31 C
Jakarta
Sunday, September 22, 2024

Ancaman Cyberporn Menghantui Anak-Anak

Kasus kekeraan seksual dengan pelaku anak di bawah umur atau remaja bukan hal baru di Indonesia. Dari 17.222 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Kementerian PPPA (2024), sebanyak 81 persen atau 13.962 korban adalah anak di bawah umur (Jawa Pos, 7 September 2024).

Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang berujung kematian siswi SMP berinisial AA, 13, di Palembang, Sumatera Selatan, merupakan kasus terbaru dari yang sudah kali kesekian terjadi di tanah air. Polrestabes Palembang telah menetapkan empat tersangka dalam kasus itu. Keempatnya masih berusia di bawah umur alias anak-anak.

Mereka adalah IS, 16; MZ, 13; NS, 12; dan AS, 12, yang merupakan pelajar SMP dan SMA. IS adalah pacar korban. Setelah memerkosa korban, dia justru dengan bangga menceritakan kelakuan jahatnya kepada teman-temannya.

Kasus tersebut ditengarai terjadi karena pengaruh lingkungan terhadap proses tumbuh kembang pelaku anak. Pada era digital seperti sekarang, pengaruh cyberporn (pornografi maya) ditengarai kerap menstimulasi anak untuk melakukan kejahatan seksual. Kurangnya pengetahuan dalam pemanfaatan teknologi informasi (TI) dan tawaran cyberporn yang bertebaran di media sosial atau internet membuat anak-anak terpicu melakukan tindakan yang salah.

Godaan Cyberporn

Bagi anak-anak , perkembangan TI dan kehadiran internet memang dilematis. Di satu sisi, TI dan internet bisa membuka peluang bagi anak untuk menelusuri informasi dan mengembangkan literasi.

Di sisi lain, kehadiran berbagai situs yang tak terbatas, terutama situs pornografi, tidak hanya melahirkan perilaku adiktif anak untuk terus mengakses cyberporn, tetapi juga berpengaruh negatif dalam pembentukan perilaku reproduksi anak.

Godaan bagi anak untuk mengakses situs-situs porno pada masa kini cenderung makin kuat. Tanpa penanganan serta pendampingan yang tepat, bukan tidak mungkin anak-anak terjerumus dalam pergaulan sosial dan perilaku yang keliru.

Di tengah perkembangan perilaku anak yang makin permisif, disadari, cyberporn bisa menjadi faktor signifikan dalam membentuk perilaku seksual mereka.

Baca Juga :  THR, dari Normatif ke Kesadaran Etis

Cyberporn merupakan gambar atau tayangan pornografi yang bisa diakses melalui internet. Umumnya via website atau file sharing. Menurut catatan, akses pada pornografi sebetulnya telah tersedia di internet sejak 1980-an.

Ketersediaan akses world wide web bagi publik sejak 1991 mengakibatkan perkembangan pornografi internet makin masif. Internet memungkinkan seseorang –tak terkecuali anak-anak– bisa mengakses pornografi secara anonim, kapan saja pada waktu dan tempat yang diinginkan pengguna.

Sebagai sosok yang secara sosial-psikologis memiliki rasa ingin tahu yang paling tinggi, anak-anak pada dasarnya adalah kelompok net generation yang terbanyak mengakses dunia maya.

Sekaligus yang paling rawan kecanduan mengakses cyberporn. Kehadiran internet dan media berkomunikasi di dunia maya yang begitu dramatis, di satu sisi, memang telah membuka belenggu isolasi dan menjadikan wawasan dan jaringan sosial anak makin luas. Namun, pada saat yang sama, tawaran keterbukaan informasi itu ternyata rentan menimbulkan pengaruh buruk bagi anak.

Studi UNICEF yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada 2013 menemukan bahwa anak Indonesia berusia 14–15 tahun yang berjumlah 8,9 juta jiwa merupakan kelompok paling rentan terhadap penyalahgunaan internet.

Selain mengakses pornografi, mereka tidak menerapkan kehati-hatian dalam melindungi indentitas pribadi, keluarga, dan lingkungan saat terhubung dengan internet. Dari studi dilaporkan, sekitar 50 persen dari 400 anak yang diwawancarai mengaku telah melihat konten porno di internet.

Banyak bukti memperlihatkan, musuh dan para predator yang mengancam anak-anak kita sesungguhnya tidak selalu berada di luar rumah, di jalanan, atau di tempat-tempat berbahaya.

Di rumah kita sendiri, ketika anak-anak dibiarkan terbenam berselancar di dunia maya, entah itu menjalin komunikasi via Facebook atau membuka situs porno, di situlah malapetaka mulai mengancam. Situs-situs porno, bagi anak-anak yang sedang tumbuh, merupakan godaan terbesar yang sering kali sulit mereka tepis.

Baca Juga :  Manfaat Puasa Bagi Anak Penderita Diabetes, Pendekatan Sehat dan Berhati-hati

Adiktif

Sama halnya dengan perjudian, dampak paling berbahaya dari cyberporn adalah memicu munculnya perilaku yang adiktif. Studi Chaterine Chak (2003) menemukan, penggunaan internet di kalangan anak-anak cenderung berisiko tinggi.

Sebab, biasanya selain untuk bermain game, menelusuri informasi, dan chatting, tak jarang internet dimanfaatkan anak-anak untuk mengakses situs porno dan melakukan sex talk. Tidak sedikit anak yang kecanduan sehingga terus mengakses situs porno, terutama ketika tidak ada kontrol dari orang tua.

Anak yang kecanduan mengakses cyberporn, pada tahap pertama, umumnya mengalami eskalasi atau peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang masuk dalam kategori menyimpang. Artinya, mereka tidak hanya ingin terus tergoda mencari cyberporn.

Tetapi, dalam kondisi tertentu, bukan tidak mungkin mereka begitu tergoda untuk mempraktikkan apa yang mereka tonton. Pada titik inilah, kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak lain sangat mungkin terjadi.

Sebagai anak, perilaku psikologis mereka sering kali imitatif. Artinya, mereka cenderung mencoba melakukan hal-hal yang mereka serap karena ingin merasakan sensasi yang bergejolak di benaknya. Anak yang sedang dalam masa pubertas bukan tidak mungkin melakukan perbuatan jahat memerkosa temannya karena sensasi keliru yang mereka bayangkan. Tanpa membayangkan lebih jauh risiko atas perbuatannya, anak-anak yang salah pergaulan dan kerap mengakses cyberporn kerap terjerumus dalam perbuatan yang salah.

Orang tua yang berjarak dan tidak peka melihat perubahan perilaku anaknya biasanya terkejut. Mereka tidak menduga bahwa tindakan jahat itu bisa dilakukan anak mereka. Bagi orang tua yang peka, seharusnya mereka bisa melihat hal itu, kemudian melakukan pencegahan lebih dini agar tidak terlambat menyadari kelakuan anaknya. Tanpa dukungan orang tua, sulit untuk mencegah dampak buruk atas perkembangan TI dan internet yang berbahaya bagi anak-anak. (*)

*) RAHMA SUGIHARTATI, Guru besar sains informasi FISIP Universitas Airlangga

Kasus kekeraan seksual dengan pelaku anak di bawah umur atau remaja bukan hal baru di Indonesia. Dari 17.222 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Kementerian PPPA (2024), sebanyak 81 persen atau 13.962 korban adalah anak di bawah umur (Jawa Pos, 7 September 2024).

Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang berujung kematian siswi SMP berinisial AA, 13, di Palembang, Sumatera Selatan, merupakan kasus terbaru dari yang sudah kali kesekian terjadi di tanah air. Polrestabes Palembang telah menetapkan empat tersangka dalam kasus itu. Keempatnya masih berusia di bawah umur alias anak-anak.

Mereka adalah IS, 16; MZ, 13; NS, 12; dan AS, 12, yang merupakan pelajar SMP dan SMA. IS adalah pacar korban. Setelah memerkosa korban, dia justru dengan bangga menceritakan kelakuan jahatnya kepada teman-temannya.

Kasus tersebut ditengarai terjadi karena pengaruh lingkungan terhadap proses tumbuh kembang pelaku anak. Pada era digital seperti sekarang, pengaruh cyberporn (pornografi maya) ditengarai kerap menstimulasi anak untuk melakukan kejahatan seksual. Kurangnya pengetahuan dalam pemanfaatan teknologi informasi (TI) dan tawaran cyberporn yang bertebaran di media sosial atau internet membuat anak-anak terpicu melakukan tindakan yang salah.

Godaan Cyberporn

Bagi anak-anak , perkembangan TI dan kehadiran internet memang dilematis. Di satu sisi, TI dan internet bisa membuka peluang bagi anak untuk menelusuri informasi dan mengembangkan literasi.

Di sisi lain, kehadiran berbagai situs yang tak terbatas, terutama situs pornografi, tidak hanya melahirkan perilaku adiktif anak untuk terus mengakses cyberporn, tetapi juga berpengaruh negatif dalam pembentukan perilaku reproduksi anak.

Godaan bagi anak untuk mengakses situs-situs porno pada masa kini cenderung makin kuat. Tanpa penanganan serta pendampingan yang tepat, bukan tidak mungkin anak-anak terjerumus dalam pergaulan sosial dan perilaku yang keliru.

Di tengah perkembangan perilaku anak yang makin permisif, disadari, cyberporn bisa menjadi faktor signifikan dalam membentuk perilaku seksual mereka.

Baca Juga :  THR, dari Normatif ke Kesadaran Etis

Cyberporn merupakan gambar atau tayangan pornografi yang bisa diakses melalui internet. Umumnya via website atau file sharing. Menurut catatan, akses pada pornografi sebetulnya telah tersedia di internet sejak 1980-an.

Ketersediaan akses world wide web bagi publik sejak 1991 mengakibatkan perkembangan pornografi internet makin masif. Internet memungkinkan seseorang –tak terkecuali anak-anak– bisa mengakses pornografi secara anonim, kapan saja pada waktu dan tempat yang diinginkan pengguna.

Sebagai sosok yang secara sosial-psikologis memiliki rasa ingin tahu yang paling tinggi, anak-anak pada dasarnya adalah kelompok net generation yang terbanyak mengakses dunia maya.

Sekaligus yang paling rawan kecanduan mengakses cyberporn. Kehadiran internet dan media berkomunikasi di dunia maya yang begitu dramatis, di satu sisi, memang telah membuka belenggu isolasi dan menjadikan wawasan dan jaringan sosial anak makin luas. Namun, pada saat yang sama, tawaran keterbukaan informasi itu ternyata rentan menimbulkan pengaruh buruk bagi anak.

Studi UNICEF yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada 2013 menemukan bahwa anak Indonesia berusia 14–15 tahun yang berjumlah 8,9 juta jiwa merupakan kelompok paling rentan terhadap penyalahgunaan internet.

Selain mengakses pornografi, mereka tidak menerapkan kehati-hatian dalam melindungi indentitas pribadi, keluarga, dan lingkungan saat terhubung dengan internet. Dari studi dilaporkan, sekitar 50 persen dari 400 anak yang diwawancarai mengaku telah melihat konten porno di internet.

Banyak bukti memperlihatkan, musuh dan para predator yang mengancam anak-anak kita sesungguhnya tidak selalu berada di luar rumah, di jalanan, atau di tempat-tempat berbahaya.

Di rumah kita sendiri, ketika anak-anak dibiarkan terbenam berselancar di dunia maya, entah itu menjalin komunikasi via Facebook atau membuka situs porno, di situlah malapetaka mulai mengancam. Situs-situs porno, bagi anak-anak yang sedang tumbuh, merupakan godaan terbesar yang sering kali sulit mereka tepis.

Baca Juga :  Manfaat Puasa Bagi Anak Penderita Diabetes, Pendekatan Sehat dan Berhati-hati

Adiktif

Sama halnya dengan perjudian, dampak paling berbahaya dari cyberporn adalah memicu munculnya perilaku yang adiktif. Studi Chaterine Chak (2003) menemukan, penggunaan internet di kalangan anak-anak cenderung berisiko tinggi.

Sebab, biasanya selain untuk bermain game, menelusuri informasi, dan chatting, tak jarang internet dimanfaatkan anak-anak untuk mengakses situs porno dan melakukan sex talk. Tidak sedikit anak yang kecanduan sehingga terus mengakses situs porno, terutama ketika tidak ada kontrol dari orang tua.

Anak yang kecanduan mengakses cyberporn, pada tahap pertama, umumnya mengalami eskalasi atau peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang masuk dalam kategori menyimpang. Artinya, mereka tidak hanya ingin terus tergoda mencari cyberporn.

Tetapi, dalam kondisi tertentu, bukan tidak mungkin mereka begitu tergoda untuk mempraktikkan apa yang mereka tonton. Pada titik inilah, kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak lain sangat mungkin terjadi.

Sebagai anak, perilaku psikologis mereka sering kali imitatif. Artinya, mereka cenderung mencoba melakukan hal-hal yang mereka serap karena ingin merasakan sensasi yang bergejolak di benaknya. Anak yang sedang dalam masa pubertas bukan tidak mungkin melakukan perbuatan jahat memerkosa temannya karena sensasi keliru yang mereka bayangkan. Tanpa membayangkan lebih jauh risiko atas perbuatannya, anak-anak yang salah pergaulan dan kerap mengakses cyberporn kerap terjerumus dalam perbuatan yang salah.

Orang tua yang berjarak dan tidak peka melihat perubahan perilaku anaknya biasanya terkejut. Mereka tidak menduga bahwa tindakan jahat itu bisa dilakukan anak mereka. Bagi orang tua yang peka, seharusnya mereka bisa melihat hal itu, kemudian melakukan pencegahan lebih dini agar tidak terlambat menyadari kelakuan anaknya. Tanpa dukungan orang tua, sulit untuk mencegah dampak buruk atas perkembangan TI dan internet yang berbahaya bagi anak-anak. (*)

*) RAHMA SUGIHARTATI, Guru besar sains informasi FISIP Universitas Airlangga

Terpopuler

Artikel Terbaru