawatirkan.

Mengakhiri atau mempersempit ruang untuk dinasti politik perlu dilakukan dan menjadikannya sebagai satu gelombang gerakan dengan pendekatan yang komprehensif. Selain pendidikan dan perubahan budaya politik yang perlu terus dilakukan, reformasi kebijakan oleh institusi pemerintah dan partai politik juga wajib dilakukan.

Pembatasan masa jabatan dan regulasi antinepotisme sebagaimana Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 mengenai Pilkada yang telah dihapus dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi perlu kembali dihidupkan.

Pasal ini melarang individu dengan hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana untuk mencalonkan diri; contohnya adalah ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu. Mereka hanya diperbolehkan maju setelah melewati masa jeda satu kali masa jabatan.

Korupsi yang tumbuh subur, etika meritokratik yang dikesampingkan, serta perilaku nepotisme dan patronase kekuasaan yang telah menjadi pemandangan biasa telah merusak tatanan nilai sosial yang suatu saat dapat terkapitalisasi menjadi konflik, krisis politik, dan ekonomi.

Oleh karenanya, politik dinasti tak seharusnya bersemai di tengah sistem demokrasi yang menuntut transparansi dan kesetaraan. Demokrasi harus kembali pada rohnya di mana setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama, keadilan yang dapat diakses bersama, dan kebijakan yang hadir untuk semua. (*)

*) SURYA DARMA, Mahasiswa Magister Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Founder Hattamuda Institute

Terpopuler

Artikel Terbaru