Oleh : Dr. Miar, SE., M.Si
LONJAKAN harga bawang merah yang belakangan ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia kembali menjadi sorotan. Khususnya di Palangka Raya pada sejumlah pasar tradisional, harga bawang merah sudah tembus antara Rp 60.000 – Rp 80.000 per kilogram, jauh di atas harga normal yang berkisar Rp 30.000–40.000 per kilogram.
Fenomena mulai langkanya bawang merah ini tentu memicu kekhawatiran, tidak hanya bagi kalangan rumah tangga, tetapi juga bagi perekonomian nasional, khususnya sektor pangan. Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura strategis yang sangat mempengaruhi angka inflasi pangan. Kenaikan harga bawang merah berpotensi mendorong inflasi volatile food kelompok harga pangan bergejolak yang berkontribusi terhadap inflasi umum.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas bawang merah kerap menjadi salah satu penyumbang utama inflasi hanya pada bulan-bulan tertentu, khususnya menjelang hari raya atau ketika musim panen terganggu. Namun fenomena kelangkaan bawang merah Kembali terjadi bukan lagi menjelang hari raya.
Mengapa Harga Bawang Merah Melonjak?
Ada beberapa faktor yang mendorong lonjakan harga bawang merah. Pertama, faktor musim. Sebagian sentra produksi bawang merah seperti Brebes, Nganjuk, dan Bima mengalami penurunan produksi akibat cuaca yang kurang mendukung. Fenomena El Nino yang berkepanjangan di sejumlah daerah memperparah kondisi ini.
Kedua, distribusi dan logistik. Ketergantungan terhadap daerah sentra produksi membuat pasokan ke berbagai wilayah rentan terganggu. Biaya logistik yang tinggi, keterbatasan infrastruktur jalan, serta distribusi yang kurang efisien ikut memperbesar harga di tingkat konsumen. Ketiga, faktor tata niaga. Harga komoditas strategis seperti bawang merah sering kali dimainkan oleh para tengkulak atau spekulan.
Minimnya kontrol terhadap rantai distribusi memperlebar disparitas harga dari petani hingga konsumen akhir.
Dampaknya terhadap Inflasi Pangan
Kenaikan harga bawang merah bisa memicu efek domino terhadap harga bahan pangan lain. Ketika harga salah satu komoditas melonjak, terjadi perubahan pola konsumsi, yang kemudian berimbas pada peningkatan permintaan komoditas substitusi. Dalam jangka pendek, hal ini bisa mempercepat inflasi bahan pangan. Inflasi pangan tentu berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama kalangan berpenghasilan rendah. Ketahanan pangan menjadi rapuh ketika harga-harga kebutuhan pokok sulit dijangkau.
Langkah Antisipatif
Pemerintah harus bertindak cepat untuk menekan dampak lonjakan harga ini. Operasi pasar murah yang dilakukan oleh Bulog dan pemerintah daerah perlu digencarkan untuk menstabilkan harga.
Di sisi lain, tata kelola produksi dan distribusi bawang merah harus segera dibenahi. Diversifikasi daerah produksi sangat penting agar tidak hanya bergantung pada beberapa sentra. Pemerintah juga perlu mengembangkan sistem logistik pangan nasional yang efisien untuk memotong rantai distribusi yang panjang.
Selain itu, transparansi data stok dan produksi bawang merah harus diperkuat agar tidak mudah dimanfaatkan oleh spekulan pasar. Penguatan peran Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan kerja sama antar daerah dalam hal suplai dan distribusi menjadi krusial.
Lonjakan harga bawang merah memang bukan hal baru, tetapi dampaknya bisa sangat serius terhadap inflasi pangan dan stabilitas harga kebutuhan pokok. Di tengah situasi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih, menjaga kestabilan harga pangan menjadi salah satu pilar penting untuk melindungi daya beli masyarakat.
Jika tidak segera diantisipasi, lonjakan harga bawang merah bisa menjadi ancaman nyata bagi inflasi pangan nasional.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Palangka Raya