KASUS pembunuhan seorang istri oleh suami di Cikarang, Jawa Barat, menggegerkan publik pada September 2023 ini, seolah menambah daftar catatan September hitam. Salah satu yang menyebabkan kabar tersebut ramai dibicarakan adalah kondisi sang istri yang tengah mengandung. Ditambah lagi pembunuhan dilakukan si suami ketika anak mereka yang berusia tiga dan satu tahun berada di rumah.
Pembunuhan adalah puncak dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan, kasus pembunuhan istri di Cikarang bisa digolongkan sebagai femisida. Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa, dan kepuasan sadistis.
Ironisnya, ini bukan yang pertama terjadi di Indonesia. Pembunuhan istri di Cikarang hanya salah satu kasus yang berhasil mendapat banyak sorotan publik. Sepanjang tahun 2016–2020 Komnas Perempuan melalui pemantauan media daring menemukan 421 kasus pembunuhan terhadap perempuan, di mana 42,3 persen pelaku adalah suami. Sebenarnya, kenapa hal seperti ini terus terjadi?
Masalah Struktural
KDRT dan pembunuhan terhadap perempuan tidak terlepas dari masalah struktural. Dalam kasus pembunuhan istri di Cikarang, faktor yang mendasarinya adalah ekonomi. Hal ini menambah kuat hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 yang menyebutkan bahwa ekonomi menjadi salah satu penyebab terjadinya KDRT.
Kasus-kasus KDRT banyak ditemui di masyarakat dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Kebutuhan biaya hidup yang tidak sejalan dengan penghasilan memicu perselisihan di antara suami dan istri.
Kasus KDRT yang dilatarbelakangi ekonomi seharusnya membuat negara memberikan perhatian ekstra terkait kesejahteraan. Masalah-masalah utama yang menghambat peningkatan ekonomi seseorang di antaranya adalah tidak tersedianya lapangan kerja, tidak memiliki skill yang dunia kerja butuhkan, hingga syarat minimal jenjang pendidikan yang tidak bisa terpenuhi.
Pendidikan sendiri juga merupakan masalah struktural lainnya. Akses pendidikan hingga kurikulum yang layak untuk masyarakat perlu dihadirkan. Bagaimanapun, pendidikan berpengaruh terhadap pembentukan mental, pola pikir, hingga karakter. Pendidikan yang merata akan membantu memeratakan pemahaman terkait kesetaraan gender. Sehingga, hubungan yang sehat antara laki-laki dan perempuan dapat tercipta. Secara tidak langsung, ini akan memperluas ruang-ruang yang aman bagi setiap orang.
Pembangunan ekonomi dan pendidikan yang inklusif harus direalisasikan secara ideal untuk menekan angka KDRT. Kebutuhan hidup yang terpenuhi hingga cara berpikir yang mapan akan meningkatkan hubungan yang positif di antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai relasi, termasuk suami dan istri. Sehingga diharapkan tidak ada perasaan superioritas maupun ingin mendominasi dari salah satu gender.
Partisipasi Publik
Masyarakat harus tahu mana urusan privat dan mana urusan publik. Sayangnya, KDRT banyak disalahpahami sebagai urusan privat rumah tangga pasangan resmi suami dan istri. Pola pikir yang seperti ini menyebabkan tindakan KDRT sulit untuk dikontrol. Sementara, dalam kasus-kasus kumpul kebo, mereka berbondong-bondong untuk segera menghakimi pelaku meski itu dilakukan dengan consent dan tidak mengganggu aktivitas publik.
Dalam kekerasan tentu ada pihak yang menjadi korban. Seseorang dapat dikatakan sebagai korban ketika dia dikenai tindakan yang tidak dia inginkan.
Partisipasi anggota masyarakat sangat diperlukan dalam menyelesaikan KDRT yang terjadi di sekitar mereka. Alih-alih berpikir itu bukan urusan mereka, hal yang harus dilakukan adalah memberikan perlindungan, mendampingi, hingga membantu mengawal penyelesaian kasus KDRT yang dialami oleh korban.
Peran kepolisian merupakan hal penting lainnya dalam menangani dan menekan angka KDRT. Pada kasus pembunuhan istri di Cikarang, korban sebelumnya sempat melapor ke polisi bahwa dia mendapat KDRT dari suami. Hal yang sangat disayangkan karena korban harus berakhir dengan meninggal dibunuh.
Berapa banyak orang yang melapor mendapatkan tindakan KDRT perlu dibandingkan dengan jumlah kasus yang terselesaikan untuk melihat bagaimana kinerja kepolisian. Instansi yang berwajib seperti mereka seharusnya bisa lebih sigap menangani kasus serius terkait dengan keselamatan warga negara.
Selain itu, Kemen PPPA dan Komnas Perempuan merupakan dua instrumen yang keberadaannya diharapkan bisa membantu menciptakan ruang aman bagi perempuan. Kegiatan sosialisasi mengenai apa yang harus dilakukan oleh korban KDRT perlu untuk lebih digalakkan. Tidak hanya melalui media sosial dan institusi pendidikan, mereka juga perlu lebih menjangkau publik hingga ke kawasan tempat tinggal masyarakat menengah ke bawah.
Kasus-kasus KDRT seharusnya juga menjadi perhatian penting bagi lembaga-lembaga keagamaan, baik Kementerian Agama maupun ormas-ormas keagamaan. Sayangnya, representasi mereka dalam mendakwahkan kehidupan rumah tangga yang baik dari pandangan agama masih kurang terlihat di publik.
Diskusi dan kajian terkait dampak buruk KDRT hingga larangan melakukan hal tersebut perlu ditingkatkan. Mereka juga perlu mencari formula pola dakwah yang bisa diterima anak muda. Hal ini karena pelaku KDRT tidak hanya para orang tua, namun juga orang-orang yang memutuskan untuk menikah di usia muda.
KDRT adalah masalah darurat yang harus ditanggapi dengan serius. Kasus-kasus yang terus berulang seharusnya membuat kita mempertanyakan bagaimana partisipasi berbagai pihak dalam menangani hal tersebut. Memang dalam mengurangi angka KDRT secara signifikan, diperlukan waktu yang tidak sebentar karena ada masalah struktural yang juga menjadi penyebabnya.
Namun, mengingat fakta ruang-ruang yang aman adalah kebutuhan setiap orang, maka seluruh elemen; masyarakat, kepolisian, pemerintah, hingga lembaga keagamaan, seharusnya bisa lebih maksimal dalam bekerja dan berkolaborasi. (*)
*) Yuliana Kristianti, Mahasiswa Magister Linguistik UGM Awardee LPDP Kemenkeu