Site icon Prokalteng

Harapan Baru Penderita HIV Indonesia

Dominicus Husada

BERBEDA dengan pandemi Covid-19 yang semakin meredup sekalipun belum benar-benar selesai, pandemi HIV yang sudah berlangsung lebih dari 40 tahun masih akan terjadi dalam waktu yang panjang. Hingga pengujung 2023, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Pekerjaan rumah dalam bidang ini masih banyak.

Sekalipun demikian, pada 2023 ada beberapa perkembangan baru yang memberikan harapan lebih cerah bagi penderita HIV/AIDS di Indonesia. Pertama, untuk kali pertama dalam sejarah, negeri kita mampu menyediakan obat HIV jenis mutakhir yang sama dengan yang digunakan di negara maju.

Ada sedikitnya enam kelas obat HIV dan selama sekian tahun kita hanya mampu menjangkau obat di kelas yang relatif rendah bagi sebagian besar penderita. Ketersediaan obat di kelas yang lebih tinggi sangat tidak memadai. Tahun ini pemerintah mengganti tulang punggung regimen obat standar menjadi dolutegravir dari kelas integrase inhibitor yang merupakan salah satu kelas terkini. Obat ini lebih poten dan lebih tahan terhadap mutasi virus.

Ini sangat penting karena virus HIV adalah raja mutasi. Tingkat mutasi virus ini sekitar 100 kali lipat lebih cepat daripada virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19. Itu pula salah satu alasan mengapa begitu sulit membuat vaksin dan sudah lebih dari 500 calon vaksin yang gagal dalam uji klinis. Dolutegravir diharapkan mampu menjadi solusi parsial bagi pasien yang kerap lupa minum obat karena ketidakteraturan mengonsumsi obat adalah pangkal kekebalan.

Harga obat ini sangat mahal. Namun, pemerintah mampu mencari cara untuk menjangkaunya. Obat HIV adalah upaya paling utama saat ini. Pada umumnya obat HIV memiliki potensi kuat untuk membunuh virus.

Kalaupun obat belum mampu membuat penderita benar-benar sembuh, itu karena obat poten yang kita miliki tidak sanggup masuk ke liang persembunyian virus. Virus yang keluar dari sarangnya ke aliran darah akan bisa dihabisi oleh obat HIV.

Kedua, tahun ini juga disediakan pemeriksaan PCR secara gratis bagi bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita HIV. Pemeriksaan PCR adalah bukti tertinggi untuk menunjukkan apakah pada bayi tersebut terjadi penularan. Selama ini PCR memang tersedia, tapi dengan biaya mahal sehingga hanya sebagian pasien yang bisa menjangkaunya.

Pemeriksaan gratis ini belum bisa dilakukan di sembarang laboratorium. Ada lab yang ditunjuk sebagai pusat rujukan seperti di RSUD dr Soetomo Surabaya. Untuk memudahkan, yang dikirimkan ke laboratorium cukup berupa tetesan darah pada kertas khusus. Tes PCR akan dilakukan pada kertas tersebut dan hal itu sangat meringankan beban pengirim.

Sejauh ini risiko penularan dari ibu ke anak maksimal 40 persen. Apabila protokol pencegahan dijalankan dengan baik, angka tersebut bisa diturunkan menjadi 1 persen saja.

Ketiga, pemerintah tahun ini juga giat menggencarkan program tripel eliminasi. Ini penggabungan HIV dengan sifilis yang saat ini meningkat pesat dan hepatitis B. Memang upaya pencegahan penularan dari ibu ke anak untuk tiga penyakit tersebut relatif mirip satu sama lain.

Seharusnya, jika si ibu bisa dijangkau untuk satu program, kedua penyakit yang lain akan dengan mudah dititipkan. Ini salah satu langkah besar untuk menurunkan penularan vertikal. Jika di masa mendatang bisa menaikkan cakupan ibu yang dimasukkan dalam program tripel eliminasi ini, kita bisa berharap bayi yang lahir dalam kondisi tertular satu dari ketiga penyakit akan lebih menurun lagi.

Keempat, program lain yang juga diintensifkan adalah penggabungan beberapa kegiatan penanganan HIV dengan tuberkulosis (TB). TB adalah penyakit penyerta utama pada penderita HIV dan sebaliknya sehingga saat ini dipersyaratkan memeriksa kedua penyakit secara bersamaan bagi mereka yang terindikasi. Sinergi program membuat efisiensi dan efektivitas kegiatan lebih nyata.

Perkembangan Internasional

Di tingkat internasional upaya terus dilakukan untuk menemukan pencegahan yang makin baik, terutama melalui vaksin dan obat-obatan. Obat terbaru yang sudah dihasilkan adalah injeksi yang berlaku hingga sebulan. Penderita yang sebelumnya harus minum obat setiap hari dapat menggantinya dengan injeksi sebulan sekali, mirip dengan yang dilakukan pada kegiatan keluarga berencana.

Hal ini sungguh penting demi alasan kepraktisan menerima pengobatan, menaikkan kepatuhan, serta menurunkan risiko kekebalan terhadap obat. Obat ini diharapkan juga dapat dinikmati penderita HIV di Indonesia sekalipun pengadaan akan memerlukan banyak sumber daya.

Para ahli juga terus berupaya menemukan vaksin HIV. Di banyak penyakit menular yang berbahaya, vaksin telah membuktikan kemampuannya, termasuk dalam mengatasi pandemi Covid-19. Beberapa platform vaksin baru yang muncul selama pandemi tiga tahun terakhir menjadi objek penelitian baru yang diharapkan akan memberikan hasil positif. Uji vaksin akan membutuhkan waktu relatif lama sehingga kemungkinan mendapatkan manfaat dari vaksin belum akan terjadi dalam 2–3 tahun ke depan.

Jika sebelumnya baru seorang penderita HIV di dunia yang dijuluki The Berlin Patient yang dinyatakan sembuh, hingga akhir tahun 2023 ada tambahan dari Inggris dan Jerman. Ketiga orang menjalani prosedur yang sama berupa transplantasi sel stem karena juga terkena kanker. Prosedur medis yang dijalani bukanlah tata laksana standar dan sangat berbahaya.

Kesembuhan tiga orang tersebut juga bukan sesuatu yang dapat diperkirakan sebelumnya. Dunia kedokteran masih banyak tidak memahami proses kesembuhan itu. Sedikitnya tiga orang lain juga dalam pengamatan jangka panjang sebelum pernyataan sembuh akan diamini oleh ilmuwan dan klinisi HIV di seluruh dunia.

Rangkaian berita baik yang terjadi dalam setahun terakhir memberikan sinar yang lebih cerah di ujung terowongan bagi seluruh penderita HIVAIDS di dunia, termasuk di Indonesia. Kita berharap akhir yang membahagiakan dari perjuangan panjang dan melelahkan melawan penyakit ini akan segera datang. (*)

*) DOMINICUS HUSADA, Konsultan infeksi anak FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya

Exit mobile version