28.9 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Etika Pengeras Suara dan Kerja Otak

SURAT edaran (SE) Kementerian Agama tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di tempat ibadah, baik di masjid maupun musala, menjadi perhatian publik pada awal Ramadan ini. Pro dan kontra SE tersebut selalu ada di masyarakat. Dan, itu menjadi bukti hidupnya demokrasi di negeri kita.

Namun, penting pula di bulan penuh berkah ini, menciptakan keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama. Sebab, kesalehan tidak hanya bersifat ritual. Tapi, juga kesalehan sosial dengan menjaga ketenteraman dan kenyamanan.

Bagaimana tinjauan kesehatan terkait dampak suara pengeras masjid terhadap emosi seseorang? Serta, bagaimana kerja otak saat ada suara keras yang masuk ke tubuh dan bagai mana respons tubuh terhadap suara tersebut?

Pusat Pendengaran

Pendengaran manusia diatur dan dikendalikan otak, terutama lobus temporal (area Brodmann 41 dan 42). Sumber suara yang masuk melalui gendang telinga (membran timpani) akan disalurkan melalui tulang pendengaran di telinga tengah dan dilanjutkan ke organ pendengaran (cochlea) untuk menggetarkan bulu getar pendengaran. Dari sini timbul eskalasi listrik dan kimia yang diteruskan jalur saraf pendengaran dan berakhir di pusat pendengaran (lobus temporal).

Di lobus temporal, akan terjadi mekanisme yang luar biasa, jutaan sel otak (neuron) akan bekerja secara luar biasa dan simultan. Hingga pada akhirnya, manusia tidak saja bisa mendengar suara tersebut. Tapi, juga mampu menganalisis suara tersebut untuk dilanjutkan ke area lain di otak sesuai dengan fungsinya.

Beberapa area otak menjadi kelanjutan kerja pusat pendengaran, antara lain: area bahasa, area memori, dan area emosi. Yang menarik adalah area emosi menjadi salah satu area yang sangat terdampak suara yang masuk. Selain karena lokasinya sangat dekat dengan pusat suara, juga ada jalur khusus ke sistem emosi (limbic system). Inilah yang menerangkan bahwa suara yang keras dan tidak nyaman akan mengganggu emosi dan mood orang lain.

Baca Juga :  Lima Tips Mempersiapkan Diri Menghadapi Puasa Sehari Penuh

Sesungguhnya tubuh mempunyai mekanisme penyesuaian diri. Bilamana ada suara keras yang masuk ke tubuhnya, gendang telinga akan relaksasi dan tulang pendengaran beradaptasi untuk meredam suara yang masuk. Selain itu, ada mekanisme inhibisi (peredaman) dengan diskresinya zat kimia otak yang bersifat menahan seperti GABA (asam gamma-aminobutyric) dan lainnya.

Walaupun demikian, tetap saja ada batas maksimal. Para ahli mengatakan, suara dengan batas atas 100 dB berpotensi mengganggu kesehatan sehingga Kementerian Agama memberikan batas maksimal 100 dB di pengeras musala dan masjid.

Namun, bukan hanya intensitas suara yang memengaruhi kesehatan. Melainkan juga isi yang memengaruhi kesehatan dan emosi manusia. Walaupun suara itu tidak keras, bila isi suara tidak selaras dengan memori dalam otak, juga akan menimbulkan emosi negatif.

Meski, tidak semua suara keras membuat tidak nyaman dan mengganggu. Hal itu berkenaan dengan memori dan persepsi yang telah tertanam di otak manusia. Contohnya, penikmat musik cadas atau musik aliran metal lebih menikmati musik dengan suara keras dibandingkan suara lembut. Sebab, suara keras akan lebih menstimulus semangat dan lebih cocok dengan persepsi dan memori di otak mereka.

Etika Bermasyarakat

Pengaturan pengeras suara di masjid sangat bagus dan ideal. Sebab, kita hidup di negara dengan berlatar belakang majemuk. Dan, mereka mempunyai hak untuk hidup tenang di sekitar masjid dan musala. Ke depan, sangat perlu bagi pemerintah (Kemenag) memetakan kondisi di masyarakat dengan kajian ilmiah komprehensif tentang dampak penggunaan pengeras masjid bagi penduduk di sekitarnya.

Baca Juga :  Salat Tarawih 11 Rakaat: Begini Tata Cara dan Bacaan Niatnya

Pengaturan pengeras suara sangat ideal bila dilakukan untuk masjid di tengah masyarakat yang majemuk demi keharmonisan bermasyarakat. Dan, sesungguhnya para takmir masjid tersebut sudah melakukannya jauh sebelumnya.

Namun, pengaturan pengeras suara ala Kemenag akan sulit dilakukan di masjid kampung atau desa. Sebab, masyarakat relatif homogen dan masjid berdiri sejak ratusan tahun lalu. Serta, sudah menjadi budaya secara turun-temurun membunyikan pengeras suara dengan keras

Dalam kenyataannya, mengatur secara detail kegiatan beragama (termasuk pengeras suara) tidak hanya menyulitkan pelaksanaan di lapangan. Tetapi, juga seolah menganggap ketiadaan etika bermasyarakat. Padahal, pola beragama seperti itu telah lama ada dan diterima serta menjadi budaya lokal masyarakat.

Adanya protes segelintir orang yang tidak nyaman dengan pengeras suara itu tidak serta-merta mewakili mayoritas masyarakat yang justru merasa sudah nyaman dengan pengeras suara tersebut. Sebab, telah terjadi keselarasan memori dan persepsi di otak dengan suara yang bersumber dari pengeras suara itu. Alunan suara azan, murotal Alquran, lantunan zikir, pengajian, salawatan, dan suara indah lainnya menjadi penenteram jiwa mayoritas masyarakat sekitarnya.

Sebagai penutup, di bulan Ramadan ini, perlu menghormati antarumat beragama sambil tetap mensyiarkan kegiatan agama. Dan, ini dibutuhkan kearifan lokal. Justru para pejabat dan elite politik harus banyak belajar ke masyarakat bawah tentang tata cara beretika bermasyarakat. Itu sangat penting karena saat ini banyak pejabat tinggi dan elite politik yang tidak beretika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi memuaskan syahwat kekuasaannya. (*)

*) BADRUL MUNIR, Neurolog dan pengurus takmir masjid di Malang

SURAT edaran (SE) Kementerian Agama tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di tempat ibadah, baik di masjid maupun musala, menjadi perhatian publik pada awal Ramadan ini. Pro dan kontra SE tersebut selalu ada di masyarakat. Dan, itu menjadi bukti hidupnya demokrasi di negeri kita.

Namun, penting pula di bulan penuh berkah ini, menciptakan keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama. Sebab, kesalehan tidak hanya bersifat ritual. Tapi, juga kesalehan sosial dengan menjaga ketenteraman dan kenyamanan.

Bagaimana tinjauan kesehatan terkait dampak suara pengeras masjid terhadap emosi seseorang? Serta, bagaimana kerja otak saat ada suara keras yang masuk ke tubuh dan bagai mana respons tubuh terhadap suara tersebut?

Pusat Pendengaran

Pendengaran manusia diatur dan dikendalikan otak, terutama lobus temporal (area Brodmann 41 dan 42). Sumber suara yang masuk melalui gendang telinga (membran timpani) akan disalurkan melalui tulang pendengaran di telinga tengah dan dilanjutkan ke organ pendengaran (cochlea) untuk menggetarkan bulu getar pendengaran. Dari sini timbul eskalasi listrik dan kimia yang diteruskan jalur saraf pendengaran dan berakhir di pusat pendengaran (lobus temporal).

Di lobus temporal, akan terjadi mekanisme yang luar biasa, jutaan sel otak (neuron) akan bekerja secara luar biasa dan simultan. Hingga pada akhirnya, manusia tidak saja bisa mendengar suara tersebut. Tapi, juga mampu menganalisis suara tersebut untuk dilanjutkan ke area lain di otak sesuai dengan fungsinya.

Beberapa area otak menjadi kelanjutan kerja pusat pendengaran, antara lain: area bahasa, area memori, dan area emosi. Yang menarik adalah area emosi menjadi salah satu area yang sangat terdampak suara yang masuk. Selain karena lokasinya sangat dekat dengan pusat suara, juga ada jalur khusus ke sistem emosi (limbic system). Inilah yang menerangkan bahwa suara yang keras dan tidak nyaman akan mengganggu emosi dan mood orang lain.

Baca Juga :  Lima Tips Mempersiapkan Diri Menghadapi Puasa Sehari Penuh

Sesungguhnya tubuh mempunyai mekanisme penyesuaian diri. Bilamana ada suara keras yang masuk ke tubuhnya, gendang telinga akan relaksasi dan tulang pendengaran beradaptasi untuk meredam suara yang masuk. Selain itu, ada mekanisme inhibisi (peredaman) dengan diskresinya zat kimia otak yang bersifat menahan seperti GABA (asam gamma-aminobutyric) dan lainnya.

Walaupun demikian, tetap saja ada batas maksimal. Para ahli mengatakan, suara dengan batas atas 100 dB berpotensi mengganggu kesehatan sehingga Kementerian Agama memberikan batas maksimal 100 dB di pengeras musala dan masjid.

Namun, bukan hanya intensitas suara yang memengaruhi kesehatan. Melainkan juga isi yang memengaruhi kesehatan dan emosi manusia. Walaupun suara itu tidak keras, bila isi suara tidak selaras dengan memori dalam otak, juga akan menimbulkan emosi negatif.

Meski, tidak semua suara keras membuat tidak nyaman dan mengganggu. Hal itu berkenaan dengan memori dan persepsi yang telah tertanam di otak manusia. Contohnya, penikmat musik cadas atau musik aliran metal lebih menikmati musik dengan suara keras dibandingkan suara lembut. Sebab, suara keras akan lebih menstimulus semangat dan lebih cocok dengan persepsi dan memori di otak mereka.

Etika Bermasyarakat

Pengaturan pengeras suara di masjid sangat bagus dan ideal. Sebab, kita hidup di negara dengan berlatar belakang majemuk. Dan, mereka mempunyai hak untuk hidup tenang di sekitar masjid dan musala. Ke depan, sangat perlu bagi pemerintah (Kemenag) memetakan kondisi di masyarakat dengan kajian ilmiah komprehensif tentang dampak penggunaan pengeras masjid bagi penduduk di sekitarnya.

Baca Juga :  Salat Tarawih 11 Rakaat: Begini Tata Cara dan Bacaan Niatnya

Pengaturan pengeras suara sangat ideal bila dilakukan untuk masjid di tengah masyarakat yang majemuk demi keharmonisan bermasyarakat. Dan, sesungguhnya para takmir masjid tersebut sudah melakukannya jauh sebelumnya.

Namun, pengaturan pengeras suara ala Kemenag akan sulit dilakukan di masjid kampung atau desa. Sebab, masyarakat relatif homogen dan masjid berdiri sejak ratusan tahun lalu. Serta, sudah menjadi budaya secara turun-temurun membunyikan pengeras suara dengan keras

Dalam kenyataannya, mengatur secara detail kegiatan beragama (termasuk pengeras suara) tidak hanya menyulitkan pelaksanaan di lapangan. Tetapi, juga seolah menganggap ketiadaan etika bermasyarakat. Padahal, pola beragama seperti itu telah lama ada dan diterima serta menjadi budaya lokal masyarakat.

Adanya protes segelintir orang yang tidak nyaman dengan pengeras suara itu tidak serta-merta mewakili mayoritas masyarakat yang justru merasa sudah nyaman dengan pengeras suara tersebut. Sebab, telah terjadi keselarasan memori dan persepsi di otak dengan suara yang bersumber dari pengeras suara itu. Alunan suara azan, murotal Alquran, lantunan zikir, pengajian, salawatan, dan suara indah lainnya menjadi penenteram jiwa mayoritas masyarakat sekitarnya.

Sebagai penutup, di bulan Ramadan ini, perlu menghormati antarumat beragama sambil tetap mensyiarkan kegiatan agama. Dan, ini dibutuhkan kearifan lokal. Justru para pejabat dan elite politik harus banyak belajar ke masyarakat bawah tentang tata cara beretika bermasyarakat. Itu sangat penting karena saat ini banyak pejabat tinggi dan elite politik yang tidak beretika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi memuaskan syahwat kekuasaannya. (*)

*) BADRUL MUNIR, Neurolog dan pengurus takmir masjid di Malang

Terpopuler

Artikel Terbaru