27.8 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Eksploitasi Dokter Residen, Kerja Rodi di Rumah Sakit

Sebagai dokter, saya merasa prihatin atas kondisi yang dihadapi para dokter residen di Indonesia. Selama bertahun-tahun, saya menyaksikan dan mendengar bagaimana adik-adik saya, dokter-dokter muda yang sedang menjalani pendidikan spesialis, harus bekerja keras dengan mengorbankan waktu, tenaga, serta pikiran tanpa mendapatkan imbalan yang sepadan.

Ironisnya, mereka menjalankan tanggung jawab besar dengan kontribusi signifikan dalam pelayanan kesehatan, tetapi dipaksa bekerja seperti ’’kerja rodi’’.

Pelajar atau Tenaga Kerja yang Diperbudak?

Dokter residen di Indonesia secara hukum masih dianggap sebagai mahasiswa. Namun, mari kita jujur. Mereka tidak hanya ’’belajar’’ di rumah sakit. Mereka juga menangani pasien, melakukan operasi dan diagnosis, bahkan mengambil keputusan klinis. Banyak yang bertugas 24 jam penuh tanpa jeda. Mengorbankan waktu pribadi dan bekerja lebih keras daripada dokter senior.

Meski berperan vital dalam jalannya operasional rumah sakit, mereka tidak menerima gaji layak. Status mereka sebagai ’’mahasiswa’’ dimanfaatkan rumah sakit untuk menolak memberikan kompensasi. Seolah-olah, pendidikan spesialis adalah ’’pengorbanan’’ yang harus mereka bayar mahal lewat pengorbanan fisik, mental, dan materi. Bagi saya, itu bukanlah pendidikan, melainkan eksploitasi.

Residen sebagai Tenaga Kerja Murah

 

Saya juga melihat banyaknya rumah sakit yang secara sadar memanfaatkan residen sebagai ’’tenaga kerja murah’’. Mereka tahu bahwa residen harus bekerja untuk menyelesaikan pendidikan. Rumah sakit pun menggunakan status ’’mahasiswa’’ tersebut untuk menghindari kewajiban memberikan gaji atau tunjangan. Dengan kata lain, residen adalah ’’solusi’’ operasional murah bagi banyak rumah sakit.

Kita harus bertanya pada diri kita sendiri: Bagaimana mungkin rumah sakit besar di Indonesia bisa terus beroperasi dengan lancar jika tidak ada dokter residen? Dalam banyak kasus, mereka merupakan pilar utama yang memastikan unit gawat darurat berjalan 24 jam tanpa gangguan. Namun, apa yang mereka dapatkan sebagai imbalan? Tidak ada gaji, tidak ada pengakuan. Hanya tekanan fisik dan mental yang terus-menerus.

Baca Juga :  Dokter Ibu

Saya prihatin, residen yang mengabdi selama bertahun-tahun itu tidak diberi penghargaan yang layak. Ini seperti bentuk perbudakan modern. Rumah sakit dan pemerintah perlu disadarkan bahwa tenaga residen bukanlah tenaga kerja gratis yang bisa mereka manfaatkan tanpa imbalan.

Eksploitasi Berkelanjutan

Dalam hierarki rumah sakit yang kaku, residen harus tunduk pada perintah dokter senior, menjalani jam kerja yang tidak manusiawi, serta harus mencapai target-target rumah sakit. Saya pernah mendengar, residen bekerja lebih dari 36 jam tanpa istirahat. Itu bukan hanya tidak etis, melainkan juga berbahaya.

Bayangkan jika dokter yang kelelahan membuat keputusan penting terkait dengan hidup dan mati pasien, risiko kesalahan medis pasti akan meningkat. Ujung-ujungnya, jelas itu merugikan pasien.

Jam kerja yang panjang dan berat tersebut merupakan eksploitasi terang-terangan. Residen dianggap tenaga kerja murah yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi kekurangan staf medis rumah sakit. Sementara saat residen kelelahan dan terbebani secara mental, rumah sakit tetap bisa mencapai target operasionalnya dan melayani ribuan pasien.

Indonesia Jauh Tertinggal

Saya juga ingin menyoroti negara-negara maju. Di Amerika Serikat, residen menerima gaji USD 60 ribu hingga USD 65 ribu per tahun. Jam kerja mereka dibatasi maksimal 80 jam per minggu. Di Jerman dan Australia, gaji dan jam kerja mereka diatur secara ketat oleh undang-undang untuk melindungi kesejahteraan mereka.

Baca Juga :  Aliran Sesat

Namun, di Indonesia, tidak ada gaji bagi mereka. Jam kerja mereka pun hampir tidak diatur. Indonesia tertinggal jauh dalam menghargai kontribusi tenaga medis muda itu. Ketika dokter residen di luar negeri dihargai dan diperlakukan dengan hormat, dokter residen di Indonesia dibiarkan berjuang tanpa perlindungan atau kompensasi yang memadai. Saya pikir, ini adalah bentuk perundungan struktural yang dibiarkan oleh pemerintah dan rumah sakit.

Saya ingin menegaskan bahwa pemerintah dan rumah sakit memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi residen. Pemerintah harus segera memperbaiki sistem regulasi, memberikan batasan jam kerja, serta memastikan bahwa residen menerima kompensasi yang layak.

Rumah sakit juga harus berhenti memanfaatkan status ’’mahasiswa’’ pada residen sebagai alasan untuk tidak memberikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Jika eksploitasi itu terus dibiarkan, kita tidak hanya akan kehilangan tenaga medis yang berharga, tetapi juga kualitas layanan kesehatan. Dokter yang kelelahan tidak bisa memberikan pelayanan optimal sehingga pada akhirnya merugikan pasien.

Reformasi Pendidikan Kedokteran

Saya menyerukan reformasi dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Dokter residen harus diakui sebagai tenaga medis yang layak menerima gaji dan hak-hak dasar sebagai pekerja. Pemerintah harus segera bertindak untuk melindungi mereka dari eksploitasi yang terjadi selama ini.

Rumah sakit tidak bisa lagi memanfaatkan residen sebagai tenaga kerja murah untuk menjaga operasional mereka. Jika pemerintah serta direktur rumah sakit terus mengabaikan masalah ini, masa depan layanan kesehatan Indonesia dipertaruhkan. (*)

*) PUSPITA WIJAYANTI, Dokter, aktivis sosial, dan kritikus

Sebagai dokter, saya merasa prihatin atas kondisi yang dihadapi para dokter residen di Indonesia. Selama bertahun-tahun, saya menyaksikan dan mendengar bagaimana adik-adik saya, dokter-dokter muda yang sedang menjalani pendidikan spesialis, harus bekerja keras dengan mengorbankan waktu, tenaga, serta pikiran tanpa mendapatkan imbalan yang sepadan.

Ironisnya, mereka menjalankan tanggung jawab besar dengan kontribusi signifikan dalam pelayanan kesehatan, tetapi dipaksa bekerja seperti ’’kerja rodi’’.

Pelajar atau Tenaga Kerja yang Diperbudak?

Dokter residen di Indonesia secara hukum masih dianggap sebagai mahasiswa. Namun, mari kita jujur. Mereka tidak hanya ’’belajar’’ di rumah sakit. Mereka juga menangani pasien, melakukan operasi dan diagnosis, bahkan mengambil keputusan klinis. Banyak yang bertugas 24 jam penuh tanpa jeda. Mengorbankan waktu pribadi dan bekerja lebih keras daripada dokter senior.

Meski berperan vital dalam jalannya operasional rumah sakit, mereka tidak menerima gaji layak. Status mereka sebagai ’’mahasiswa’’ dimanfaatkan rumah sakit untuk menolak memberikan kompensasi. Seolah-olah, pendidikan spesialis adalah ’’pengorbanan’’ yang harus mereka bayar mahal lewat pengorbanan fisik, mental, dan materi. Bagi saya, itu bukanlah pendidikan, melainkan eksploitasi.

Residen sebagai Tenaga Kerja Murah

 

Saya juga melihat banyaknya rumah sakit yang secara sadar memanfaatkan residen sebagai ’’tenaga kerja murah’’. Mereka tahu bahwa residen harus bekerja untuk menyelesaikan pendidikan. Rumah sakit pun menggunakan status ’’mahasiswa’’ tersebut untuk menghindari kewajiban memberikan gaji atau tunjangan. Dengan kata lain, residen adalah ’’solusi’’ operasional murah bagi banyak rumah sakit.

Kita harus bertanya pada diri kita sendiri: Bagaimana mungkin rumah sakit besar di Indonesia bisa terus beroperasi dengan lancar jika tidak ada dokter residen? Dalam banyak kasus, mereka merupakan pilar utama yang memastikan unit gawat darurat berjalan 24 jam tanpa gangguan. Namun, apa yang mereka dapatkan sebagai imbalan? Tidak ada gaji, tidak ada pengakuan. Hanya tekanan fisik dan mental yang terus-menerus.

Baca Juga :  Dokter Ibu

Saya prihatin, residen yang mengabdi selama bertahun-tahun itu tidak diberi penghargaan yang layak. Ini seperti bentuk perbudakan modern. Rumah sakit dan pemerintah perlu disadarkan bahwa tenaga residen bukanlah tenaga kerja gratis yang bisa mereka manfaatkan tanpa imbalan.

Eksploitasi Berkelanjutan

Dalam hierarki rumah sakit yang kaku, residen harus tunduk pada perintah dokter senior, menjalani jam kerja yang tidak manusiawi, serta harus mencapai target-target rumah sakit. Saya pernah mendengar, residen bekerja lebih dari 36 jam tanpa istirahat. Itu bukan hanya tidak etis, melainkan juga berbahaya.

Bayangkan jika dokter yang kelelahan membuat keputusan penting terkait dengan hidup dan mati pasien, risiko kesalahan medis pasti akan meningkat. Ujung-ujungnya, jelas itu merugikan pasien.

Jam kerja yang panjang dan berat tersebut merupakan eksploitasi terang-terangan. Residen dianggap tenaga kerja murah yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi kekurangan staf medis rumah sakit. Sementara saat residen kelelahan dan terbebani secara mental, rumah sakit tetap bisa mencapai target operasionalnya dan melayani ribuan pasien.

Indonesia Jauh Tertinggal

Saya juga ingin menyoroti negara-negara maju. Di Amerika Serikat, residen menerima gaji USD 60 ribu hingga USD 65 ribu per tahun. Jam kerja mereka dibatasi maksimal 80 jam per minggu. Di Jerman dan Australia, gaji dan jam kerja mereka diatur secara ketat oleh undang-undang untuk melindungi kesejahteraan mereka.

Baca Juga :  Aliran Sesat

Namun, di Indonesia, tidak ada gaji bagi mereka. Jam kerja mereka pun hampir tidak diatur. Indonesia tertinggal jauh dalam menghargai kontribusi tenaga medis muda itu. Ketika dokter residen di luar negeri dihargai dan diperlakukan dengan hormat, dokter residen di Indonesia dibiarkan berjuang tanpa perlindungan atau kompensasi yang memadai. Saya pikir, ini adalah bentuk perundungan struktural yang dibiarkan oleh pemerintah dan rumah sakit.

Saya ingin menegaskan bahwa pemerintah dan rumah sakit memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi residen. Pemerintah harus segera memperbaiki sistem regulasi, memberikan batasan jam kerja, serta memastikan bahwa residen menerima kompensasi yang layak.

Rumah sakit juga harus berhenti memanfaatkan status ’’mahasiswa’’ pada residen sebagai alasan untuk tidak memberikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Jika eksploitasi itu terus dibiarkan, kita tidak hanya akan kehilangan tenaga medis yang berharga, tetapi juga kualitas layanan kesehatan. Dokter yang kelelahan tidak bisa memberikan pelayanan optimal sehingga pada akhirnya merugikan pasien.

Reformasi Pendidikan Kedokteran

Saya menyerukan reformasi dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Dokter residen harus diakui sebagai tenaga medis yang layak menerima gaji dan hak-hak dasar sebagai pekerja. Pemerintah harus segera bertindak untuk melindungi mereka dari eksploitasi yang terjadi selama ini.

Rumah sakit tidak bisa lagi memanfaatkan residen sebagai tenaga kerja murah untuk menjaga operasional mereka. Jika pemerintah serta direktur rumah sakit terus mengabaikan masalah ini, masa depan layanan kesehatan Indonesia dipertaruhkan. (*)

*) PUSPITA WIJAYANTI, Dokter, aktivis sosial, dan kritikus

Terpopuler

Artikel Terbaru