HAMPIR dua pekan pasca wilayah Sumatera dilanda bencana banjir bandang. Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat masih berduka. Jumlah korban yang teridentifikasi terus bertambah.
Hingga Minggu malam, 7 Desember 2025, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban meninggal sudah mencapai 921 orang. Sedangkan warga hilang yang masih dalam proses pencarian kini 392 orang. Angka yang tidak sedikit.
Belum lagi kerugian lain dari dampak banjir bandang, ribuan rumah hanyut, desa hilang, kendaraan terseret hingga kini tidak punya nilai, jembatan putus, jalan hancur ditimpa longsor dan dipenuhi lumpur yang dibawa banjir bandang.
Belum lagi temuan kayu-kayu gelondongan di pantai, di laut dan di sepanjang aliran banjir. Jumlahnya tidak terhitung. Kayu gelondongan itu terpotong presisi.
Ada yang memiliki nomor. Kayu-kayu itu semua diklaim sebagai kayu potongan yang hanyut. Bukan kayu yang sengaja dipotong oleh pihak-pihak tertentu.
Statemen dari pejabat yang menyatakan demikian sangat melukai hati publik. Mereka terluka karena di balik kayu gelondongan itu ada ratusan nyawa melayang, ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Bagi warga yang selamat dari sapuan banjir bandang, kini mereka mengalami trauma berat. Terbukti ketika hujan kembali mengguyur daerah di Sumatera Barat, baik di Maninjau Kabupaten Agam atau kawasan Batu Busuak, Kota Padang, warga setempat cepat-cepat berlari mencari tempat aman.
Khawatir air berwarna cokelat dari hulu sungai yang beserta hujan tiba kembali membawa petaka. Ibu-ibu panik. Yang mereka cari adalah anak-anaknya dipastikan ada dan ikut menyelamatkan diri bersama.
Sedangkan bapak-bapak pucat pasi sembari beristigfar. Antara pasrah atau tidak tahu lagi apa yang bisa diperbuat. Bisa jadi masyarakat itu sudah lelah bertahan. Bertahan sudah 10 hari lebih tidak mendapat asupan gizi sesuai.
Lelah mencari sanak keluarga yang belum bertemu, lelah melihat rumahnya masih tertimbun lumpur, lelah mencari rumah yang sudah hanyut dibawa banjir. Jika mendapat makan, tentunya makanan dari bantuan yang diantarkan para relawan, pejabat, atau negara melalui petugasnya.
Di Jakarta, DPR sibuk mececar pejabat-pejabat terkait. Mereka menuding Pemerintah lalai. Lalai karena memberikan izin pengelolaan lahan yang over sehingga tutupan hutan di Sumatera berkurang drastis.
Apalagi data dari Greenpeace menyatakan bahwa hutan alam di Sumatera saat ini sudah kurang dari 30 persen. Angka yang sangat miris. Hutan di Indonesia yang selama ini disebut-sebut sebagai “jantung dunia” kondisinya tidak lagi sehijau seperti data-data yang diperdengungkan.
Padahal semua orang sudah tahu bahwa hutan di Indonesia memiliki peran sangat vital. Mulai dari penyerap karbon dioksida dan penghasil oksigen yang merupakan paru-paru dunia. Kini kondisinya semua orang tahu. Ketika banjir bandang lalu, air bah tidak hanya menyalir dengan warna cokelat belaka. Air bah atau air galodo (seperti disebut orang Minang) membawa kayu-kayu gelondongan.
Berkurangnya tutupan hutan di Indonesia, khususnya di Sumatera terjadinya bukan dalam waktu yang singkat. Tentu sudah bertahun-tahun.
Apalagi data dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) deforestasi di Indonesia terus meningkat hingga 2024, meskipun diklaim pada 2025 mengalami penurunan 49.766 hektare (ha).
Jika dilihat trennya, deforestasi itu tetap naik, 119.092 (2020), 139.087 (2021), 119.449 (2022), 145.439 (2023), 216.216 (2024), 166.450 (2025). Angka 166.450 yang baru per September 2025 tetap lebih tinggi dibandingkan 2023 dan sebelumnya. Penurunannya hanya dibandingkan 2024. Artinya tren deforetasi terus meningkat.
Sementara data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumut, dan Sumbar telah terdeforestasi. Semua itu akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, HGU sawit, PBPH, geotermal, izin PLTA, dan PLTM.
Raja Juli Antoni pun mengklaim selama menjadi menteri kehutanan tidak pernah menerbitkan penebangan hutan. Semua mata kini mengarah kepada pemerintah dan perangkatnya.
Mulai dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup (LH), dan Kementerian ESDM. Ketiga instansi itu memiliki tanggung jawab atas bencana tersebut. Namun, hampir semuanya menyatakan tidak mau disalahkan, tidak mau tangan mereka kotor. Bencana diklaim akibat cuaca ekstrem.
Dengan jumlah korban meninggal hampir seribu orang dan warga hilang yang masih dicari 392 orang, siapa yang bertanggung jawab. Kalau pihak-pihak itu disebut mencuci tangan dan merasa tidak menjadi “dosa” mereka, lantas tangan siapa yang harus “kotor” dengan bencana ini. Langkah kita bersama seperti apa agar musibah serupa tidak terulang? (jpc)


